Minggu, 26 Desember 2010

Tips Memilih Motivator Yang Berkualitas vs Motivator Pembual

Belakangan ini profesi motivator semakin banyak diburu oleh orang, terutama para pendamba kebebasan finansial, karena hanya modal cuap-cuap, dengan sejumlah besar pengunjung, dalam sehari bisa diraih penghasilan yang fantastis.

Berbagai macam ragam sarana dan topik yang dibuat dan dipilihkan oleh sang motivator guna memancing minat para pengunjung maupun sebagai sarana sosialisasi ide-ide ataupun pengetahuan mereka. Dari mulai yang berbicara mengenai pemasaran, ekonomi, saham, valas, kecantikan, lifestyle, dan seribu satu macam lainnya.

Namun banyak juga para peserta ataupun pengunjung suatu seminar ataupun workshop yang kecewa setelah beberapa kali mengikuti acara sang motivator, dan bahkan merasa telah dibohongi ataupun ditipu dan dibodohi.

Dari beberapa forum, bahkan sampai ada yang mencaci maki seorang motivator pasar modal sebagai penipu dan pembual yang membuat bangkrut para pesertanya. Padahal jika mengikuti aturan sesuai kaidah-kaidah baku ilmu finansial, tanpa harus mengikuti pelatihan dari sang motivator, peserta seminar yang bersangkutan bisa berhasil dan bahkan mungkin lebih baik daripada sang motivator sendiri.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, kami memberikan sedikit tips yang mungkin berguna untuk menyaring mana yang motivator pembual dan mana yang tidak:

  1. Hindari pembicara yang senang show off memamerkan hasil kekayaannya atau sering tebar pesona dan tebar amal seperti melempar / membagikan sejumlah besar uang ke hadapan publik , pamer koleksi mobil mewah, dan lain sebagainya. Orang ini tidak lebih dari pembual ala penipu di jembatan penyeberangan Sudirman.
  2. Jangan percaya kepada motivator yang sering menyatakan sesuatu di luar common sense (akal sehat) apalagi logika ilmu pengetahuan dan kaidah ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan. Jangan pernah mencerna sesuatu dari seorang pembicara secara mentah-mentah, pelajari juga dari sudut keilmuan dan keilmiahannya, dan coba melihat dan pelajari dari berbagai sudut pandang, percaya hanya kepada omongan satu orang adalah jalan kesesatan.
  3. Lihat dan dalami apa yang dikatakan dan diucapkan oleh sang motivator apakah dia mempraktekan dalam hidup kesehariannya atau tidak. Karena ada motivator yang munafik namun juga ada motivator yang benar-benar sejalan dan selaras dalam perkataan maupun perbuatan. Ada seseorang yang selalu berkoar-koar bahwa dia mendapatkan tubuh indah dari hasil berolahraga, padahal sang dokter bedah kecantikannya sampai menyumpah-nyumpahi orang tersebut karena yang bersangkutan menutupi kenyataan bahwa bentuk tubuh indahnya adalah hasil operasi sedot lemak.

Sebenarnya masih ada banyak lagi tips lainnya, namun kami memandang setidaknya tiga hal di atas adalah hal utama yang harus anda perhatikan dalam menilai dan memilih untuk ikut suatu kursus atau seminar agar uang tersebut jangan hanya memperkaya sang pembicara namun juga memperkaya hidup anda.

Semoga Bermanfaat.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Jumat, 17 Desember 2010

Besar Belum Tentu Lebih Baik

Copyrights ada pada Alexindo Management Consulting dan Alexander Batara, dilarang keras melakukan copy paste dan sharing tanpa seijin penulis.

Mencermati iklan - iklan dari para provider selular belakangan ini, nampak sekali adanya usaha untuk promosi jaringan selular mereka dan menawarkan solusi broadband baik untuk penggunaan internet secara umum maupun solusi bisnis berbasis broadband.

Sekedar penyegaran kembali, dalam internet dan broadband multimedia, kualitas jaringan tidak semata ditentukan oleh besarnya bandwidth anda ataupun banyak sedikitnya BTS milik anda. Karena boleh-boleh saja provider X memiliki BTS hingga 1 juta menara dan backbone bandwidth hingga 1TB/s ke jalur backbone Amerika, namun jika jumlah BTS itu tidak memenuhi ratio normal antara kepadatan pengguna di sekitar menara terhadap jumlah BTS nya maka semua itu sia-sia belaka, belum lagi masalah traffic management bandwidth, di mana kualitas jaringan ditentukan oleh kelancaran stream data baik upload maupun download.

Salah satu provider selular terbaik yang baru-baru ini terpilih ternyata bukan yang terbesar, bahkan termasuk yang biasa-biasa saja meskipun bandwidth nya sendiri tergolong nomer 2 terbesar. Namun provider ini punya teknik sendiri dalam memanajemeni jaringan internetnya. Terbukti dari signal nya yang selalu penuh, dan ratio kecepatan internetnya cenderung stabil meskipun di jam-jam sibuk, sehingga banyak orang setia berlangganan blackberry pada provider selular ini.

Jika berguru kepada pakar nya internet bandwidth di Indonesia, yakni CBN, anda tentu tahu mengapa perusahaan ini sangat mati-matian menjaga QOS (Quality of Service) nya. Mereka bahkan pada masa-masa awal sangat membatasi pertumbuhan jumlah user terhadap ketersediaan jaringan baik pada bandwidth maupun pada jalur modem pool nya. Memang harga yang ditawarkan relatif tidak murah, namun anda mendapatkan kualitas yang sesuai dengan harga.

Price war atau perang harga pada layanan produk broadband terutama yang berbasis selular pada akhirnya bukanlah solusi, melainkan bisa mengakibatkan ekonomi biaya tinggi pada operasional perusahaan. Karena biaya pengembangan jaringan tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Anda boleh berkata improvisasi pendapatan dari layanan ringtone dan lain sebagainya, namun menjaga kualitas layanan jaringan adalah hal yang berbeda, karena biaya terbesar dari servis jasa ini adalah pada komponen quality services jaringan nya dari mulai backbone, ratio BTS per regional user hingga ke manajemen jaringan itu sendiri.

Yang harus dicermati lagi adalah, jumlah user yang besar bukan berarti pendapatan anda juga besar, karena semakin banyak investasi pada alat dan jaringan maka cost operasional nya juga semakin besar. Inilah mengapa tidak mudah menjaga dan memanajemeni perusahaan dalam skala raksasa. Belum lagi biaya mendidik dan melatih para backoffice dan para call centre officer yang bertugas 24 jam terus menerus. Mereka dituntut untuk tetap sigap dan segera melakukan perbaikan terhadap masalah yang dikeluhkan oleh para pelanggan.

Hal serupa juga berlaku pada layanan perbankan, biaya pelatihan dan investasi peralatan serta infrastruktur adalah hal terbesar yang harus diperhatikan baik-baik karena sifat dari industri jasa itu sendiri yakni customer satisfaction. Jangan karena nafsu mengejar pertumbuhan pelangganan dan pengguna jasa, lantas mengabaikan kesiapan infrastrukturnya. Karena sekali saja pelanggan tidak puas, mereka akan mudah beralih ke pesaing yang potensial.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Kamis, 25 November 2010

Quantitative Easing (QE)2, Bubble dan Ketidakpastian Global

Dengan diluncurkannya paket QE2 oleh The Fed yang bertujuan membeli kembali surat-surat berharga dari pasar, dipastikan aliran hot money mengguyur deras ke hampir seluruh emerging market terutama Indonesia.

Banyak analisis mengkhawatirkan terjadinya bubble, namun pemerintah berusaha meredam aliran hot money ini agar tidak terjadi sudden reverse dengan memperpanjang instrumen SBI menjadi 3 bulan - 6 bulan, selain daripada itu pemerintah sengaja mendorong semua pihak baik swasta maupun BUMN agar melakukan IPO dan penambahan jumlah saham yang beredar di bursa agar dapat menambah likuditas dan permodalan dan juga untuk meredam bubble.

Di sisi lain, BI sebagai penjaga kebijakan moneter, terus menekankan perbankan agar tetap berhati-hati dalam berekspansi kredit dan melakukan pertumbuhan karena situasi global yang masih belum stabil meskipun data angka pengangguran dari USA sudah menunjukan penurunan yang signifikan.

Dengan masuknya IHSG pada zona 3700an, tentu semua pihak mulai khawatir terlebih kenaikan indeks lebih banyak ditopang oleh saham-saham 2nd liner dan 3rd liner. Terlihat dari RD Saham yang benar-benar outperform IHSG tahun ini hanya ada tiga (hasil riset infovesta).

Kita lihat apakah betul kita sudah bubble dan akan ada big correction di tahun 2011 mendatang atau tidak. Salam :)

Protected by Copyscape Plagiarism Detector

Kamis, 11 November 2010

Pelajaran IPO KS: Tidak Ada Makan Siang Gratis

Menyimak tulisan Headline di salah satu harian bisnis terkemuka Kamis 11 November 2009 ini mengenai indikasi adanya perampokan uang negara secara sistematis oleh para pemain bursa dalam IPO salah satu BUMN, bukanlah berita baru ataupun hal yang aneh.

Karena, jika di wallstreet saja mereka rutin melakukan hal tersebut dari mulai skandal Enron dan lain sebagainya, apalagi untuk ukuran negara seterbelakang Indonesia dalam hal regulasi dan pencegahan praktek kotor dunia pasar modal.

Sebab pada prinsipnya uang tidak mengenal tuan, siapapun bisa memakai dan menyalahgunakannya, adalah terlalu naif dan bodoh jika para petinggi negara terlalu mempercayai “investor asing”. Tidak ada satupun di antara mereka yang masuk ke Indonesia hanya dengan tujuan membantu / menolong belaka. Di dunia bisnis, setiap sen uang yang keluar itu harus menghasilkan. Apalagi dalam pasar modal, kalau bisa modal dengkul (pinjam uang) tapi untung milyaran.

Terbukti para investor asing, hanya dalam perdagangan perdana sudah melepas untung luar biasa besar, masuk dengan harga IPO 850 rupiah per lembar saham, dan dilepas pada harga 1270 per lembar saham atau naik sekitar 49.41 persen hanya dalam tempo satu hari.

Ini membuktikan bahwa apa yang pernah saya sampaikan secara pribadi kepada seorang sahabat yang ingin memburu IPO BUMN tersebut adalah terbukti kebenarannya, karena pada harga 850 rupiah per lembar saham, valuasinya adalah sangat murah, dan harga wajar nya ada pada kisaran 1100-1200an rupiah per lembar.

Memberikan jatah IPO secara mayoritas kepada para pemain asing adalah suatu tindakan naif kalau tidak mau dibilang bodoh. Karena meskipun dikatakan takut tidak ada yang mau beli, kita harus bisa percaya diri dan melihat sendiri nilai wajar unit bisnis ataupun badan usaha yang hendak kita jual.

Sebab ukuran harga wajar suatu perusahaan tidak semata ditentukan oleh neraca keuangannya saja, tapi juga proyeksi pertumbuhan usaha dalam jangka panjang dan juga faktor-faktor lainnya yang merupakan kesatuan dalam mempengaruhi harga suatu badan usaha (silahkan anda pelajari buku Investment Valuation karangan Prof Damodaran).

Dan meskipun dikatakan BUMN tersebut tidak profitable, namun industrinya adalah industri strategis, dalam arti, industri tersebut memegang peranan pokok dalam ketahanan industri dalam negeri secara keseluruhan dan berdampak strategis dalam pembangunan jangka panjang.

Jadi akhir kata, silahkan cerna sendiri, apakah ini bentuk lain dari perampokan sistematis ala Bank Century atau memang kesalahan dan kebodohan para pejabat kita semata? Ngomong-ngomong, kejadian ini akan semakin sering di kemudian hari, karena proses pembiaran penegakan hukum yang rapuh berlarut-larut seperti kasus Century yang telah dipetieskan dan lain sebagainya.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Minggu, 31 Oktober 2010

Kebangkrutan Jepang, antara Surat Hutang, Produktifitas dan Pencapaian Budaya

Ribuan tahun yang lalu, bangsa Tiongkok pernah mencapai puncak prestasinya, yakni sebagai bangsa besar yang memiliki kebudayaan yang paling maju, ekonomi terdepan, dan penguasaan tehnologi (mesiu walaupun pada masa itu hanya sebagai kembang api, dan tulisan sebagai cikal bakal tehnologi informasi). Hanya saja, kemunduran terjadi ketika mereka menutup diri dari pengaruh luar sehingga perlahan-lahan hubungan perdagangan dan budaya mengalami kemunduran drastis dan akhirnya tenggelam dalam waktu yang lama sebelum akhirnya mulai bangkit kembali di akhir abad ke 20 dan awal abad 21.

Jepang pun mengalami hal yang sama, mereka bangkit sebagai raksasa ekonomi peringkat ke tiga dunia pada abad ke 20 sesudah restorasi Meiji dan terjadinya musibah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, namun kembali memudar di awal abad ke 21.

Mengapa dikatakan Jepang akan bangkrut? Pertama Surat Hutang Jepang sudah luar biasa besar, yang mencapai 10 Trilyun USD dan belum selesai-selesai terbayarkan meskipun hanya menggunakan suku bunga 0.5% saja. Padahal beban bunga tersebut telah menyedot hampir 59% dari pemasukan pajak, artinya jika kemudian Surat Hutang Jepang kurang menarik, maka pemerintah Jepang harus menaikan suku bunganya lagi dan otomatis membebani pembiayaan dari sektor pajak.

Kedua, angkatan kerja produktif di Jepang sudah menyerupai piramida terbalik, di mana usia tua lebih banyak ketimbang usia muda yang produktif. Padahal anak-anak muda adalah harapan bangsa, jika anak muda Jepang tidak ada lagi ataupun ada namun hanya bersifat konsumtif dan lemah, bagaimana mereka membiayai para warganya yang sudah manula?

Ketiga, industri manufaktur dalam negeri Jepang tidak sebanyak industri manufaktur Jepang di luar negeri, artinya kekuatan ekonomi lebih banyak ditopang oleh aliran dana masuk dari hasil pendapatan anak perusahaan / cabang dan investasi di luar negeri ketimbang penguatan di dalam negeri.

Ke empat, terjadinya kemunduran di dalam kebudayaan, ditandai dengan banyaknya tekanan sosial bunuh diri di kalangan muda, melorotnya industri hiburan musik dan perfilman kalah melawan industri hiburan dari Korea dan Hongkong / China dan lain sebagainya.

Perlu dipahami mengapa saya menuliskan demikian, karena baik musik/film dan budaya panggung teater (drama teater) itu adalah satu paket dengan pembangunan ekonomi. Industri kreatifitas tetap merupakan motor penggerak ekonomi, di mana kemunduran pada industri tersebut merefleksikan kemunduran ekonomi negara tersebut.

Ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar mewaspadai ancaman kebangkrutan Jepang dalam perspektif hubungan ekonomi dan perdagangan bilateral. Karena tindakan Jepang memaksakan negara kita untuk masuk ke dalam perjanjian dagang bilateral bebas bea bukan tanpa alasan, akan tetapi karena mereka sendiri dalam masalah besar. Sehingga kita tidak boleh terlalu tunduk terhadap kemauan dari saudara tua yang sebenarnya tetap menjajah kita tersebut.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Mencermati Langkah The Fed dan Mewaspadai Gelembung Komoditas

Pekan depan, sebagian besar pelaku pasar sedang menunggu-nunggu hasil keputusan The Fed, apakah akan tetap dengan keputusannya untuk melakukan stimulus fiskal tahap ke dua dengan mengguyur pasar dengan mencetak sejumlah US Dollar dalam jumlah besar atau mengeluarkan paket kebijakan lainnya. Termasuk mencermati apakah suku bunga USD akan tetap atau malah naik.

Saat ini, nampaknya Amerika sedang menikmati pelemahan mata uangnya, dengan sengaja terus-menerus menggelembungkan sejumlah bursa di seluruh dunia terutama Asia dengan demikian meningkatkan daya saing eksport produk-produk mereka terutama yang masih dimanufaktur di dalam negeri agar memiliki daya saing di pasar internasional.

Langkah Amerika ini menciptakan terjadinya sejumlah gelembung-gelembung baru dalam perdagangan komoditas, walaupun harga emas sempat mengalami koreksi namun tidak di sejumlah perdagangan komoditas lainnya.

Timbulnya faktor krisis cuaca, yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga gandum dan kapas di seluruh dunia sehingga menyulitkan para pemain industri pangan dan tekstil, turut memperburuk timbulnya gelembung komoditas yang luar biasa.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus termasuk membiarkan pelemahan mata uang dollar secara jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya perang mata uang dan gelembung perekonomian secara tidak wajar, yang tentu saja tidak diinginkan oleh banyak negara bahkan mungkin oleh Amerika sendiri.

Karena jika terjadi koreksi ataupun pecah gelembung tersebut, akan menyebabkan terjadinya krisis finansial secara global yang lebih parah ketimbang krisis subprime mortage tahun 2008 lalu.

Pemerintah di dalam negeri harus mewaspadai kenaikan inflasi akibat gelembung spekulasi di pasar komoditas ini. Karena dalam jangka panjang akan merepotkan semua pihak, bukan hanya masyarakat sebagai konsumen, namun juga produsen yang akan kesulitan mengatur pembiayaan dan penetapan harga produk yang wajar dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Di lain pihak, sebagai pelaku pasar, apakah anda sudah siap mereguk keuntungan dari gelembung-gelembung ini atau malah tertinggal dalam menunggangi gelembung ini.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Minggu, 24 Oktober 2010

Transfer Pricing antara Legalitas vs Etika Bisnis

Menyimak laporan di salah satu berita keuangan internasional (bloomberg.com) mengenai praktek transfer pricing yang dilakukan oleh Google Inc dengan menempatkan pendapatan perusahaan di negara-negara tax heaven, cukup membuat terkejut para praktisi keuangan. Karena bahkan perusahaan sebesar dan sekaliber Google pun melakukan praktek tersebut. Meskipun dikatakan bahwa praktek tersebut sah secara hukum, namun tidak secara etika bisnis.

Di negara-negara sekaliber Amerika Serikat pun praktek transfer pricing tetap merupakan dilema, karena meskipun dikategorikan praktek yang tidak etis, namun pada kenyataannya hampir semua perusahaan besar di Amerika melakukan hal tersebut.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Praktek transfer pricing di Indonesia belakangan mendapat perhatian serius dari kantor pajak, antara lain dengan diterbitkannya fasilitas pelaporan adanya hubungan istimewa antar perusahaan dalam form SPT PPh Badan, di mana berdasarkan UU no 17 tahun 2000 pasal 18 UU PPh hal tersebut diatur dalam hubungan khusus antar perusahaan di mana “Dirjen Pajak memiliki kewenangan mengatur kembali besaran penghasilan dan pengurangan serta menentukan besarnya utang dalam rangka penyertaan modal untuk menentukan besaran Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Lain sesuai dengan kewajaran dan kelaziman bidang usaha lain yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa”.

Ini jelas menandakan bahwa Indonesia pun tidak menginginkan terjadinya Transfer Pricing, walaupun dalam praktek di lapangan banyak sekali perusahaan-perusahaan besar melakukan hal tersebut.

Lemahnya tata cara pemungutan dan pengawasan perpajakan di lapangan, menimbulkan terjadinya anggapan sah praktek transfer pricing bagi para stakeholder maupun bagian keuangan di perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga hal tersebut perlu mendapatkan reformasi yang cukup serius dari depkeu selaku induk dari direktorat jenderal pajak.

Benar kita sebagai pelaku bisnis harus memikirkan bagaimana cara mengurangi risiko ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan penghasilan usaha. Namun di sisi lain, kita harus tetap concern terhadap masalah-masalah etika bisnis.

Kelemahan kebanyakan manajemen / pimpinan di perusahaan adalah karena tidak mampu melakukan simulasi cost secara optimal sehingga bisa didapat efisiensi biaya tanpa harus melakukan praktek transfer pricing. Sebab penekanan biaya bukan hanya berbicara mengenai hitung-hitungan angka semata namun juga proses bisnis secara keseluruhan baik dari mulai sisi operasional, pemasaran, sumber daya dan lain sebagainya.

Di sisi lain, budaya praktek sogok-menyogok dalam rangka memenangkan suatu tender maupun biaya premanisme di lapangan dalam pengerjaan suatu proyek merupakan hal yang tidak terhindarkan. Dalam hal ini, pemerintah sendiri harus konsisten, karena masalah transfer pricing bukan hanya masalah pajak semata, namun juga terkait dengan masalah rasa aman dan nyaman berbisnis selain juga ketersediaan infrastruktur ekonomi yang masih jauh dari memadai.

Yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah, memerangi praktek transfer pricing bukan hanya berbicara mengenai keuntungan perusahaan yang disembunyikan atau dipindahtangankan, namun juga bagaimana menyikapi permasalahan ekonomi biaya tinggi di tanah air sehingga para pelaku bisnis tetap mampu mendapatkan keuntungan yang maksimal tanpa harus melakukan perbuatan tercela.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Senin, 27 September 2010

Berbisnis secara Agresif, Moderat atau Low Risk?

Dalam dunia bisnis maupun investasi, dikenal pepatah “No Pain No Gain” atau tidak ada keuntungan tanpa risiko. Bahkan ini juga yang berulang kali ditekankan oleh para Fund Manager yang pernah menjadi guru saya ketika belajar investasi tahun 1998 di salah satu sekolah investasi tempat Bapak Hasan Zein Mahmud pernah mengajar.

Lantas bagaimana menerjemahkan hal tersebut ke dalam bentuk model role business yang hendak kita jalani nanti? Karena bisnis dan pasar modal meski berbeda bentuk fisik namun pada prakteknya hampir sama dalam model pengelolaannya.

Pertama-tama, yang harus dilakukan terlebih dahulu, kita harus mengenali terlebih dahulu siapa diri kita, apakah kita seorang risk taker, risk avoider, atau risk accepter. yang pertama cenderung dapat melakukan keputusan bisnis yang sangat agresif, yang kedua cenderung alon-alon asal kelakon alias tidak usah berisiko tinggi yang penting aman, dan yang ketiga cenderung bisa menerima dan mengambil risiko sesuai dengan tingkatan keuntungannya.

Mengapa mengenali diri sendiri mutlak? Ini karena pribadi tiap orang tidak sama, dan segala keputusan bisnis tergantung kepada karakter pribadi pemiliknya. Kecuali perusahaan tersebut sudah besar dan bisa berjalan sendiri tanpa campur tangan pemiliknya serta memiliki visi dan misi bisnis serta value bisnis yang sudah baku.

Berangkat dari sana, barulah coba memahami karakter bisnis yang sesuai dengan karakter kepribadian anda. Orang yang senang berspekulasi dan bersedia merugi besar, tentu tidak cocok menjalankan model bisnis yang bersifat teratur, laba kecil dan padat karya. Karena kerugian akibat tindakan spekulasi dari keputusannya akan terlalu besar dan tidak dapat ditutupi oleh laba perusahaannya yang kecil. Yang susah nanti justru karyawannya dan bisa-bisa demo massal karena terlambat membayar gaji dan thr.

Model bisnis yang cocok untuk orang yang senang berspekulasi dan mengambil keputusan bisnis yang sangat agresif dan cepat adalah bisnis yang cenderung high profit dan low cost operation. Misalnya saja bisnis jenis spekulan bbm, atau bisnis trading model sekali order beli putus. Bisa juga menjalani bisnis padat karya namun bermain di tingkat trader atau pedagang perantara nya, misalnya ada order celana jeans tanpa merek dari Amerika dan ada pabrik kecil yang bersedia mengerjakan low volume quantity namun high quality dengan low budget cost. Anda tinggal menjadi perantara saja, ambil order nya dari luar, dan pesan barangnya dari pabrik tersebut.

Untuk model bisnis moderat, ada banyak sekali lapangan bisnis yang mungkin dan dapat dikembangkan oleh orang-orang berprofil risiko moderat. Misalnya industri karoseri, industri otomotif, dan lain sebagai nya yang membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan namun tetap mempertimbangkan faktor-faktor risiko yang ada. Umumnya orang jenis ini berbakat menjadi orang kaya namun melalui proses yang cukup panjang. Karena faktor pertumbuhan bisnisnya tetap concern terhadap risiko yang ada, dan mereka tidak boleh mengambil risiko yang terlalu besar jika tidak ingin bisnisnya gulung tikar.

Sedangkan model risiko profil low risk, condong menyukai role business yang tidak terlalu ekspansif, alon-alon asal kelakon dan yang terpenting stabil dalam pertumbuhannya. Orang seperti ini cocoknya mengambil bisnis dagang sembako, industri pertanian, industri perikanan dan lain sebagainya. Bukan berarti industri perikanan tidak bisa ekspansif, bisa saja, namun pada tataran tersebut anda tidak bisa lagi bermain di level produsennya, namun harus naik ke level pedagang ataupun pedagang perantara.

Manakah model bisnis yang anda pilih, tergantung kepada kepribadian anda sendiri. Selamat berbisnis.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Masa Depan Komputer Pribadi Ada Pada Telefon Selular dan Tablet?

Beberapa tahun yang lalu, orang tidak pernah terpikirkan bahwa suatu saat, telefon selular akan sedemikian kecil dan canggihnya hingga mampu membawa prosessor berkecepatan menyamai netbook dan bahkan memiliki otak ganda serta di masa depan akan menjadi multi core.

Namun dunia bergerak sangat luar biasa cepat, tehnologi cloud computing dan lain sebagainya menjadikan semua pc pribadi tidaklah harus melulu berbentuk PC. Namun dapat berupa semua telefon selular. Ada seorang jurnalis asing yang mencoba melakukan hal itu dengan hanya bermodalkan iPhone 4th Gen sebagai pengganti netbook ataupun iPad nya. Dan beliau dapat melakukan itu (sorry saya lupa baca di mana tapi kurang lebih begitu).

Di sini menjadi titik terang mengapa Samsung ngotot untuk terjun juga ke bisnis tablet, selain daripada mengejar keuntungan semata. Microsoft sendiri berusaha mengejar ketertinggalan itu, selain daripada juga menggalakan sistem operasi Windows Phone7 terbarunya.

Dengan diluncurkannya prosessor selular triple core, seolah turut menjawab ke arah mana dunia personal computing akan bergerak. Saya melihat cepat atau lambat, notebook yang canggih dan desktop akan menjadi bagian dari pengerjaan tugas berat, sementara tugas-tugas office computing dan personal computing yang ringan seperti laporan yang ringan maupun penulisan naskah dan dokumen akan dikuasai oleh generasi smartphone maupun tablet pad.

Apalagi generasi-generasi berikutnya dari tablet maupun smartphone, dari beberapa bocoran di internet dikabarkan sudah ada yang mampu mengerjakan proses olah multimedia full HD 1080p pada mode dual stream. Ini artinya sosok tablet pad pada suatu saat nanti benar-benar akan menggusur pasar netbook ataupun notebook sebagai piranti komputasi pribadi.

Namun apakah benar akan demikian terjadi, kita lihat saja waktu yang akan menjawabnya.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Sabtu, 25 September 2010

Amerika di Ujung Kebangkrutan Total

Menyimak perkataan seseorang baru-baru ini dihadapan banyak orang, bahwa “Amerika sudah kehilangan dominasinya dan hanya tersisa pengaruh sisa kejayaan masa lalunya” patut dicermati secara seksama.

Dari kunjungan beberapa pelaku bisnis baru-baru ini ke Amerika, ditemukan kenyataan satu-satunya jenis industri yang masih bertahan di Amerika tinggal industri hiburan (entertaintment) baik dunia tarik suara maupun seni peran dan perfilman.

Pada kenyataannya jumlah pengangguran di Amerika terus bertambah, dan anak-anak muda banyak yang mengemis-ngemis pekerjaan dan bahkan sebagian besar WN Amerika melarikan diri ke Asia berusaha mencari penghidupan yang lebih layak.

Amerika sendiri tanpa bantuan RRC bisa dipastikan akan kolaps. Karena saat ini negara yang memegang surat hutang pemerintah AS dalam jumlah sangat masif adalah RRC, bayangkan apa yang terjadi jika RRC mendadak melepas semua surat hutang pemerintah USA tersebut.

Jadi lupakan saja mencari green card di Amerika, negara itu sudah menjadi kuburan bagi para pencari mata pekerjaan. Kecuali anda bersedia hidup di apartemen kumuh dan bekerja serabutan entah menjadi doorman, satpam dan lain sebagainya.

Pergerakan harga emas yang terus meroket menembus batas-batas historis tertingginya terhadap US Dollar menunjukan bahwa pamor Amerika semakin meredup. Justru wacana pemotongan angka nol pada rupiah seharusnya diganti menjadi wacana menguatkan pamor nilai tukar rupiah dan ekonomi dalam negeri agar dapat berswasembada tanpa perlu import maupun eksport, dengan demikian kita dapat menjadi negara yang benar-benar merdeka, bukan seperti sekarang yang katanya saja merdeka, namun dari Sabang hingga Merauke telah dikapling-kapling oleh perusahaan milik Amerika, Eropa, Jepang, Korea, RRC, Malaysia, Singapore dan bahkan Thailand.

Amerika mungkin tidak akan menjadi seperti Zimbahwe, namun pastinya kurang lebih akan seperti Russia saat terpuruk secara ekonomi dan finansial beberapa waktu yang lalu. Harus ada perombakan total secara ekstrim baik terhadap gaya hidup maupun sistem ekonominya.

Namun melihat dari perilaku kebanyakan orang Amerika yang konsumtif tanpa di dukung kemampuan finansial yang riil, tentu sulit merubah kebiasaan tersebut. Gaya hidup hemat dan belanja seperlunya masih bukan merupakan pilihan yang disukai oleh kebanyakan dari antara mereka.

Sepertinya bangsa kita pun harus segera sadar dan menyikapi hal ini. Karena budaya konsumtif ala kartu kredit bukan budaya yang patut ditiru, dan harus segera diakhiri. Begitupula dengan budaya pinjam uang untuk urusan non produktif.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Senin, 20 September 2010

Kekuatan Multiplier Effect dari Investasi Berkala

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman pernah berkata kepada saya, manakah yang lebih baik, berinvestasi secara teratur / kontinyu tanpa menunggu bursa naik/turun atau menggunakan market timing dengan harapan selalu membeli / berinvestasi saat bursa di titik terendah.

Sejujurnya, dalam buku-buku investasi, dijabarkan bahwa tidak pernah ada seorang market timer yang sempurna. Sejago-jagonya mereka, masih lebih aman dan bagus jika berinvestasi secara teratur seperti yang disarankan oleh banyak para perencana keuangan profesional. Karena dengan berinvestasi secara kontinyu, maka risiko kejatuhan pasar bisa di diversifikasikan ataupun diminimalisasikan.

Lebih jauh lagi, investasi berkala memiliki kekuatan untuk mengikuti trend pertumbuhan ekonomi dan bursa secara mantap ketimbang yang hanya masuk sesekali. Jika masuk sesekali saja, maka akan selalu ada kemungkinan jatuh ke dalam posisi yang salah. Sebaliknya investasi secara teratur selain memperkecil risiko, juga secara jangka penjang menikmati trend kenaikan pasar secara teratur. Ini menjelaskan fenomena kenapa mayoritas investasi reksadana saham yang benar, selalu menanjak tajam setelah jangka panjang (jika fund manager nya bagus). Karena selain mengikuti pertumbuhan ekonomi makro dari pasar, juga mengikuti pertumbuhan ekonomi mikro emitten yang berada dalam diversifikasi portfolio reksadana tersebut. Selain dari pertumbuhan dana yang dinvestasikan oleh semakin banyaknya investor yang masuk ke reksadana saham tersebut. Hal tersebut kurang lebih berlaku sama untuk saham langsung, meskipun jika demikian memang harus lebih hati-hati memilih saham emitten yang ada di bursa agar tidak salah pilih.

Hal ini tidak hanya terjadi pada saham ataupun reksadana saja, namun juga pada produk simpanan seperti deposito. Dari hasil pengalaman pribadi saya selama beberapa tahun, menambah nominal deposito setiap kali jatuh tempo (lebih bagus jika deposito jangka pendek 1 bulanan atau 3 bulanan atau harian jika bisa), melipatgandakan perolehan bunga secara signifikan ketimbang hanya menggandalkan auto rollover tanpa penambahan nominal.

Itu sebabnya pepatah rajin menabung (atau rajin dan rutin berinvestasi pada masa kini) bukan merupakan pepatah yang kuno atau usang, melainkan pepatah yang masih berlaku hingga masa kini.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Senin, 13 September 2010

Kesalahan Strategi Pasar Ponsel yang Fatal

Dicopotnya CEO Nokia baru-baru ini, dan anjloknya harga saham Nokia akibat laporan keuangan yang negatif selama tiga bulan berturut-turut memang suatu kenyataan yang menyakitkan. Terlebih setelah salah satu media asing khusus ekonomi membahas kejatuhan Nokia kali ini sulit untuk mengembalikan posisinya kembali kepada kejayaan di masa lalu.

Padahal sebagai salah satu pemain pasar ponsel kelas dunia, semua orang mengetahui betapa hebat dan canggihnya ponsel Nokia dibandingkan merek-merek lain yang menjadi pesaing pasar terdekatnya. Bahkan bisa dibilang pelopor ponsel jenis kamera dan video juga lahir dari pemain ponsel asal Eropa ini.

Namun demikian, ada masalah klasik yang selalu dilupakan oleh bahkan pemain pasar sebesar Nokia dalam mempertahankan porsi pasarnya. Padahal seperti dikatakan banyak kalangan akademisi di berbagai sekolah bisnis terkemuka, peraturan mainnya untuk mempertahankan juara pasar hanya satu, jangan lupa pasar kelas bawah (low entry market).

Keberhasilan Samsung, LG, menggusur para pemain besar seperti Motorola, Sony Ericsson, dan bahkan Nokia, bukan karena mereka canggih. Memang ada satu dua produk keluaran Samsung maupun LG yang main di pasar kelas atas. Namun perbandingan antara ponsel canggih dan ponsel murah meriah merek Korea tersebut bisa dibilang 1:10.

Ponsel-Ponsel canggih keluaran pabrikan Korea tersebut, hanya dibuat untuk eksistensi brand, dan sarana ekspresi hasil riset dan pengembangan mereka. Bukan untuk membombardir pasar dengan ribuan ponsel canggih tapi hanya bisa dibeli oleh segelintir orang.

Untuk produk canggih, para pemain Korea tersebut lebih suka menjadi supplier bagi para pemain pasar kelas atas seperti Apple dan merek lainnya. Dari mulai layar, hingga prosessor. Ini karena cost of production yang lebih murah dan tetap bisa menutup biaya riset dan pengembangan di laboratorium milik mereka.

Sebaliknya, untuk menjadi penguasa ceruk pasar ponsel kelas atas, diperlukan strategi pendekatan yang berbeda sama sekali. Dari mulai harga yang luar biasa mahal, gaya hidup, kebutuhan eksistensi para pembeli, dan juga sarana multimedia canggih yang sedang menjadi trend. Hal ini baru bisa dipenuhi oleh Apple dan beberapa pemain lain seperti HTC (meski buatan Taiwan tapi merupakan pemain ceruk pasar ponsel cerdas kelas atas).

Motorola sendiri, meskipun beberapa kali berhasil mengeluarkan ponsel-ponsel life style, namun tidak semua produknya sukses di pasaran. Hal ini karena kegagalan pembentukan komunitas yang loyal dan juga kurangnya fokus pada pasar yang digarap. Berbeda dengan Apple yang serius bertahan habis-habisan pada pasar kelas atas dengan mempertahankan harga sekaligus membangun loyalitas pelanggan secara serius dengan berbagai kemudahan dan juga gaya hidup.

Akibatnya para pemain pasar yang hanya berkonsentrasi kepada kecanggihan peranti keras, dibuat tunggang langgang. Contohnya Sony Ericsson yang terpaksa harus menengok penggunaan software Android sebagai basis smartphone (ponsel cerdas) mereka. Itupun mereka harus menghadapi petisi online dari para pelanggan mereka karena keterlambatan upgrade sistem software mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Padahal HTC Desire sebagai produk pesaing kuat SE Xperia X10 sudah mendapatkan upgrade software terbaru secara online.

Sementara Apple dengan sangat cerdas segera merilis IOS 4.1 untuk menutupi kekurangan IOS 4.0 dan bahkan tidak lama lagi akan segera mengeluarkan IOS 4.2 untuk menahan gempuran dari pasar Android 2.2 Froyo yang mulai banyak dipakai oleh ponsel cerdas papan atas.

Para ahli pun memperkirakan, dalam dua sampai tiga tahun mendatang, pasar ponsel cerdas akan segera dikuasai oleh pasar Android yang sifatnya open source, karena bisa menekan harga ponsel canggih menjadi lebih murah dan terjangkau oleh pasar secara luas. Itu sebabnya guna menghindari gempuran android, maka Apple pun membuka sarana pengembangan aplikasi kepada pihak ketiga menjadi lebih terbuka dan mudah. Karena pada dasarnya keberhasilan suatu software, adalah pada pasar aplikasinya yang luas dan dapat dikembangkan oleh siapa saja.

Apakah di masa depan, pasar ponsel cerdas memang akan dikuasai oleh ponsel cerdas berbasis Android atau bukan, waktu yang akan menjawabnya.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Senin, 23 Agustus 2010

Kebijakan Bea Cukai yang Meresahkan Semua Pihak

Belakangan ini timbul gejolak dikalangan para pelaku bisnis manufaktur maupun para pelaku logistik jenis kurir ekspress mengenai kebijakan bea cukai dengan nomor P- 35/BC/2010 tentang perubahan mengenai Tata Laksana Pengeluaran Barang Import dari Kawasan Pabean untuk ditimbun di tempat Penimbunan Berikat, dinilai oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, karena dalam banyak hal kebijakan ini hanya memperlambat proses import barang yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu.

Banyak pengusaha garment dan alas kaki yang mengeluh atas kebijakan ini, selain sebagian didasari oleh ketidakcakapan dalam aspek pemahaman pengetahuan mengenai tata laksana prosedur dan dokumentasi yang baik dan benar, juga karena peraturan itu sendiri seolah meniadakan fungsi dan peran industri kurir logistik jenis ekspress. Dengan kebijakan yang baru tersebut, proses pengerjaan yang seharusnya cepat dan ekspress menjadi tidak ekspress dan cepat lagi.

Padahal peraturan tersebut sendiri dimaksudkan agar segala fungsi menjadi serba full elektronis dan bebas dari masalah sogok-menyogok dan kesalahan informasi dan data pengiriman dan penerimaan barang serta masalah dokumentasi.

Yang menjadi masalah di sini adalah ketidakhati-hatian pihak-pihak terkait untuk duduk satu meja membahas bersama-sama detail implementasi dan pelaksanaan peraturan yang akan diundangkan, melainkan langsung saja memberlakukan peraturan tersebut per 1 Agustus 2010 tanpa pembahasan mendalam dengan semua pihak terkait.

Ini adalah bentuk bobroknya manajemen dan proses birokrasi di negara ini, sehingga setiap kali muncul produk peraturan perundangan selalu menimbulkan kehebohan bagi semua pihak. Dari pihak pemain industri sendiri, juga tidak kurang konyolnya dalam melengkapi carut-marut birokrasi di negara ini, sudah menjadi rahasia umum, seringkali pihak perusahaan, tidak pernah mengirim orang yang sama dan punya wewenang serta kompetisi setiap kali ada pembahasan, rapat, perembukan mengenai kebijakan dan peraturan baru dengan pemerintah, sehingga ketika peraturan hendak dijalankan, semua pihak baru ramai dan heboh. Contoh paling nyata adalah kasus CAFTA/ACFTA di mana pembahasannya sudah sangat lama tapi baru disadari saat mulai berlaku.

Akhir kata, sikap meremehkan, tidak mau bekerjasama, dan ketidakperdulian harus disingkirkan jauh-jauh oleh semua pihak, agar tidak lagi terjadi kekacauan-kekacauan pada saat pemberlakuan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Senin, 16 Agustus 2010

65 Tahun Indonesia Merdeka dalam Perspektif Ekonomi

Sejak awal proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengarungi berbagai macam peristiwa dan pasang surut perekonomian. Kita pernah mengalami masa-masa terburuk di mana laju inflasi terbang hingga lebih dari 600%, pemotongan / pengguntingan mata uang rupiah atau lebih sering disebut sebagai sanering, kejatuhan mata uang rupiah akibat serangan spekulasi valas hingga terjun bebas ke level 16000/17000 ribu rupiah per US dollar.

Namun kita juga pernah mengalami masa-masa gembira di mana tercapai swasembada pangan, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kebangkitan industri manufaktur (otomotif-garment-alas kaki), dan juga kemajuan di bidang pendidikan yang ditandai banyaknya para pengajar dan mahasiswa negeri jiran yang belajar di kampus-kampus ternama di tanah air (pada masa lalu).

Suka atau tidak, kita harus akui kita pernah berhasil dalam pembangunan ekonomi, dan sempat dijuluki oleh berbagai media asing sebagai salah satu “Macan Asia” dalam kekuatan perekonomian di Asia Tenggara.

Namun seringkali keberhasilan dan kemajuan ekonomi yang dicapai membuat bangsa ini cepat berpuas diri dan mudah lupa diri serta terlena. Padahal dalam pembangunan itu tidak dikenal kata istirahat atau berhenti sejenak, karena semua negara saling berlomba-lomba untuk mencapai keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) dalam era perdagangan internasional.

Hari ini mungkin Indonesia, besok Singapore, lusa China dan seterusnya, saling berlomba untuk menjadi yang nomer satu dalam perang dagang sebagai pengganti bentuk perang militer dan perang fisik di masa purba.

Memang idealnya dalam perdagangan internasional, semua saling mengisi dan terjadi proses barter keunggulan masing-masing negara sehingga tercipta keseimbangan perdagangan. Namun pada praktek di alam nyata jarang sekali hal itu terjadi, apalagi di masa perdagangan bebas seperti sekarang, yang marak terjadi adalah produk dari suatu negara yang memiliki keunggulan kompetitif dari negara lainnya akan membanjiri pasar negara yang kurang kompetitif.

Di satu sisi, pemerintah dan juga bangsa kita seringkali lupa, bahwa para investor bukanlah orang bodoh yang mau menanamkan uangnya begitu saja di negara yang tidak memiliki keunggulan dalam menarik investasi asing. Padahal tanpa bantuan investasi asing, tentu sulit mengharapkan akselerasi pertumbuhan ekonomi secara signifikan.

Padahal permintaan para investor asing untuk menanamkan uangnya di Indonesia tidaklah banyak, mereka hanya mengharapkan adanya infrastruktur yang memadai bahkan kalau bisa kompetitif dari mulai dari:

  • transportasi dan jalan raya,
  • kelistrikan,
  • kawasan industri terpadu yang baik dan aman,
  • sumber daya alam yang mencukupi,
  • biaya produksi yang bersaing (UMR dan lainnya),
  • dan kestabilan politik
  • serta birokrasi yang lancar, cepat, bersih dan efisien.

Dalam banyak hal, kita sering kalah bersaing dengan negara tetangga untuk poin pertama dan poin terakhir. Dibandingkan banyak negara tetangga, Indonesia memiliki rangking yang cukup jelek dalam hal biaya logistik, dan penyumbang terbesar untuk kekalahan itu adalah poin nomer satu dan poin nomer akhir.

Anda bisa bayangkan, jika harga sepotong roti burger di Thailand, bisa jauh lebih murah ketimbang harga sepotong roti burger di Jakarta dan dengan porsi yang lebih baik. Ini disumbangkan oleh biaya TDL yang murah dan bersaing, dan biaya logistik yang terjangkau. Meskipun UMR di sebagian provinsi di Thailand lebih mahal ketimbang UMR di sebagian provinsi di Indonesia. Sekedar contoh, gaji rata-rata staff di Bangkok mencapai range 10 ribu baht atau sekitar 2.7 juta rupiah (kurs 1 baht = 270 rupiah) padahal sekarang kurs Baht sudah mencapai 280 rupiah per satu baht nya.

Begitupula dengan tingkat kesejahteraan hidup kebanyakan orang di Jakarta, banyak yang sebenarnya masuk ke dalam kriteria miskin, namun karena “permainan statistik” maka kriteria miskin digeser ke angka pendapatan di bawah 200 ribu rupiah per bulan. Padahal secara nalar seseorang dikategorikan miskin jika tidak mampu membayar pajak, artinya seseorang yang memiliki penghasilan di bawah PTKP seharusnya masuk ke dalam kategori miskin atau setidaknya kurang mampu.

Apakah ini sekedar upaya untuk memanipulasi data-data ekonomi agar kita tetap dipercaya oleh negara asing untuk mendapatkan hutangan baru atau bantuan modal? Atau sekedar lip service agar orang percaya bahwa kita telah berhasil dalam program pengentasan kemiskinan?

Hal lain yang perlu menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini adalah masalah kualitas pendidikan. Karena hingga detik ini, masalah pendidikan masih menjadi masalah besar bagi pondasi pembangunan ekonomi di negara ini. Angka pengangguran terdidik yang semakin tahun semakin membengkak adalah bukti nyata bahwa pendidikan di negara ini masih jauh dari harapan dunia kerja. Kita terlalu banyak dicekoki oleh teori-teori non aplikasi yang seharusnya untuk porsi para peneliti dan pengajar, bukan porsi anak didik yang seharusnya dibekali oleh ketrampilan penguasaan bidang yang akan dimasuki di lapangan kerja.

Hasil pantauan pribadi penulis menunjukan bahwa hingga detik ini, banyak orang yang terpaksa “berselingkuh” dengan program pendidikan non formal agar bisa bertahan dalam persaingan di dunia kerja, karena jalur pendidikan formal sama sekali tidak siap untuk mempersiapkan para calon tenaga kerja untuk bersaing di dunia kerja.

Sebagai contoh, pendidikan ekspor-impor yang diambil oleh penulis, didapat melalui jalur pendidikan non formal di salah satu lembaga pelatihan swasta tahun 1999. Begitupula dengan keahlian perpajakan Brevet A dan Brevet B, penulis tidak mendapatkan itu semasa menempuh jalur pendidikan formal, padahal dunia kerja perbankan tempat penulis sempat bergelut di dalamnya, sangat membutuhkan dua ketrampilan tersebut (ekspor impor dan perpajakan). Meskipun pernah mendapatkan teori-teori perpajakan di bangku kuliah, namun hal tersebut jauh dari kebutuhan yang ada di lapangan kerja. Ini sebagai contoh saja bagaimana antara perguruan tinggi dan dunia kerja terjadi jurang lebar dalam hal pemenuhan kebutuhan akan tenaga profesional.

Begitupula mengenai tuntutan kelayakan hidup. Di Indonesia, sulit sekali mencari standar hidup yang layak sesuai dengan standar gaji para pegawai. Kebanyakan orang harus memiliki pekerjaan sampingan untuk bisa bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak mereka.

Sementara di satu sisi, segala subsidi perlahan namun pasti mulai dikurangi porsinya oleh pemerintah / negara kita. Bahkan sebagian besar subsidi mulai dicabut. Padahal segala subsidi itu datangnya juga sebagian besar dari pajak yang dipungut dari masyarakat dan badan usaha. Upaya-upaya pemenuhan subsidi silang dalam hal pembangunan seringkali tidak berhasil, dan malah menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, subsidi bensin premium yang ternyata juga dinikmati oleh para pemakai mobil mewah.

Padahal subsidi itu akan lebih baik jika digunakan untuk pembangunan sarana transportasi massal yang memadai seperti pembangunan MRT/Subway dan Monorail/Skytrain. Tentu akan melegakan bagi banyak orang. Tidak seperti sekarang di mana para pemakai jasa bus umum dan bus transjakarta seringkali berdesak-desakan mirip seperti ikan dendeng.

Lebih parahnya lagi, kebutuhan akan hidup sehat dan bergizi masih jauh dari angan-angan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Harga bahan pangan yang terus membumbung tinggi, menyebabkan banyak orang terpaksa mengkonsumsi daging kadaluarsa hasil import illegal dari luar negeri, dan juga makanan-makanan yang sudah lewat batas aman konsumsinya. Di sebagian daerah pinggiran Jakarta, di mana UMR nya sangat rendah, banyak dijumpai fenomena pasar yang menjual roti sisa penjualan roti dari kota besar seperti Jakarta. Dan hal itu telah dibuktikan oleh stasiun TV beberapa waktu yang lalu.

Di lain pihak pembrantasan korupsi sepertinya masih jalan di tempat, kalau tidak mau dikatakan mati sebelum waktunya. Berbagai temuan di media massa seringkali tidak serta merta ditindaklanjuti dalam bentuk yang nyata. Padahal seringkali tingginya biaya operasional di Indonesia karena masalah biaya siluman yang merupakan wujud dari korupsi di tanah air.

Banyak para pelaku bisnis yang mengeluh soal tingginya biaya siluman ini, dari mulai “oknum” di jalanan, “oknum” di pasar, hingga “oknum” di pelabuhan / bandara.

Itu sebabnya, mengapa para investor asing lebih suka menanamkan investasinya di Indonesia dalam bentuk “Hot Money” baik di SBI, ORI, maupun SUN dan juga saham. Sedikit sekali perbandingannya jika dibandingkan yang ingin berinvestasi dalam bentuk Direct Foreign Investment (DFI) dalam wujud pembangunan industri skala menengah-besar.

Hal ini karena tingkat risiko investasi di negeri ini sedemikian tingginya mencapai sekitar 40% yang merupakan sumbangan dari para pelaku politik, oknum-oknum di lapangan, buruknya infrastruktur dan lain sebagainya.

Jika hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin kita akan kembali mengalami kemunduran seperti pada masa Orde Lama di awal kemerdekaan. Oleh karena itu, sudah menjadi perhatian bagi kita semua untuk saling bahu-membahu menyelamatkan negeri ini dari pengaruh-pengaruh buruk yang sudah mengakar budaya dan membantu mengembangkan negeri ini ke arah yang lebih baik.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Rabu, 11 Agustus 2010

Masa Depan Industri Telekomunikasi di Indonesia

Di mulai dari pendirian Telkom untuk melayani komunikasi suara dalam negeri dan Indosat untuk melayani percakapan suara internasional, Indonesia mengawali sejarah perjalanan bangsa ke dalam ranah dunia telekomunikasi. Di lain pihak pendirian RRI sebagai corong perjuangan dan kemerdekaan juga membantu mempercepat perkembangan industri telekomunikasi hingga akhirnya melahirkan TVRI.

Namun seiring dengan tantangan jaman dan perkembangan teknologi, masa depan telekomunikasi tidak lagi terbatas kepada media radio, televisi, dan telefon konvensional, melainkan sudah merambah kepada bidang teknologi layanan selular, data, internet, video streaming, broadband multimedia dan lain banyak lagi bidang lainnya yang akan terus semakin berkembang.

Para pemain layanan broadband multimedia juga sudah mulai berlomba mengejar kemajuan teknologi yang ada dengan terus menggelar sejumlah inovasi dan memperbesar kapasitas mereka. Di mulai dari rencana Indovision untuk menggelar layanan TV Satelit berbayar dalam teknologi High Definition, disusul oleh ide penerapan layanan TV Digital oleh pemerintah (meski kemudian proyek ini terhenti di tengah jalan ditandai dengan padamnya sejumlah siaran digital TV swasta), dan terakhir perkenalan layanan Broadband HD oleh First Media untuk siaran digital Full HD pada beberapa channel mereka mulai Oktober mendatang (masih terbatas pada 5000 pelanggan tertentu) dan juga upgrade layanan internet mereka ke standard Broadband Multimedia yang minimal memberikan akses internet pada kecepatan 1Mbps (meskipun berdasarkan pengalaman penulis kecepatannya masih belum stabil terutama pada siang hari dan sejumlah daerah yang masih menggunakan jalur analog coaxial).

Sementara dari sisi selular, para operator selular berlomba-lomba memperbesar bandwidth mereka baik untuk akses dari pengguna ke operator maupun dari operator ke jalur backbone di luar negeri. Dari mulai Telkomsel yang menggelar layanan HSDPA+ berkecepatan maksimal 21Mbps hingga Indosat yang menggembar-gemborkan layanan Dual Channel Carrier HSDPA+ berkecepatan 42Mbps.

Tarif layanan suara dan sms dari para operator selular sendiri turun cukup drastis, begitu pula untuk layanan internetnya, malah ada yang menawarkan paket internet 0.3 rupiah per kb, hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, meski ada juga yang masih menjual tarif gprs 5 rupiah per kb.

Namun sayangnya, perang teknologi dan harga ini tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas layanan internet yang baik dan benar. Hingga saat ini, berdasarkan pengalaman penulis baru ada dua ISP swasta bukan penyelenggara telekomunikasi suara yang mampu memberikan kualitas sebaik harganya. Sementara para operator selular maupun pemain broadband multimedia sendiri yang notabene punya backbone internet tersendiri justru malah kurang memuaskan sebagian besar pengguna.

Padahal keberhasilan pengenalan teknologi baru dan juga bertahannya para pemain di tengah persaingan industri yang sudah mendunia ini adalah pada kesempurnaan layanan dan dukungan infrastruktur yang memadai. Tanpa kualitas infrastruktur yang memadai dan layanan bebas masalah, semua itu akan sia-sia saja. Dana trilyunan rupiah yang digelontorkan sebagai investasi tidak akan memberikan imbal hasil yang baik jika kualitas masih amburadul.

Ke depannya sendiri, batasan definisi telekomunikasi akan semakin kabur dan akan semakin dikuasai oleh layanan data dan atau internet. Semua teknologi apakah itu televisi satelit, televisi kabel, radio dan lain sebagainya akan mengarah kepada satu paket multimedia broadband data berkecepatan tinggi, seperti yang diungkapkan oleh pihak First Media dalam siaran persnya sebagaimana dikutip oleh detik com, bahwa siaran HD berbayar mereka akan menggunakan kecepatan layanan data digital 12Mbps.

Tentu saja hal ini berita menggembirakan, namun perlu dipahami, secanggih apapun teknologinya, tidak akan memberikan nilai tambah jika konten layanan tersebut tidak bermutu (berkualitas). Misalnya siaran signal HD tentu akan sangat terasa manfaatnya jika untuk program-program edukasi seperti National Geographics, Discovery Channel. Semoga ke depan kita semakin maju dan bijaksana dalam melakukan implementasi teknologi.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Minggu, 08 Agustus 2010

Manajemen Bencana Sistem Komputerisasi Airport yang Terabaikan

Beberapa waktu yang lalu dan sampai hari ini masih menjadi pemberitaan hangat di mass media, adalah kasus down nya sistem komputerisasi dan x-ray di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng yang menurut kabar beberapa pihak diakibatkan oleh kegagalan sistem elektrik selama 1.7 detik.

Padahal untuk industri jasa yang sangat vital dan mahal seperti perbankan dan airport, membutuhkan system recovery plan yang sangat sempurna dan tidak mentolerir kesalahan ataupun kegagalan.

System Disaster Recovery Plan, tidak hanya mencakup fault tolerance dalam kelistrikan dan komputasi, namun juga dalam menghadapi bahaya dan ancaman pengeboman, terorisme, huru-hara massal dan lain sebagainya.

Mirorring system hanyalah satu dari seribu satu cara mengatasi kegagalan seperti yang terjadi di airport Soekarno Hatta. Listrik bandara sendiri tidak boleh satu detikpun berkedip, oleh karena itu penggunaan sistem UPS BackUp yang sempurna juga adalah wajib terutama pada bagian-bagian instalasi yang penting seperti mesin X-Ray, Radar, Avionik, Komputerisasi Sistem dan lain sebagainya. Istilahnya airport boleh hanya menyala dengan lampu darurat akan tetapi sistem komputer airport dari mulai radar, manajemen keamanan, imigrasi hingga bea cukai nya harus menyala 24 tanpa jeda satu detikpun.

Paling penting dari semuanya adalah, langkah-langkah prosedural-nya harus dibukukan secara resmi melalui ketetapan SOP (System Operational Procedure) dan harus diaudit secara berkala (setidaknya sebulan sekali) baik teknis pelaksanaannya maupun kesesuaiannya dengan tuntutan jaman.

Tidak kalah penting daripada itu adalah mentality concern dari segenap jajaran petugas dan manajemen di bandara untuk selalu bertindak antisipatif terhadap berbagai kemungkinan dan ancaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Seperti Jamming System Airport, yang bisa dilakukan oleh kapal perang AS sekelas kapal induk yang sering merapat di teluk Jakarta ataupun ancaman serangan teroris hacker IT maupun teroris politik dan keamanan.

Pembelaan diri dan silat lidah dari pihak-pihak terkait tanpa disertai tindakan perbaikan yang nyata adalah sia-sia, karena masyarakat dan berbagai pihak yang concern terhadap masalah ini menginginkan adanya perbaikan dan bukti nyata. Sehingga kiranya kejadian ini bisa menjadi pembelajaran yang mahal di masa depan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Sabtu, 24 Juli 2010

Strategi Bisnis Apple Mac antara Gaya Hidup vs Teknologi

Di berbagai majalah IT maupun HiFi seringkali dijumpai perkataan “More Marketing Hype than Hope”, yang mengkonotasikan iklan yang terlalu berlebihan dari suatu produk namun pada kenyataannya seringkali jauh dari ekspetasi konsumer.

Banyak pula orang yang menyatakan bahwa Apple terlalu banyak “berlebihan” menggembar-gemborkan keunggulan produknya ketimbang realitas yang sebenarnya.

Pernyataan tersebut di atas bisa ya bisa juga tidak. Ya jika dikaitkan bahwa dari sana tercetus pemikiran tiada produk lain selain Apple, tidak jika dikaitkan keunggulan teknologinya.

Pada kenyataannya produk-produk premium keluaran Apple memang memiliki kemampuan daya tahan kualitas barang yang cukup lumayan. Meski memang ada beberapa produk yang sempat bermasalah, namun secara keseluruhan kualitas produk Apple memang se-premium harganya.

Kesalahan desain antenna yang oleh beberapa media dikatakan sebagai Antennagate, jelas terlalu berlebihan juga. Karena yang namanya cacat produksi dan salah desain bukan hanya milik Apple semata, namun hampir semua produk baik selular maupun non selular pernah mengalaminya. Karena jangankan Apple, salah satu brand selular yang terkenal dengan Six Sigma Quality saja pernah babak belur saat menghadapi problem pada salah satu produknya yang terkenal. Pada waktu itu karena salah satu produknya menjadi hit di pasar, salah satu mitra OEM nya babak belur menjaga kualitas produksi hingga menimbulkan banyak masalah.

Apple sendiri dalam menjalankan bisnisnya selalu berpijak pada dua hal, yakni lifestyle (gaya hidup) dan teknologi. Betul jika dikatakan para fans Apple adalah orang yang senang dengan gaya hidup, namun juga mereka orang yang paham soal kualitas daya tahan teknologi. Anda tidak bisa hanya berjualan salah satunya. Lifestyle tanpa didukung oleh kualitas barang tentu akan ditinggalkan orang, begitu juga kualitas tanpa ada sentuhan marketing gimmick nya ya tidak laku juga.

Itu sebabnya, mengapa Apple menggandeng Intel Corporation sebagai salah satu partner dalam unit prosesornya. Karena Intel unggul pada teknologi dan juga pemasarannya diterima luas tidak hanya oleh end user (pemakai akhir) namun juga dikalangan programmer dan software developer.

Dan hebatnya, Apple tidak hanya menjual produk maupun brand image, namun juga solusi (baca kembali artikel saya mengenai menjual tanpa terlihat menjual), hal yang dulu kurang begitu disentuh oleh Apple. Banyak toko Apple yang menyertakan pelatihan multimedia dimana meski ujung-ujungnya mempromosikan kecanggihan produk Apple secara tidak langsung, namun pada prakteknya lebih mengedepankan suatu solusi, baik dalam hal ketrampilan umum (multimedia) maupun khusus (Photoshop, Music, Animation dsb).

Dalam suatu bahasan di CNBC News, dikatakan kemungkinan Apple akan sesukses atau lebih sukses ketimbang IBM saat masih jaya dalam dunia komputer. Hal ini tercermin dari pergerakan harga saham Apple yang terus meroket sepanjang waktu.

Hal ini didukung dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan fitur Boot Camp (dual booting) pada komputer Apple, sehingga para pengguna 3D Animation yang sebagian besar memang pasarnya ada pada komputer PC-Windows, perlahan-lahan mulai mencoba menjalankan program animasi mereka pada komputer-komputer Apple yang didual boot dengan Windows. Sehingga orang tidak lagi perlu dua komputer untuk menyelesaikan satu persoalan namun cukup satu komputer dengan dua sistem operasi, itu pun kemungkinan di masa depan, akan menjadi hanya satu operating system saja meskipun penulis tidak berani meramal siapa yang akan menang nantinya.

Namun memang sekali lagi, life style dan teknologi tetap merupakan pakem dasar yang terus dipegang oleh Apple. Sukses pada iPad menunjukan hal tersebut, dimana teknologi bertemu dengan gaya hidup. Hal ini yang harus diperhatikan oleh industri PC di tanah air, agar bisa melihat gambaran masa depan bagaimana seharusnya PC dibuat.

Semoga bermanfaat.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Jumat, 23 Juli 2010

Menjual Tanpa Terlihat Menjual, Cara Baru dalam Menjual

Dulu ketika saya kuliah program magister manajemen, pernah saya memberikan nasehat kepada seorang sahabat baik yang ketika itu masih bekerja rangkap sebagai pegawai di salah satu perusahaan farmasi dan juga agent dari salah satu produk finansial (beliau sekarang pengusaha di bidang garment)

Nasehat itu sederhana sekali, yakni saya katakan bagaimana terlihat seperti tidak menjual, yakni dengan menjual produk maupun jasa namun tidak terlihat seperti sedang berjualan, meskipun yang diharapkan tetap bagaimana agar produk maupun jasa kita laku terjual.

Saya berani berkata demikian bukan tanpa bukti, melainkan justru karena terinspirasi dari sikap beberapa profesional yang juga merupakan sahabat baik di salah satu asosiasi yang mana saya dulu cukup aktif di dalamnya. Mereka meski saya tahu ujung-ujungnya berjualan juga, namun tidak pernah sekalipun bicara soal jualan produk.

Yang dilakukan oleh mereka adalah:

  • Memberikan solusi-solusi dalam bisnis yang terkait dengan klien / konsumen
  • Memberikan konsultasi bisnis terhadap bisnis terkait atau masalah yang dihadapi klien
  • Melakukan kerjasama / kolaborasi dengan klien yang mana akan menimbulkan peluang bisnis baru

Hal-hal seperti ini yang banyak dilakukan oleh para marketer profesional, di mana nilai tambah pada salesmanship nya berada pada kemampuan memberikan jasa solusi maupun konsultasi yang tidak bersifat memaksa, namun dapat menggiring opini calon klien untuk tertarik dengan produk / jasa yang dimiliki atau ditawarkan oleh profesional tersebut.

Kebanyakan para tenaga pemasar saat ini, masih terus terbelenggu oleh pikiran-pikiran bagaimana menjual yang baik dan benar, dan lain sebagainya, namun ketika dikejar-kejar oleh target, menjadi stress dan kembali ke cara lama yakni berjualan yang benar-benar mirip seperti jualan di pasar tradisional.

Padahal yang diperlukan adalah bagaimana menjual suatu solusi dan menguasai pengetahuan yang baik akan solusi-solusi yang hendak diberikan.

Sebagai contoh, saya termasuk yang fanatik terhadap suatu merek, namun demikian, ketika kemarin pergi ke salah satu pasar alat-alat rumah tangga, saya berubah pikiran soal merek pompa air yang biasa saya pakai. Hal itu bukan karena sang penjual menjelek-jelekan produk tersebut (karena mereka sendiri menjual hampir semua merek pompa air) ataupun membanggakan produk lain, namun karena mereka membeberkan sendiri masalah-masalah yang akan dihadapi saat berhadapan dengan kadar air garam yang meningkat di sumur perumahan. Dan kebetulan merek yang akhirnya saya beli termasuk salah satu yang memenuhi standar kriteria yang saya tetapkan (ada beberapa tapi saya pilih yang value for money). Sementara merek produk fanatik kesukaan saya justru mengalami penurunan kualitas pilihan material yang mereka gunakan sebagai bahan baku komponen mesin (mungkin untuk menekan harga).

Padahal sang penjual sama sekali tidak menyarankan merek tertentu dan juga tidak menjelek-jelekan produk yang tadinya saya selalu pakai.

Nah cara seperti di atas itulah yang seharusnya diperhatikan dan disempurnakan lebih lanjut oleh para tenaga pemasar di masa kini.

Tentu saja agar dapat menguasai permasalahan para calon klien / pelanggan / konsumen kita harus rajin dan selalu rutin memperbaharui pengetahuan kita akan produk dan jasa yang kita jual, tidak hanya terbatas terhadap produk / jasa perusahaan kita namun juga terhadap perkembangan produk / jasa yang sedang terjadi saat ini, apa yang sedang trend, apa yang menjadi isu saat ini dan lain sebagainya.

Semoga para tenaga pemasar kita menjadi semakin lebih baik dan maju di masa depan. Salam.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Kegamangan Euro Menghadapi Stress Test Perbankan Eropa

Hari-hari terakhir ini, para direksi perbankan Eropa seperti duduk di atas kursi panas, sibuk menunggu hasil stress test perbankan di seluruh Eropa. Meskipun masih banyak yang mempertanyakan kriteria dan metodologi yang dipergunakan, namun semua mengamini bahwa Stress Test Perbankan Eropa masih jauh lebih ketat dibandingkan Stress Test Perbankan Amerika. Dan stress test ini disimulasikan oleh pihak European Central Bank menggunakan skenario kondisi terburuk yang akan dihadapi jika andaikan terjadi keterpurukan ekonomi secara mendalam.

Pasar valas sendiri menyikapi stress test secara hati-hati meskipun di sisi lain banyak para pemain valas yang melakukan spekulasi sehingga menyebabkan nilai tukar Euro naik turun sangat tajam selama lima hari terakhir bagaikan siklus roller coaster.

Perdagangan Euro sendiri sepanjang hari Jum’at (waktu Eropa) bergerak secara luar biasa fluktuatif, dari pembukaan mendekati level 1.29 dan terjun bebas ke level 1.2821 (saat tulisan ini diturunkan), padahal sebelumnya sempat nilai tukar Euro menguat mendekati level 1.295 terhadap dollar Amerika.

Hasil stress test sendiri untuk sementara menurut beberapa kantor berita dan televisi siaran ekonomi seperti CNBC menyatakan 7 dari 91 Bank Eropa berpotensi gagal jika terjadi krisis yang sangat dalam, dan 4 dari bank gagal tersebut didominasi oleh perbankan Spanyol, dan 1 bank asal Jerman (hingga tulisan ini diturunkan).

Namun demikian, kita perlu menyikapi secara hati-hati hasil tersebut. Karena seperti yang dilontarkan oleh beberapa pakar perbankan di Eropa, bahwa stress test tersebut tidak menjamin bahwa bank-bank yang tidak terkena list gagal test pasti akan selamat. Karena komponen-komponen penentu tidak hanya sekedar angka-angka seperti kecukupan modal, rasio hutang dan lain sebagainya, tapi juga bagaimana hutang-hutang tersebut dibuat, kontrak-kontrak bisnis yang ada dan lain sebagainya. Karena faktor-faktor seperti kemungkinan hutang tak tertagih dan lain sebagainya bisa saja bias dalam penilaian.

ECB atau European Central Bank sendiri menyatakan perbankan asal Perancis termasuk yang berada pada kategori sangat sehat. Dan perbankan Swiss termasuk yang tahan banting. Mungkin berita ini cukup menggembirakan bagi para konglomerat hitam yang banyak menyimpan uang di jasa Private Banking asal negara tersebut.

Akan tetapi seperti yang sudah diuraikan di atas, kewaspadaan dan diversifikasi portfolio tetap wajib dilakukan. Karena kecukupan modal seperti di beberapa bank besar asal Perancis dan Swiss yang mengelola jasa Private Banking tidak serta merta menjadikan jaminan aman 100 persen. Karena anda tetap harus mengevaluasi secara kontinyu laporan keuangan mereka. Rasio-rasio keuangan dan strategi pendanaan serta kredit mereka tetap harus diawasi secara ketat.

Ambil contoh, salah satu bank besar asal Inggris, meskipun dia lolos dari stress test, namun tetap harus diwaspadai kondisinya, karena termasuk salah satu bank yang membawa banyak masalah dalam likuiditas dan rasio hutang terhadap modalnya (maaf karena etika penulisan dan etika bisnis saya tidak akan menyebutkan bank mana, silahkan tonton sendiri beritanya di televisi asing).

Yang perlu disikapi dari hasil stress test perbankan Eropa ini adalah, kita harus berhati-hati melihat kondisi ekonomi ke depannya, karena jika benar-benar terjadi krisis kembali, maka kita bisa cepat mengantisipasi dan melakukan diversifikasi ke bidang-bidang dan perbankan yang tepat.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Sabtu, 10 Juli 2010

Pentingnya Pengetahuan Produk dan Memahami Kebutuhan Konsumen bagi Sales Counter

Beberapa hari ini saya mondar-mandir di beberapa retailer besar elektronik, untuk mencari beberapa barang pesanan teman. Sejujurnya saya agak kecewa dengan sikap para Sales Counter tersebut, yang kebanyakan tidak menguasai produk-produk yang dijual ataupun ditawarkan oleh perusahaannya, terlebih lagi mereka sepertinya acuh tak acuh dengan apa yang mereka jual, malah sebagian orang menawarkan solusi yang tidak saya butuhkan. Ini terjadi bukan hanya di Retailer Elektronik Lokal namun juga Retailer Elektronik Asing yang beroperasi di berbagai mall terkemuka.

Celakanya juga nampak bagian promosi dan bagian operasional lapangan yang bertugas menjual produk serta bagian gudang tidak sinkron sama sekali mengenai informasi ketersediaan barang, dan hal ini acapkali menimbulkan tuduhan penipuan oleh para konsumen terhadap retailer besar tersebut, bagi orang yang memahami persoalan, hal ini tentu saja menunjukan kelemahan manajemen retailer tersebut.

Misalnya saja salah satu retailer besar elektronik asing memajang informasi bahwa perusahaan tersebut menjual salah satu produk elektronik terbaru pada harga diskon spesial, namun ketika penulis mulai melakukan pengecekan ke lapangan, nampak para sales counter panik dan kebingungan, apalagi ketika dikonfrontir dengan berita iklan di koran yang dilansir oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Karena memang barang yang digembar-gemborkan tersebut tidak ada di counter, bahkan di gudang pun tidak ada, dan salah seorang senior sales yang bekerja menginformasikan produk yang dijual harus indent terlebih dahulu.

Padahal sebelum retailer memulai menjual produk, harus dilakukan penyuluhan, training dan product knowledge terhadap para sales yang bekerja di shop floor. Agar tidak menimbulkan komplain dari para pembeli ataupun calon pembeli. Pernah terjadi di salah satu retailer besar, seorang klien datang dan memaki-maki seluruh staff penjual, karena ternyata barang yang hendak dibeli tidak ada, dan malah ditukar oleh produk lain, tidak sesuai dengan iklan di koran yang digembar-gemborkan, pembeli tersebut yang telah membayar dimuka menuntut pengembalian uang atau akan melaporkan toko yang bersangkutan ke pengadilan dengan tuduhan penipuan. Kontan saja Manager On Duty toko yang bersangkutan panik luar biasa dan berusaha meredakan amarah pembeli dan meminta maaf. Tapi kalau sudah begini, nasi sudah menjadi bubur, nama baik perusahaan sudah cemar dan orang tentu saja lebih memilih membeli barang di Mangga Dua ataupun toko-toko retail kecil yang bahkan pesuruh toko pun bisa tahu barang mana yang hendak dibeli.

Hal ini tidak saja terjadi pada layanan retailer elektronik, namun juga pada model bisnis jasa layanan telekomunikasi, di mana penulis menemukan kenyataan, di banyak perusahaan jasa telco terkemuka, customer service sering tidak mengerti kebutuhan konsumen dan sering tidak menguasai produk yang dijualnya. Misalkan saat penulis menemani seorang kerabat melakukan pelaporan masalah jasa blackberry, customer service yang melayani tampak tidak mengerti antara masalah yang dihadapi customer meskipun telah dijelaskan dengan bahasa yang sederhana, mudah dan transparan, penulis bahkan sudah menghindari penggunaan kata-kata teknis yang menurut penulis akan semakin sulit dipahami oleh para front line customer service. Lebih memilukan dan memalukan, ketika sudah lebih dari 30 menit sang petugas mondar-mandir berusaha melakukan otorisasi jaringan secara manual, tetapi tetap saja gagal dan belakangan petugas baru menyadari sistem IT di perusahaan tersebut sedang bermasalah. Ini menunjukan antara bagian operasional IT dan Customer Service tidak ada komunikasi yang baik.

Masalah-masalah seperti di atas sebenarnya sepele saja, tidak perlu jauh-jauh sekolah ke Harvard apalagi pakai jasa konsultasi pelatihan tingkat dunia, namun karena terlalu dianggap remeh, justru jadi batu sandungan bagi kelangsungan jangka panjang perusahaan. Bayangkan jika ada pesaing yang mampu menawarkan kesempurnaan kerja dengan harga yang sama (tidak perlu diskon) apa tidak akan lari semua pelanggan ke pesaing anda?

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Minggu, 04 Juli 2010

Bisnis Jet Pribadi Menangkap Peluang Ceruk Pasar

Ketika pagi ini saya menonton acara bisnis news Metro TV dan melihat berita diluncurkannya salah satu jet pribadi terbaru yang diliput langsung oleh salah satu wartawati Metro TV Marischka Prudence, saya jadi teringat berita hari ini yang ditulis juga oleh harian Kompas cetak mengenai hal yang sama.

Private Jet seharga kalau tidak salah 53 juta dollar Amerika ini, hanya mampu membawa sekitar 19 orang penumpang saja. Namun memiliki fasilitas mewah layaknya suatu private lounge, dari mulai hadirnya penggunaan TV layar datar ukuran besar untuk menonton maupun mengetahui posisi pesawat (dengan bantuan GPS tentunya), layanan WiFi, tempat tidur, sofa dan lain sebagainya.

Namun banyak orang yang bertanya, apakah memang kehadiran bisnis jet pribadi ini sudah menjadi suatu keperluan bagi masyarakat kita? Bagi banyak orang hal ini tentu saja masih dianggap suatu gaya hidup pamer yang tidak menginjak bumi, namun pada kenyataannya, promosi penjualan jet pribadi ini bukan hanya monopoli satu dua perusahaan saja, namun sudah banyak perusahaan, termasuk kabarnya Honda yang beberapa waktu lalu telah meluncurkan jet mini pertamanya yang berorientasi ke pasar jet pribadi.

Jika anda melihat analisa pertumbuhan pasar orang-orang super kaya di Indonesia yang memiliki simpanan deposito / rekening uang (baik valas maupun rupiah) di atas 500 juta hingga 2 milyar rupiah per account, anda akan terkejut jika tingkat pertumbuhannya mencapai sekitar 300 ribu nasabah pada tahun 2009 dan akan mencapai sekitar 400 ribu nasabah pada tahun 2012 (statement salah satu bank Asing). Bandingkan dengan tingkat pertumbuhan setoran pajak pribadi yang tidak sebesar itu.

Hal ini tentu saja merupakan suatu kesempatan / peluang bisnis yang harus ditangkap oleh para pelaku pasar yang bermain di kelas spesifik gaya hidup super kaya. Meskipun memang tidak semua orang kaya doyan hidup bermewah-mewah seperti salah satu pemilik saham bank swasta terbesar, yang hingga kini masih tampil sederhana dan merayakan ulang tahun perkawinannya secara sederhana pula.

Tentu saja para penjual jasa jet pribadi, baik yang terjun dalam bisnis sebagai pihak pedagang pesawat, maupun mereka yang menyewakan jasa jet pribadi secara per jam ataupun harian juga tergiur dengan adanya peluang pasar yang semakin baik tersebut. Boleh percaya boleh tidak, salah satu pusat sentra perbelanjaan super mewah di Jakarta, beberapa bulan terakhir ini sibuk mengubah beberapa ruangannya menjadi butik mobil-mobil super eksotis berharga milyaran rupiah. Artinya, memang ada peluang pasar yang harus ditangkap.

Tentu saja, bermain di ceruk pasar super mewah tetap harus berhati-hati juga, karena layanan ini sifat nya lebih pribadi, tentu saja kualitas pelayanan penjualan hingga layanan purna jual harus tetap yang nomer satu, dan berorientasi kepada pribadi. Karena pelanggan dari pasar jenis ini sangat rewel terhadap hal-hal sekecil apapun. Dan kredibilitas kita menjadi taruhan jika sampai konsumen tidak puas.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Selasa, 29 Juni 2010

SCOR Sebagai Salah Satu Panduan Dalam Mendesain Supply Chain

Di banyak perusahaan, apakah itu manufakturing, jasa logistik, distributor, supplier, sering terjadi kesalahan persepsi mengenai penggunaan dan pemanfaatan sistem IT dalam mengoptimalkan proses supply chain di perusahaan.

Penggunaan software dan sistem IT yang mahal yang dimaksudkan untuk membantu proses kerja supply chain sering berakhir dengan kekecewaan akibat jutaan dollar telah dikeluarkan namun hasilnya tidak sebanding dengan maksud investasi kalau tidak bisa dibilang gagal dan rugi besar.

Padahal dalam mengoptimalkan proses dari Supply Chain, permasalahan bukan pada seberapa canggih software ERP dan sistem IT yang anda pergunakan, namun pada kesalahan desain organisasi dan proses dari Supply Chain itu sendiri.

Organisasi-organisasi perusahaan yang masih berbentuk tradisional seperti mengikuti desain SILO Organization jelas bukan tujuan dari implementasi ERP. Apalagi kalau proses supply chain dalam perusahaan itu sendiri masih amburadul dan banyak terjadi konflik kepentingan.

Setidaknya suatu model bisnis harus sudah memiliki desain organisasi yang berorientasi pada proses kerja dan fungsi secara terintegrasi baru bisa menerapkan ERP. Itupun mereka sebaiknya di desain mengacu kepada standar baku SCOR (Suppy Chain Operation Reference model).

Dalam tulisan saya di awal-awal saya menulis di Kompasiana yakni mengenai ACFTA tantangan dan peluang menuju World Class Player (http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/02/11/acfta-tantangan-peluang-dan-menuju-world-class-player/) saya pernah menyinggung sedikit mengenai penerapan Supply Chain berbasis SCOR 9.0 sebagai salah satu upaya mengoptimalkan kinerja bisnis. Sementara itu berdasarkan perkembangan waktu SCOR sudah meningkat ke level SCOR 10.0 Reference Model.

Dasar dari tujuan SCOR sendiri bukan kepada penerapan ERP, namun lebih kepada evolusi dalam pembangunan keahlian, standarisasi dari definisi keahlian, sumber daya-sumber daya, dan terakhir adalah kriteria dari kinerja (baik individual maupun organisasi).

Salah satu bagian dari pencapaian SCOR adalah tingkat keberhasilan dalam penerapan standar ISO di lingkungan perusahaan (baik secara certified maupun non certified). Yang dimaksud non certified adalah proses kerja dalam perusahaan yang mengacu kepada kriteria ISO tanpa harus di audit oleh konsultan ISO itu sendiri.

SCOR sendiri dalam penerapannya mencakup proses Supply Chain Optimization and Re-Engineering, Re-Organization, Design Process of Organization, Strategic Development, Merger, Acquisition, Divestiture, Standardization, Streamlining, Management Alignment, New Business Start Up, Benchmarking, Process Outsourcing. (http://supply-chain.org/about/scor/how/can/scor/help)

Di kalangan pemegang merek terkenal yang rata-rata melakukan outsource pekerjaan manufaktur kepada mitra OEM (Original Equipment Manufacture) mereka, belum sepenuhnya berhasil dalam menerapkan SCOR ini secara baik dan benar. Hal ini karena keterbatasan sumber daya manusia yang memadai, baik dikalangan pemegang brand itu sendiri maupun mitra OEM mereka. Hal ini dikarenakan pemegang merek umumnya hanya melakukan kerja pemasaran, distribusi dan logistik, sementara untuk urusan antara pabrikan dan supplier adalah tanggung jawab mitra OEM mereka. Padahal SCOR mencakup whole process in industry. Sehingga membutuhkan komunikasi dan kerjasama yang baik.

Lantas dengan demikian, apakah SCOR ini adalah suatu kemustahilan? Tidak demikan, karena banyak sudah perusahaan yang berhasil dalam penerapan SCOR ini. Dari mulai Energy Company, Oil & Gas Company, Aerospace, Reverse Logistics, Automotive, Software Industry dan lain sebagainya.

Untuk mempelajari dan menerapkan SCOR ini lebih mendalam anda bisa mencoba melihat-lihat terlebih dahulu di website Supply Chain Council (http://supply-chain.org/).

Semoga bermanfaat

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker