Senin, 29 Maret 2010

Kesalahan-Kesalahan Umum dalam Strategi Bisnis

Beberapa waktu belakangan saya sering menerima keluhan teman-teman maupun para kolega mengenai parahnya kualitas layanan / servis / produk dan lain sebagainya. Kebanyakan masalah tersebut berasal dari perusahaan-perusahaan besar bahkan kelas dunia. Padahal sebagai perusahaan besar bukan kelas toko kelontong, seharusnya mereka dapat menjaga citra atau brand image dari perusahaan mereka.

Hal-hal yang menjadi kesalahan umum tersebut adalah:

  1. Gencarnya sales dan strategic marketing tanpa diimbangi oleh kualitas after sales service ataupun pelayanan pelanggan serta tidak ketidakmampuan layanan operasional mengimbangi pesatnya angka penjualan. Industri yang sering melakukan hal ini biasanya dari industri telekomunikasi dan internet, perbankan utamanya untuk produk kartu kredit (tidak tertutup juga pada produk fundingnya).
  2. Besar pasak daripada tiang. Ekspansi bisnis yang luar biasa sering tidak dimbangi oleh kesiapan secara operasional ataupun permodalan, hasilnya seringkali menimbulkan kredit macet dan juga beban dalam neraca keuangan. Ada perusahaan blue chip yang dulu menjadi idola, namun karena masalah keuangan yang ruwet menyebabkan banyak orang memilih menghindari membeli obligasi ataupun saham perusahaan tersebut. Meskipun di laporan keuangannya tampak kinclong tapi orang yang faham soal valuasi saham dan creative accounting pasti mengerti akal-akalan sang emitten.
  3. Kesalahan dalam menilai angka optimum produktivitas / produksi. Banyak para pengambil keputusan ataupun top manajemen seringkali keliru dalam menilai kelayakan investasi maupun ekspansi bisnis. Padahal tidak semua bisnis layak dibuat sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya. Ada kurva titik temu antara biaya operasional dengan output produksi yang pantas. Penambahan modal kerja dan mesin (dan juga tenaga kerja) hanya akan menghasilkan investasi yang mubazir. Ambil contoh: membangun pompa bensin setiap satu kilometer hanya akan menghasilkan kemubaziran dan meningkatkan biaya operasional, belum termasuk kredit yang harus dibayarkan kembali ke bank.
  4. Terlalu percaya kepada sistem. Ini sangat fatal dan seringkali terjadi pada perusahaan yang baru saja berkembang pesat. Pengawasan dan penilaian serta evaluasi secara kontinyu tetap diperlukan meskipun orang-orang di dalamnya sudah sangat handal. Terbukti korupsi termasuk korupsi waktu lebih sering terjadi pada orang yang sudah bertahun-tahun di dalam sistem. Orang kepercayaan ataupun bukan orang kepercayaan tetap harus dinilai secara obyektif.
  5. Mengabaikan potensi sumber daya manusia. Ada pepatah yang mengatakan success is about the man behind the gun. Hal tersebut tidak hanya meliputi level pimpinan namun juga anggota tim keseluruhan dari mulai direksi sampai dengan office boy. Anda tidak mungkin mengatakan bank anda sebagai yang terbaik jika layanan call centre nya tidak santun dan mengerti masalah yang dihadapi pelanggan.

Sebenarnya masih ada banyak lagi contoh kesalahan dalam menerapkan strategi bisnis yang cenderung mengabaikan hal-hal sepele namun fatal tersebut. Namun uraian di atas adalah contoh dimana banyak terjadi pada bisnis di tanah air belakangan ini. Sekiranya dapat menjadi pembelajaran agar perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya dengan lebih baik lagi.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Mewaspadai Lonjakan Kredit Macet di Perbankan Kita

Baru-baru ini sebuah tabloid ekonomi mingguan merilis artikel utama mereka dengan headline “bom waktu kredit mikro”, mengupas mengenai ancaman macetnya kredit mikro khususnya yang bergerak di sektor pengusaha kecil.

Namun sebenarnya ada ancaman lain yang tidak kalah dahsyatnya, yakni ancaman lonjakan kredit macet konsumsi yang meliputi KTA (Kredit Tanpa Anggunan) dan juga Kartu Kredit. Dalam hal ini perlu saya perjelas bahwa mengapa saya masukan KTA ke dalam kredit konsumsi karena pada kenyataannya KTA lebih banyak dipergunakan untuk sektor konsumsi oleh masyarakat kita bukan untuk keperluan usaha sebagaimana seharusnya. Sedangkan KTA Bisnis saya masukan ke dalam sektor kredit mikro sejenis KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Mengenai ancaman kredit macet itu, jelas sudah terlihat jauh di depan mata, semenjak awal tahun ini sudah banyak bank yang mengeluhkan sulitnya menagih pembayaran rutin kredit mikro maupun kredit konsumsi mereka. Bahkan disinyalir banyak jaringan mafia kredit macet yang bergentayangan di masyarakat kita.

Adapun bahaya kredit konsumsi sudah terlihat dari stagnannya pertumbuhan kredit konsumsi tahun 2009 hingga awal tahun 2010 serta macetnya pembayaran cicilan kredit tersebut. Bahkan disinyalir daftar hitam kredit macet kartu kredit di otoritas keuangan semakin bertambah dari bulan ke bulan, menandakan adanya kesulitan pembayaran akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sehingga tidaklah tepat jika seorang petinggi negara berkata negara kita lolos dari krisis global, karena pada kenyataan di lapangan, justru rakyat kecil yang menderita akibat lesunya perekonomian global.

Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan maraknya usaha dari perbankan kita dari mulai bank lokal hingga bank asing berlomba-lomba meraih peningkatan dana pihak ketiga baik dalam bentuk deposan hingga nasabah tabungan. Padahal awalnya perbankan asing tidak pernah ikut-ikutan terjun jor-joran memberikan hadiah langsung ataupun undian berhadiah sebagaimana perbankan lokal dengan alasan tidak mendidik, namun nampaknya “menjilat ludah sendiri” sudah dilakukan oleh bank-bank asing tersebut.

Hal ini menimbulkan tanda tanya, apakah krisis likuditas perbankan telah terjadi lagi sebagaimana dulu terjadi di tahun 2008 saat awal terjadinya ledakan krisis global (meskipun krisis subprime mortgage telah terjadi sejak pertengahan 2007)?

Bagi masyarakat awam, sulit bagi mereka untuk memahami mengenai lonjakan kredit macet dan ancaman yang melanda ini, karena pada prakteknya mereka hanya tahu jika mendadak otoritas keuangan menaikan tingkat suku bunga simpanan dan pinjaman sebagaimana hal klasik yang selalu dilakukan oleh mayoritas otoritas keuangan di hampir seluruh dunia.

Apakah dugaan ini akan benar terjadi atau tidak, kita lihat saja, hanya saja bagi kita masyarakat umum mengharapkan agar ada usaha-usaha stimulus dari pemerintah untuk mengatasi bahaya lonjakan kredit macet dikalangan rakyat dan pengusaha kecil, karena ekonomi Indonesia sangat bergantung kepada kekuatan pertumbuhan ekonomi kecil dan menengahnya. Tanpa itu, jumlah penduduk yang besar hanya akan menjadi masalah, bukan lagi kekuatan nasional.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Berfikir Secara Cerdas, Ekonomis, dan Efisien

Belakangan ini, seringkali terjadi masyarakat kita terjebak pada pola pikir yang tidak cerdas, sehingga yang terjadi adalah gaya hidup yang konsumptif, tidak ekonomis dan efisien. Padahal jika ingin difikir-fikir lebih lanjut, banyak sekali hal-hal yang tidak perlu dilakukan dan dihamburkan.

Hal tersebut tidak hanya menyerang pada masyarakat sebagai konsumen, namun juga para pelaku bisnis sebagai produsen ataupun penyedia jasa, masih baik jika dapat memberikan nilai tambah, seringkali yang terjadi tidak memberikan nilai tambah. Misalnya, beberapa operator seluler, jika hendak mengganti nomer berlangganan lama ke nomer berlangganan baru, tidak bisa hanya mengganti nomer, namun juga harus mengganti kartu SIM GSM yang ada. Padahal itu masih dalam satu provider dan satu produk. Hal ini tidak terjadi jika katakan lah anda tinggal di Thailand. Di sana, mau sesering apapun anda mengganti nomer langganan anda, tidak perlu mengganti kartu SIM GSM, cukup mengurus administrasi, memilih nomer baru yang diinginkan, lalu tunggu sekitar 30 menit-1jam, sistem anda sudah aktif dengan nomer terbaru.

Bayangkan kondisinya dengan di Indonesia, ribuan kartu GSM baik pra bayar maupun paska bayar terbuang-buang percuma setiap tahun hanya karena ingin mengganti nomer baru. Untuk kartu pra bayar dapat dimengerti, namun paska bayar menjadi suatu yang tidak efisien jika harus mengganti setiap kali ingin ganti nomer, selain dapat merusak soket handset, juga memboroskan sumber daya alam dan juga keuangan perusahaan.

Begitu juga yang terjadi pada masyarakat, seringkali orang memiliki nomer hape hingga lima, padahal kerjanya hanya staff administrasi, atau seorang sekretaris merangkap sales agent. Padahal punya nomer banyak tidak hanya mengganggu dalam pekerjaan, tapi juga kehidupan sehari-hari dan menjadi tidak praktis selain juga memboroskan keuangan. Bayangkan jika uang tersebut dikumpulkan untuk modal usaha koperasi simpan pinjam? Sehingga yang bersangkutan tidak perlu mengeluh di akhir bulan kehabisan dana.

Padahal dalam hidup ini banyak lagi hal-hal yang lebih perlu diprioritaskan, seperti menabung untuk hari tua, biaya sekolah anak, persiapan nikah, kebutuhan mendadak termasuk jika jatuh sakit dan lain sebagainya.

Seringkali kita merasa gaji kita tidak pernah cukup, saya pernah bertanya kepada seseorang, berapa sih batasan cukup itu? 1 juta? 2 juta? 10 juta? 30 juta? 100 juta? Sekedar ilustrasi, saya mengambil S1 dengan biaya sendiri (orangtua hanya membiayai uang sumbangan pendidikan saat masuk dan semester awal). Saat itu saya praktis belum bekerja, hanya mengandalkan uang tabungan sejak kecil dan kerja sambilan di sana sini termasuk jadi supir. Saya lulus S1 dengan simpanan akhir sekitar 10 juta rupiah, padahal awalnya uang saya hanya sekitar 5-6 juta rupiah. Uang kuliah saya sampai tamat sekitar 16 juta rupiah. Pikirkan sendiri bagaimana saya harus menghemat dan memutar otak untuk membiayai kuliah?

Krisis tahun 2008 menghantam semua sektor, praktis likuiditas surut, namun banyak perusahaan yang masih mampu membukukan laba bersih dengan baik. Pikirkan bagaimana mereka melakukan itu?

Berikut tipsnya agar anda lebih cerdas dalam memilih:

  1. Prioritaskan kebutuhan dasar, cari dan penuhi kebutuhan berdasarkan fungsi keperluannya, buang ataupun jual segala sesuatu yang tidak memiliki nilai fungsi yang baik dan tidak dibutuhkan lagi.
  2. Cari produk yang benar-benar dapat memenuhi banyak fungsi, misalnya jika nomer hape, cari yang dapat memenuhi semua fungsi yang dibutuhkan, dan paling murah berdasarkan seluruh total penggunaan. Sebagai contoh, mobil MPV ataupun mobil box lebih dapat memenuhi fungsi sebagai sarana transportasi dan juga bisnis karena juga dapat membawa banyak barang. Atau juga penggunaan HTPC (Home Theater PC) jauh lebih baik dan murah meriah ketimbang membeli berbagai piranti HiFi.
  3. Pikirkan bagaimana keluar modal lebih untuk mendapatkan keuntungan biaya murah, misalnya, ganti lampu pijar dengan lampu led ataupun lampu gas yang hemat energy. Banyak lampu gas / neon pada masa kini yang benar-benar hemat energy, hanya dengan 8 watt sudah terang benderang seperti 60 watt. Atau misalnya PC dengan watt rendah namun kemampuan maksimal.
  4. Menggunakan resources seminimal mungkin tapi hasil semaksimal mungkin, seperti paperless document dengan pengunaan file format pdf ataupun powerpoint untuk pelaporan dan presentasi ketimbang sejumlah slide ataupun dokumen kertas.
  5. Pergunakan metode recycle untuk kebutuhan konsumsi, misalnya anda hanya perlu beli 1 kali sabun botol dan kemudian berikutnya cukup beli refill nya dalam bungkus karton/plastik/aluminium. Selain mengurangi sampah, anda juga menghemat banyak karena refill jelas lebih murah ketimbang membeli berikut kemasan tempatnya.
  6. Perbanyak investasi ketimbang konsumsi, misalnya, hentikan kebiasaan merokok, uangnya anda sisihkan untuk cicilan modal usaha warung pulsa ataupun warung makanan.

Sebenarnya masih banyak 1001 lagi tips, anda hanya tinggal berfikir sedikit saja, jangan malas dan tidak produktif. Ingat, jalan hidup masih panjang, kecuali anda sudah jompo tinggal tunggu kematian, itupun jika masih sehat fisik anda bisa menyumbangkan kemampuan anda untuk kerja sosial.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Indonesia Kehilangan Arah Pembangunan

Selama nyaris 65 tahun kita merdeka, nyaris hanya pada periode orde baru kita benar-benar mencapai arah pembangunan yang lumayan meski banyak sekali pengorbanan yang dicapai, dari mulai kebebasan berbicara hingga pelanggaran HAM di mana-mana. Pada periode Orde Lama terlalu banyak pergolakan dan ketegangan di sana-sini sebagai ekses lumrah dari suatu negara yang baru merdeka.

Namun pada masa sesudah orde baru, atau pada periode reformasi hingga ke konsolidasi demokrasi sekarang ini, nyaris ekonomi dan pembangunan kita seperti jalan di tempat. Kenaikan IHSG hanya semu jika dihitung memakai kurs USD, nyaris habis termakan inflasi (lihat di www.portalreksadana.com). Penerbitan SUN (Surat Utang Negara) dan ORI (Obligasi Republik Indonesia) semakin menambah buruk nilai rupiah, anda boleh percaya boleh tidak, bandingkan dengan Thai Baht yang relatif stabil anda akan shock melihat rupiah terus merosot terhadap mata uang negara gajah putih tersebut. Jika awalnya patokan kurs rupiah terhadap Thai Baht hanya sekitar 200an, sekarang rupiah semakin melorot hingga menyentuh level 280. Bohong jika para ekonom dan analis menyatakan rupiah paling kuat di Asia, apa buktinya? Secara persentase mungkin, tapi jika dibandingkan head to head dengan mata uang negara lain maka terlihat rupiah semakin lemah dan kehilangan daya tarik.

Hal ini karena sesudah periode kejatuhan bursa asia dan mata uang asia di tahun 1997-1998, Indonesia kehilangan arah pembangunan yang seharusnya dapat memberikan ketahanan devisa yang kuat. Faktor produksi domestik semakin melorot ketika terjadi pelarian modal dan tenaga kerja ahli secara besar-besaran. Nyaris 90% dari tenaga ahli asal Indonesia bekerja di luar negeri, entah diperusahaan asing kelas dunia, perusahaan lokal setempat, ataupun perusahaan asal Indonesia yang relokasi ke RRC dan Vietnam.

Banyak yang memilih lari karena sudah tidak tahan lagi dengan semakin kacau dan hancurnya arah pembangunan kita. Nyaris tidak ada lagi kebanggaan ekonomi dari negara kita selain daripada konsumerisme nya yang luar biasa tinggi, yang justru memicu inflasi gila-gilaan. Kenaikan harga minyak bumi yang seharusnya bisa dinikmati oleh bangsa kita justru menambah beban subsidi pembangunan karena minyak kita diekspor mentah ke kilang-kilang refinery di Singapore dan kita mengimport nya dalam bentuk minyak jadi dan turunannya.

Padahal kita bisa lebih maju daripada Singapore, Malaysia, bahkan Korea Selatan jika kita memiliki industri pengolahan dari hulu sampai ke hilir, dari mulai minyak bumi, hasil pertanian, hasil tambang lainnya serta berbagai macam industri pengolahan lainnya.

Bayangkan untuk sebuah urusan pabrik elektronik saja, kita sampai membiarkan pabrik-pabrik asing yang sempat berinvestasi jangka panjang melalui skema DFI (Direct Foreign Investment) melarikan diri karena tidak tahan dengan gonjang-ganjing urusan buruh akibat kacaunya peraturan perburuhan. Ini bukan saya membela kepentingan para pengusaha asing, namun pikirkan baik-baik jangka panjangnya, hanya karena urusan duduk dan berdiri saja kita sudah kehilangan kesempatan mempertahankan reputasi sebagai negara tujuan investasi.

Lebih parahnya lagi, penebangan hutan secara liar, penyalahgunaan ijin HPH dan lain sebagainya turut memicu kehancuran kita dengan menyumbang peningkatan pemanasan global dan musibah tanah longsor di mana-mana. Padahal jaman sudah beralih ke industri digital, yang seharusnya tidak perlu lagi ada penambahan ijin HPH dan penebangan hutan untuk jangka panjang.

Penggusuran lahan-lahan pertanian untuk permukiman dan industri juga menambah daftar panjang kekacauan ini, padahal negara kita masih sangat tergantung dari industri pangan dan pertanian. Kita biarkan orang asing menggarap hasil pertanian dan perikanan kita untuk diekspor ke luar negeri sementara negara kita justru kelaparan. Hal yang sungguh sangat ironis.

Lebih buruk lagi, arah jangkar perbankan kita semakin kacau balau, tidak lagi terspesialisasi sesuai dengan bidangnya. Hampir semua bank berlomba-lomba menjadi yang terbesar dan menjadi wholesale banking. Padahal, jauh sebelum Pakto 88, perbankan kita sudah jelas arahnya. Seharusnya tiap bank punya arah dan spesialisasi sendiri-sendiri, dan tidak melulu mengejar penambahan asset dan modal semata.

Dibidang pendidikan sendiri nyaris tidak ada terobosan yang berarti, sekolah gratis hanya jargon semata, tetap saja seseorang harus membayar uang lain-lain di luar iuran utama nya. Malah kurikulum kita semakin buruk saja, karena tidak ada orientasi arahan yang jelas. Dari mulai terbengkalainya cabang-cabang ilmu murni yang mengakibatkan tidak lahirnya terobosan-terobosan baru dalam penelitian, program link and match yang salah kaprah sehingga hanya melahirkan lulusan yang justru tidak siap kerja dan lain sebagainya.

Padahal pendidikan adalah salah satu kunci gerbang proses kemajuan suatu bangsa, namun sepertinya ada unsur kesengajaan secara sistematis untuk memelihara kebodohan dan melakukan pembodohan di negara ini, baik dalam bidang pendidikan umum maupun pendidikan politik. Jadi jangan menjerit atau mengeluh orang-orang memilih lari sekolah di luar negeri dan akhirnya malah tidak pulang-pulang, kita sendiri yang dengan secara sengaja dan sistematis merusak sistem pendidikan di dalam negeri. Pada level ini tidak rasional untuk berkata nasionalisme, kita bisa bicara nasionalisme kalau ada jaminan perut kenyang dan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Karena selama berabad-abad dalam penjajahan telah merubah budaya bangsa kita menjadi cenderung mencari selamat sendiri.

Sudah saatnya kita mulai berfikir jauh ke depan, memikirkan tatanan dan proses langkah-langkah pembangunan yang terarah dan berkesinambungan. Meskipun partai dan kepala negaranya berganti-ganti harus tetap ada garis biru dan cetak biru arah pembangunan yang jelas.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Antara Recall dan Problema Manufacturing

Belakangan dunia otomotif dilanda krisis besar-besaran dengan maraknya produk-produk kendaraan roda empat yang ditarik dari peredaran. Rata-rata produk bermasalah itu adalah keluaran pabrikan besar kelas dunia (maaf saya tidak sebut nama karena tidak etis). Padahal banyak buku-buku manajemen produksi dan operasi mengacu kepada “best practice” dan filosofi yang dijalankan oleh industri-industri terkemuka yang sedang dilanda masalah tersebut.

Namun apakah ada yang salah dengan “teori-teori” dan “best practice” serta filosofi tadi sehingga terjadi masalah dan recall secara besar-besaran? Benarkah selama ini terjadi praktek yang salah dalam praktek industri otomotif ataukah ini hanya sekedar “errata” kecil-kecilan yang sering dipandang sebagai hal lumrah oleh kalangan industri?

Untuk melihat lebih lanjut mari kita tengok hal-hal umum yang terkait pada industri bermasalah tadi:

  1. Umumnya, kesalahan produksi terjadi pada pabrikan besar dan dengan order besar
  2. Kebanyakan pabrikan bermasalah tadi memiliki bisnis global dan dukungan outsource dan supply chain yang tersebar di berbagai belahan dunia
  3. Antar perakitan / assembly centre satu dengan lainnya kadang masalah yang ditemui tidak sama, dan tidak jarang ada yang bebas dari masalah ada yang terkena masalah.

Dari keseragaman temuan ini, dapat dipastikan, kesalahan bukan pada best practice, teori, filosofi perusahaan yang bersangkutan. Namun ada hal lain yang menjadi biang keladi permasalahan. Ada root cause yang perlu dicari.

Menurut kesimpulan saya pribadi (biar jelas bahwa ini pendapat pribadi), kemungkinan terbesar kesalahan adalah pada beberapa faktor:

  1. Kesalahan pemilihan supplier / outsource material
  2. Kesalahan rancang desain produk/material/bahan
  3. Kesalahan pemilihan jenis komponen yang tepat

Dan ternyata terbukti, setidaknya, salah satu manufaktur mengakui ada kesalahan pada komponen karena desainnya agak berbeda disesuaikan dengan musim negara tujuan dan materialnya mengalami masalah.

Hal ini sebenarnya lumrah saja, mengingat jangankan bisnis yang besar, yang skala kecil saja masih bisa salah desain ataupun kesalahan dalam pemilihan material. Untuk bisnis yang semuanya masih dalam satu lini produksi saja susah mengawasi dan mengevaluasinya apalagi jika sudah menggunakan source di luar dari perusahaan alias 3rd party supplier. Tentunya sekedar penetapan standar quality control saja tidak cukup. Harus ada kesamaan visi dan misi perusahaan dan terpentingnya harus selalu ada pembahasan dan cross check masalah-masalah dan temuan-temuan di lapangan sebelum keluar dari lingkungan industri yang bersangkutan.

Itu saja masih belum cukup, karena terkadang apa yang menurut kita sudah benar, bisa saja ternyata salah total dalam prakteknya. Pernah terjadi suatu kasus, sebuah kendaraan mengeluarkan bunyi-bunyian aneh, yang ternyata saat penyelidikan, didapat kesimpulan bahwa telah terjadi kesalahan desain body yang memberikan banyak rongga udara, yang tujuan awalnya semula, untuk memudahkan proses pengecatan, namun berakibat ketika kendaraan sudah dirakit dan dijalankan, justru angin dari jalanan masuk ke dalam celah-celah rongga udara tersebut dan menimbulkan bunyi-bunyian seperti peluit.

Jadi memang tidak mudah mendesain apalagi membangun suatu industri manufaktur kelas dunia, seperti kata pepatah, dancing with the elephant is more riskier rather than dancing with the ant.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Bahaya De-Industrialisasi Mengancam Indonesia

Menyimak tulisan ekonom “Faisal Basri” di Kompas beberapa waktu lalu mengenai deindustrialisasi di negara kita. Nampaknya hal tersebut tidak diragukan lagi. Ancaman itu sebenarnya bukan datang setahun atau dua tahun belakangan ini, namun sudah berlangsung sejak awal mula pemulihan krisis finansial di Asia yang terjadi pada periode 1997-2000.

Pada saat itu, dikarenakan penurunan tingkat pendapatan penduduk, dan industri masih banyak yang kolaps, serta ketakutan akan masih terjadinya gonjang-ganjing politik plus kerusuhan, banyak diantara kita yang mulai memilih melakukan import barang murah melalui RRC ataupun Taiwan (khusus Taiwan lebih banyak piranti komputer).

Bersamaan dengan itu industri di RRC justru sedang mulai tumbuh berkembang. Tingginya biaya produksi di sejumlah negara barat termasuk Amerika, membuat banyak perusahaan Eropa dan juga Amerika melakukan outsourcing ke pabrikan-pabrikan OEM besar di RRC. Dari mulai Motorola, Nokia, Nike, Adidas, Reebok dan lain sebagainya.

Sementara di negara lain seperti di Korea dan Jepang justru melakukan relokasi usaha dan mengalihkan produksi mereka ke pabrik-pabrik relokasi mereka yang ada di RRC dan Vietnam. Padahal dibandingkan dengan RRC, biaya tenaga kerja kita tidak jauh berbeda dan lumayan bersaing. Namun faktor kestabilan politik, dan kurang bersaingnya infrastruktur membuat orang lebih memilih melakukan pemusatan industri di RRC.

Sebagai akibatnya, industri di RRC maju pesat, dan mulai bermunculan industri “low end” yang bersifat menarik secara harga sebagai dampak dari banyaknya tenaga trampil dan ahli yang bermunculan karena kemajuan industri di sana.

Hal ini tentu saja menimbulkan dampak pasar dalam negeri RRC penuh sesak oleh berbagai jenis barang produksi. Produk-produk yang tidak terserap oleh pasar dalam negeri ini yang akhirnya banyak sekali diekspor ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Karena pendapatan rakyat RRC perkapita tumbuh pesat, yang menyebabkan selera dan gaya hidup mereka bergeser dari barang murah menjadi barang lux, akhirnya produk-produk murah meriah itu tidak lagi laku di pasaran dalam negeri RRC dan diekspor ke Indonesia serta berbagai negara asia lainnya.

Celakanya lagi pemerintah kita cenderung tidak tegas melarang ekspor produk hasil bumi dan tambang kita ke luar negeri. Semestinya segala investasi asing menyangkut pertambangan dan produk hasil bumi lainnya haruslah untuk pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri, dan harus pula dibangun industri pengolahan dari hulu sampai hilirnya.

Akibatnya sektor industri kita menjadi mati akibat kalah dalam persaingan perdagangan bebas, dan negara-negara luar sangat menikmati keuntungan dari perdagangan komoditas Indonesia yang murah meriah karena masih dalam bentuk murah bukan olahan jadi.

Lihat saja betapa Singapura begitu berjaya dan memiliki bargaining power yang sangat kuat karena kita hanya bisa mengekspor minyak mentah sementara turunan olahannya kita terima jadi dari mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan industri pupuk, di mana kita sibuk mengekspor gas ke China dan negara tetangga, tapi pabrik pupuk kita mati kekurangan pasokan gas.

Sampai sejauh mana kita mau bersikap seperti ini terus, membiarkan bangsa lain memperbudak negara kita dan mengeruk sebanyak-banyaknya hasil bumi dari dalam negeri. Ambil contoh lihat saja, industri telekomunikasi kita sudah dikuasai oleh asing, belum lagi industri taktis lainnya. Begitu industri kita jatuh ke tangan asing, maka negara kita hanya dijadikan pasar saja, digenjot gaya hidup konsumtifnya. Perbankan asing pun dibiarkan merajalela dengan alasan profesionalisme pengelolaan, padahal bank lokal pun sebenarnya mampu bersaing secara profesional asalkan pengawasan perbankan benar-benar baik dan didukung oleh undang-undang yang baik pula serta adanya ketegasan dalam penindakan.

Semoga saja para menteri kita yang baru bisa bekerja lebih keras lagi dalam membenahi kekacauan yang telah terjadi sejak beberapa tahun silam, dan bisa membangkitkan kembali industri di tanah air, karena jika tidak maka kejatuhan Indonesia hanya tinggal menunggu waktu saja.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Investasi Ditengah Ketidak-efisien-an Pasar

Beberapa waktu yang lalu, pernah seseorang teman pemula pernah menanyakan, lebih baik memilih instrumen investasi jenis apa, reksadana saham, indeks saham, atau saham-nya secara langsung.

Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, terus terang tidak mudah, karena selain harus mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman yang bersangkutan mengenai dunia pasar modal, juga harus mengetahui tujuan investasinya dan juga bursa yang akan menjadi sasaran investasinya.

Sebagai contoh, Bursa Efek Indonesia, di mana, oleh sebagian besar pelaku pasar, secara de fakto diakui masih jauh dari efisien, sehingga menyebabkan orang lebih memilih berinvestasi pada instrumen reksadana saham berbasis portfolio saham baik secara agresif maupun defensif ataupun berinvestasi pada sejumlah saham tertentu yang memberikan tingkat pengembalian modal di atas rata-rata indeks.

Dan masalah ketidak-efisien-an pasar juga berimbas secara langsung kepada kinerja indeksnya secara signifikan. Ambil contoh reksadana saham jenis defensif milik salah satu Manajer Investasi Asing, yang berinvestasi di sejumlah saham “blue chip” secara hati-hati, pada tahun 2009, mampu mengalahkan kinerja IHSG sepanjang 2009 secara telak. Bahkan salah satu reksadana saham berbasis indeks LQ45 yang menjadi motor penggerak IHSG, mampu mengalahkan kinerja LQ45 yang menjadi indeks acuan-nya secara telak pada tingkat return sekitar 102% dalam tahun 2009.

Ini menjadi penyebab transaksi ETF berbasis indeks menjadi tidak menarik di bursa saham kita karena faktor inefisiensi yang cukup menganggu. Dari mulai tidak meratanya distribusi informasi, window dressing yang dibiarkan tanpa ada tindakan yang signifikan dan lain sebagainya. Selain daripada faktor ETF sendiri yang kurang dikembangkan dalam industri pasar modal tanah air.

Padahal jika dikembangkan secara lebih baik, ETF berbasis indeks dapat menjadi instrumen investasi yang menarik secara jangka panjang ketimbang berinvestasi pada saham tertentu, maupun reksadana saham konvensional, karena faktor biaya transaksi yang lebih rendah, biaya manajer investasi yang lebih rendah dan kinerjanya yang mengikuti pergerakan indeks secara signifikan.

Akan menjadi lebih baik lagi jika efisiensi bursa dapat ditingkatkan pada level mendekati sempurna, karena dapat mencegah spekulasi secara signifikan, dan maraknya penipuan publik oleh para emiten nakal yang cenderung bermain dengan angka-angka rekayasa pada laporan keuangan.

Kejadian di tahun 2008-awal 2009 di mana sejumlah orang menderita kerugian milyaran rupiah akibat “silau” oleh ekspektasi harga komoditas yang terlalu tinggi yang menyebabkan harga saham perusahaan berbasis komoditas naik secara tidak wajar, adalah contoh betapa rawan dan fatal nya industri pasar modal di tanah air jika tidak dikelola secara efisien dan prudent.

Dan celakanya, regulasi yang mengatur secara ketat penilaian harga saham secara wajar juga masih jauh dari harapan. Masih banyak manajer investasi baik lokal maupun asing yang teperdaya oleh ilusi laporan keuangan yang tidak wajar. Hal ini mengakibatkan bursa saham kita hanya akan menjadi bulan-bulanan sasaran spekulasi sesaat dan aliran dana panas (hot money) yang hanya bertujuan kepada keuntungan jangka pendek.

Padahal tujuan investasi di pasar modal adalah multak untuk jangka panjang, sebagai sarana lindung nilai terhadap laju inflasi di tanah air yang sangat tinggi. Jika memang tidak ada solusi dari pemerintah untuk meredam inflasi pada angka rata-rata 4% per tahun secara kontinyu bukan hanya karena faktor krisis global yang sifatnya hanya sesaat dalam meredam inflasi.

Akibat daripada ketidakefisienan pasar modal kita, masyarakat jadi cenderung melarikan investasi mereka kepada property, yang justru memicu terjadinya spekulasi pada pasar property, karena tingkat permintaan yang ada tidak pada batas wajar, melainkan karena ekspektasi berlebihan terhadap lindung nilai menghadapi inflasi yang tinggi, bukan kepada kebutuhan yang wajar akan property.

Lebih parah lagi, tidak efisien nya pasar modal kita, menyebabkan terjadinya banyak penipuan berkedok investasi, karena ketidaktahuan publik akan dunia pasar modal secara baik dan benar. Bahkan banyak tokoh dan kalangan terdidik menjadi sasaran korban penipuan jenis ini.

Oleh sebab itu masyarakat dalam berinvestasi di pasar modal diharapkan untuk selalu:

  1. Meluangkan waktu untuk belajar dan mengecek kebenaran informasi yang ada
  2. Memeriksa status hukum, dan perundangan-undangan suatu produk yang ditawarkan
  3. Selalu memakai akal sehat serta pertimbangan kewajaran dan bukan pertimbangan keuntungan semata
  4. Memilah-milah produk investasi berdasarkan profil risiko yang bersedia diterima dan tidak menempatkan asset investasi hanya pada satu jenis produk, melainkan melakukan diversifikasi alokasi asset secara proporsional sesuai dengan tingkat profil risikonya.

Selain itu juga diharapkan agar masyarakat pasar modal semakin tegas menyuarakan pentingnya transparansi informasi dan pemberian rambu-rambu peraturan yang lebih baik agar pasar modal kita semakin efisien dan terbebas dari sasaran spekulasi serta kejahatan penipuan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Tips Membaca Ilusi Valuasi Harga Saham oleh Emiten

Disclaimer:

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan emiten tertentu, melainkan sebagai pembelajaran bagi para investor agar tidak ceroboh membeli saham yang digoreng oleh para bandar.

Tahun 2008 ditandai oleh jatuhnya bursa di seluruh dunia akibat krisis global, dan juga tertipunya para investor oleh investasi bodong derivatif yang harganya meroket tajam tanpa ada landasan yang jelas. Hal ini tidak hanya terjadi di Amerika yang berakibat kepada kebangkrutan sejumlah Investment Bank besar namun juga berimbas ke bursa efek Indonesia dan membuat goyang para manajer investasi asing yang seharusnya lebih pintar membaca keadaan.

Berikut ada sejumlah tips membaca harga saham yang sudah kemahalan agar tidak tertipu seperti banyak orang yang sudah terjerumus sebelumnya:

  1. Gunakan selalu benchmark terhadap industri sejenis terutama average industrinya ketika membaca laporan keuangan emitten. Banyak kejadian, emitten menggunakan trik profit yang tidak masuk akal.
  2. Hindari emitten yang terlalu banyak melakukan mark up laporan keuangan dengan sejumlah langkah strategis merger dan ataupun akuisisi. Pertanyakanlah pada diri anda sendiri kemanakah biaya merger dan akuisisi itu disembunyikan, sebagai gambaran, biaya merger dan akuisisi biasanya perlu jangka waktu yang sangat lama untuk pengembaliannya. Jadi jika ada emitten yang terlalu sering berbuat demikian dan selalu membukukan laba dan juga harga saham yang fantastis, patut dikhawatirkan laporan keuangannya. (Hal ini juga dibahas dalam buku Inteligent Investor karangan Benjamin Graham)
  3. Perhatikan emitten yang nilai sahamnya terkait harga komoditas, seringkali emitten itu ataupun sekuritas terkait, menggunakan benchmark penilaian harga futures dari komoditas yang tidak masuk akal. Saat suatu emitten harga sahamnya menyentuh level 8000 sementara harga sahamnya jika menggunakan harga komoditas terkait di saat ini hanya 600, artinya patokan harga yang dipakai tidak reliable.
  4. Perhatikan laporan keuangan yang berbasis kepada keuntungan inventory. Inventory memang penting, namun jika terlalu tinggi sementara industrinya justru membutuhkan turn over inventory yang sangat tinggi, artinya laporan keuangannya cenderung misleading. Karena bagaimana bisa untung jika barang mengendap dalam bentuk inventory? Bukan dalam bentuk penjualan yang telah dibayarkan?
  5. Perhatikan faktor penerbitan obligasi. Ada beberapa emitten, yang sebenarnya sudah harus default alias bangkrut karena tidak profit dan harus membayar kewajiban hutangnya yang besar, namun selalu mengulur-ngulur dengan penerbitan surat hutang baru. Metode gali lobang tutup lobang seperti ini sangat berbahaya, dan bisa kejeblos suatu waktu.

Sebenarnya masih banyak lagi praktek-praktek ilusi harga saham, namun umumnya ini langkah yang paling sering dilakukan oleh para emitten dan bandar nya untuk menggoreng harga saham selain juga trik titip-menitip saham seperti yang pernah terkuak beberapa waktu yang lalu.

Jakarta, 16 Februari 2010

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Golf, Antara Etika, Lobi Bisnis, dan Olahraga

Disclaimer:
Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan orang-orang tertentu ataupun mendiskreditkan golf sebagai salah satu cabang olahraga, namun sebagai kajian dari sisi etika bisnis.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa golf digandrungi oleh banyak pebisnis sebagai sarana sosialisasi bisnis maupun sebagai sarana lobi di luar urusan resmi untuk memecahkan kebuntuan ataupun untuk mempererat hubungan dengan para pejabat ataupun mitra bisnis sesama pengusaha. Bahkan banyak kantor yang mewajibkan para pegawainya untuk bermain golf sebagai sarana lobi dengan klien.

Namun ditinjau dari sisi etika bisnis terutama dari sisi birokrasi, golf lebih banyak masalah daripada manfaatnya. Tidak sedikit lobi-lobi non formal urusan negara diselesaikan di padang golf, dari mulai urusan aliansi politik sampai urusan tender proyek negara. Bahkan tidak jarang, tender terbuka yang seharusnya melalui jalur resmi tender ataupun lelang proyek, para pemenangnya ditentukan di padang golf. Sogokan pun sering terjadi di padang golf. Bukan hal aneh banyak para pengusaha ataupun pelaku bisnis menyogok para pejabat di padang golf, selain bebas dari pantauan KPK, juga secara undang-undang tidak memungkinkan menangkap orang yang bertaruh di padang golf. Padahal bukan tidak mungkin para calon mitra bisnis sengaja kalah taruhan agar bisa memberikan uang kepada pihak pemenang.

Sudah selayaknya golf dilarang untuk dilakukan oleh para pejabat negara, baik yang setingkat menteri ke atas ataupun ke bawah. Karena lebih banyak mengundang kontroversi moralitas dan etika dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Bahkan tidak jarang urusan skandal pun terjadi di padang golf. Ibarat kata, apa yang tengah terjadi sekarang hanyalah satu dari ribuan kasus yang tidak terbuka, kebetulan saja pelaku sekarang sedang tidak beruntung, namun bukan tidak mungkin banyak ribuan kasus lain yang sukses tanpa ada jejak.

Selayaknya golf hanya dilakukan oleh sesama pelaku bisnis ataupun olahragawan maupun mereka yang memang berminat berolahraga golf. Bukan oleh para abdi negara maupun wakil rakyat. Karena akan mendatangkan lebih banyak masalah ketimbang manfaat.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Implikasi ACFTA Bagi Kelas Pekerja (ACFTA part 2)

Menyambung tulisan terdahulu (ACFTA tantangan peluang dan menuju Global Class Player), kali ini penulis akan memaparkan detail implikasinya bagi para pekerja dan industri kecil-menengah / SME (Small Medium Enterprise)

Banjirnya barang-barang murah di Mangga Dua dan Tanah Abang, membawa dampak yang tidak menyenangkan bagi para pelaku bisnis kelas kecil – menengah yang lebih banyak bermain di pasar dalam negeri. Memang hal ini tidak terelakan namun bisa dicegah, terutamanya jika diberlakukan pengawasan ketat di jalur-jalur perizinan importir yang telah lama mati / vakum sehingga tidak dilakukan penyalahgunaan izin. Hal ini harus disertai pengawasan sewa-menyewa kios di dalam negeri yang nampaknya mulai marak dilakukan oleh para imigran gelap asal RRC yang ingin membuka bisnis import barang bekas dan barang murah di kawasan sentra bisnis retail.

Karena jika hal ini tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah matinya industri kecil dan menengah secara nasional yang berbasiskan kepada pasar dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal ketahanan ekonomi kita dari badai krisis global sedikit banyak ditopang oleh kekuatan industri kecil-menengah ini terutama industri-industri kerajinan rumah tangga yang banyak berada di pedesaan.

Pemberlakuan ACFTA sendiri membawa dua sisi yakni peluang dan ancaman bagi para pekerja baik blue collar alias kelas buruh pabrikan dalam jangka pendek maupun white collar alias pekerja kantoran dalam jangka panjang.

Ancaman tersebut utamanya berasal dari:

  1. Kalahnya industri nasional kelas kecil dan menengah dari badai serbuan barang murah asal RRC karena faktor mass production dan subsidi habis-habisan dari pemerintah RRC
  2. Beralihnya para importir barang RRC menggunakan bank-bank asal RRC dalam transaksi finansial karena tentu lebih banyak kemudahan baik dalam L/C maupun T/T
  3. Ketidaksiapan faktor tehnologi, pengetahuan, dan ketrampilan yang berimbas kepada banjirnya penggunaan barang dan tehnologi dari mereka yang sedikit banyak akan mendatangkan tenaga ahli dari sana untuk pengoperasiannya.

Peluang yang dapat ditimbulkan:

  1. Ketersediaan lapangan kerja yang lebih luas jika kita dapat menarik lebih banyak Direct Foreign Investment (DFI) yang bergerak pada industri mass production yang berorientasi pada ekspor produk OEM (Original Equipment Manufacture) merek terkenal.
  2. Transfer tehnologi dalam DFI yang berorientasi industri otomotif jika banyak tenaga ahli kita yang mau belajar dan bekerja di pabrikan otomotif asal RRC yang berinvestasi di Indonesia, tentu saja tenaga ahli kita tidak boleh malas dan lupa diri serta hanya mengejar gaji saja, tapi harus bisa membawa ide-ide dan peluang bisnis baru yang dapat diterapkan bagi industri otomotif nasional.
  3. Kesempatan mengembangkan industri elektronik dalam negeri yang lebih punya daya saing jika bisa meniru dan menerapkan apa yang dilakukan oleh pihak RRC. Asal tahu saja, RRC sudah bermain di bisnis pemutar optic Bluray dan monitor PC high end.
  4. Akan lebih banyak pemain industri asal RRC dan Taiwan yang berinvestasi di Indonesia karena market yang besar dan tenaga kerja yang jauh lebih murah dari RRC (sekarang UMR di China sudah sangat mahal pendapatan perkapitanya saja sudah mencapai USD 5000 saat kita baru 1000 dollar).

Mengapa perlu mengundang investasi langsung pabrikan besar asal China yang berorientasi ekspor dan OEM Industry:

  1. Membuka kesempatan lowongan kerja yang lebih luas, salah satu raksasa sepatu asal RRC yang telah lama berinvestasi di Indonesia, memiliki ukuran pabrik hampir sebesar kawasan kelapa gading, dan menyerap tenaga kerja di atas 8000 orang (mungkin sudah 20 ribu orang), setiap harinya memasak nasi untuk jatah makan siang karyawannya lebih dari 100 kg beras yang tentu saja menguntungkan para petani beras di sekitar sana.
  2. Umumnya industri OEM skala raksasa seperti di atas, tidak hanya melakukan proses perakitan namun juga proses sourching dari hulu sampai hilir, bayangkan kalau mereka mengembangkan industri kapas dan pemintalan benang di Indonesia sebagai bagian dari strategi raksasanya mengingat di RRC, UMR sudah semakin mahal.
  3. Kita diuntungkan dari devisa untuk industri kategori OEM eksport, karena, investasi pabrikan umumnya untuk jangka panjang dan modal tidak boleh ditarik sewaktu-waktu, terikat perjanjian investasi. Sehingga mata uang rupiah terjaga stabilitasnya. Berbeda dengan kebanyakan pelaku bisnis lokal yang bisa seenaknya memarkir dana di Singapore.

Yang perlu diperhatikan dalam ACFTA ini:

  1. Kita harus lebih banyak mengeluarkan regulasi yang membatasi import barang asal RRC yang tidak memenuhi syarat SNI (Standar Nasional Indonesia)
  2. Mencabut izin-izin importir yang mencurigakan, terutama mereka yang hanya mengimport barang dan melakukan stamping/packaging di dalam negeri.
  3. Dan mewajibkan penggunaan material / bahan baku dalam negeri dalam porsi yang lebih banyak. Misalnya Toyota Avanza adalah contoh sukses Industri Nasional karena banyak menggunakan komponen dalam negeri.
  4. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengawasan pelabuhan-pelabuhan tidak resmi maupun pelabuhan di daerah yang bukan termasuk zona lalu lintas import, karena seringkali banyak kapal penyelundup yang masuk melalui jalur illegal.

Jakarta, 12 February 2010

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

ACFTA Tantangan, Peluang, dan menuju World Class Player (1)

Beberapa bulan terakhir menjelang tutup tahun 2009, hampir setiap pelaku bisnis dan lembaga pemerintahan dilanda kepanikan yang luar biasa akan ancaman diberlakukannya ACFTA, yang kini telah menjadi kenyataan sejak awal 2010.

Namun tidak demikian halnya dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Singapore dan lainnya. Nampaknya mereka lebih tenang, siap, dan tidak menganggap pemberlakuan ACFTA sebagai suatu isu yang besar. Apalagi hal ini telah dibahas sebelumnya sejak awal mula perjanjian GATT 1994 yang dilanjutkan dengan perjanjian tarif antar ASEAN dan China melalui pemberlakuan tarif MFN sejak July 2003.

Lalu mengapa kita baru meributkan masalah ACFTA ini sekarang, padahal perjanjian ini sudah lama sekali dibuat, sudah ditandatangani sejak awal pemerintahan terdahulu. Sementara negara-negara tetangga menyatakan kesanggupannya dan tidak ada masalah?

Hal ini mungkin erat kaitannya dengan kurang baiknya komunikasi antara pihak pemerintah dengan para pelaku industri di masa lalu, sehingga apa yang disepakati di tingkat atas, tidak sampai ke tingkat pelaku industri. Bahwa hal ini cepat atau lambat akan terjadi dan berlaku juga.

Sebenarnya apakah kita perlu sedemikian khawatir? Sebelum mengambil keputusan demikian, mari kita tengok dua hal utama ini dari perjanjian ACFTA berdasarkan dokumen yang telah ditandatangani oleh para menteri perekonomian di Bali pada bulan Oktober 2003.

  • Normal Track: Tariff lines placed in the Normal Track by each Party on its own accord shall have their respective applied MFN tariff rates gradually reduced and eliminated in accordance with the modalities set out in Annex 1 of this Agreement with the objective of achieving the targets prescribed in the thresholds therein.
  • Sensitive Track: Tariff lines placed in the Sensitive Track by each Party on its own accord shall have their respective applied MFN tariff rates reduced or eliminated in accordance with the modalities set out in Annex 2 of this Agreement.

Melihat dan merunut isi perjanjian tersebut, nampaknya ada beberapa bidang yang termasuk kategori Normal dan ada yang termasuk kategori Sensitive. Kita tidak bisa mundur dari perjanjian ACFTA, tapi kita bisa me-renegoisasikan kembali kategori-kategori apa yang masuk ke dalam batasan sensitif sehingga bidang-bidang di mana kita masih sangat lemah bisa diundur pelaksanaannya sampai industri dalam negeri siap.

Dari sisi pemerintah sendiri ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi masalah ACFTA ini agar tidak semakin berlarut dan semakin bertambah gawat, yakni dengan cara:

  1. Renegoisasikan batasan-batasan normal dan sensitif berdasarkan kekuatan industri kita, sehingga masih ada waktu bagi industri dalam negeri untuk mempersiapkan sumber daya dan keahlian
  2. Perkuat infrastruktur, dari mulai ketersediaan listrik, kawasan industri terpadu, jalan raya (jalan tol, jalur lingkar luar, jalur trans-provinsi, jalur antar kota), jalur kereta api dan optimalisasi logistik melalui perbaikan dan pembangunan jalur kereta api sehingga tercipta logistics infrastructure yang lebih efisien sekaligus efektif.
  3. Pemberdayaan National Single Window secara lebih optimal termasuk kesiapan 24 jam pelabuhan dan pengurusan dokumen ekspor.
  4. Pemangkasan prosedur birokrasi dan perundangan yang tidak perlu dan menganggu proses bisnis tanpa meninggalkan fungsi pengawasan.
  5. Penghapusan Peraturan Daerah yang cenderung menghambat kinerja industri dalam negeri.
  6. Dukungan finansial, perpajakan, pengetahuan serta ketrampilan, dan kemudahan birokrasi bagi industri-industri dalam negeri terutama industri kecil dan menengah (SME).
  7. Penghapusan pungutan dan tarif dalam negeri yang menganggu, premanisme di jalur-jalur perdagangan, pasar-pasar, pelabuhan dan berbagai jenis pungutan liar yang menganggu.
  8. Fokus dan pengembangan pada industri pertanian, perikanan, dan kerajinan tangan serta industri yang berlandaskan pada penggunaan tenaga kerja massal. Karena industri ini yang rentan terhadap perdagangan bebas, dan dapat membantu memperkuat ketahanan industri dalam negeri.
  9. Perbaikan fungsi, sarana, prasarana, dan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional yang selama ini masih sangat tidak memuaskan sehingga menyebabkan orang lebih suka belajar dan mengambil beasiswa ke luar negeri termasuk menyebabkan banyak para pelajar berprestasi memutuskan tidak pulang dan bekerja di luar negeri.
  10. Memacu dan memberdayakan budaya wirausaha dikalangan generasi muda, sehingga dapat membangun ketahanan industri dalam negeri yang kuat.

Dari sisi pelaku bisnis sendiri ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi ACFTA:

  1. Peningkatan skill dan pengetahuan sumber daya manusia sehingga lebih kompeten dalam menghadapi era perdagangan bebas
  2. Meningkatkan efisiensi dan optimalisasi industri dalam negeri baik dengan perbaikan sistem seperti penerapan Supply Chain yang berbasis kepada SCOR 9.0, standarisasi industri yang mengacu kepada TUV dan SNI (Standar Nasional Indonesia), ISO, maupun perbaikan dan peningkatan alat-alat industri yang lebih modern dan efisien.
  3. Peningkatan modal kerja, perbaikan model bisnis, valuasi nilai bisnis dan segala hal yang dapat memperbaiki kinerja perusahaan.
  4. Fokus pada kekuatan yang memiliki daya saing, dan melepaskan bidang usaha yang tidak ada kaitannya dengan bidang usaha serta tidak memberikan nilai tambah bisnis.
  5. Kerjasama dengan mendirikan konsorsium industri yang dapat saling mendukung dan membantu anggotanya baik dari sisi keahlian, kemudahan lobi bisnis dan hal-hal lain yang dapat saling menguntungkan.
  6. Studi banding ke industri-industri kelas dunia yang dapat memberikan inspirasi peningkatan kinerja usaha, agar tidak tertinggal dalam persaingan internasional.

Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda penerapan ACFTA, dan membuat berbagai alasan. Karena era perdagangan bebas adalah hal yang tidak terelakan dan cepat atau lambat akan segera dialami oleh Indonesia serta semua negera di seluruh dunia.

Jakarta, 10 February 2010

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker