Senin, 23 Agustus 2010

Kebijakan Bea Cukai yang Meresahkan Semua Pihak

Belakangan ini timbul gejolak dikalangan para pelaku bisnis manufaktur maupun para pelaku logistik jenis kurir ekspress mengenai kebijakan bea cukai dengan nomor P- 35/BC/2010 tentang perubahan mengenai Tata Laksana Pengeluaran Barang Import dari Kawasan Pabean untuk ditimbun di tempat Penimbunan Berikat, dinilai oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, karena dalam banyak hal kebijakan ini hanya memperlambat proses import barang yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu.

Banyak pengusaha garment dan alas kaki yang mengeluh atas kebijakan ini, selain sebagian didasari oleh ketidakcakapan dalam aspek pemahaman pengetahuan mengenai tata laksana prosedur dan dokumentasi yang baik dan benar, juga karena peraturan itu sendiri seolah meniadakan fungsi dan peran industri kurir logistik jenis ekspress. Dengan kebijakan yang baru tersebut, proses pengerjaan yang seharusnya cepat dan ekspress menjadi tidak ekspress dan cepat lagi.

Padahal peraturan tersebut sendiri dimaksudkan agar segala fungsi menjadi serba full elektronis dan bebas dari masalah sogok-menyogok dan kesalahan informasi dan data pengiriman dan penerimaan barang serta masalah dokumentasi.

Yang menjadi masalah di sini adalah ketidakhati-hatian pihak-pihak terkait untuk duduk satu meja membahas bersama-sama detail implementasi dan pelaksanaan peraturan yang akan diundangkan, melainkan langsung saja memberlakukan peraturan tersebut per 1 Agustus 2010 tanpa pembahasan mendalam dengan semua pihak terkait.

Ini adalah bentuk bobroknya manajemen dan proses birokrasi di negara ini, sehingga setiap kali muncul produk peraturan perundangan selalu menimbulkan kehebohan bagi semua pihak. Dari pihak pemain industri sendiri, juga tidak kurang konyolnya dalam melengkapi carut-marut birokrasi di negara ini, sudah menjadi rahasia umum, seringkali pihak perusahaan, tidak pernah mengirim orang yang sama dan punya wewenang serta kompetisi setiap kali ada pembahasan, rapat, perembukan mengenai kebijakan dan peraturan baru dengan pemerintah, sehingga ketika peraturan hendak dijalankan, semua pihak baru ramai dan heboh. Contoh paling nyata adalah kasus CAFTA/ACFTA di mana pembahasannya sudah sangat lama tapi baru disadari saat mulai berlaku.

Akhir kata, sikap meremehkan, tidak mau bekerjasama, dan ketidakperdulian harus disingkirkan jauh-jauh oleh semua pihak, agar tidak lagi terjadi kekacauan-kekacauan pada saat pemberlakuan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Senin, 16 Agustus 2010

65 Tahun Indonesia Merdeka dalam Perspektif Ekonomi

Sejak awal proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengarungi berbagai macam peristiwa dan pasang surut perekonomian. Kita pernah mengalami masa-masa terburuk di mana laju inflasi terbang hingga lebih dari 600%, pemotongan / pengguntingan mata uang rupiah atau lebih sering disebut sebagai sanering, kejatuhan mata uang rupiah akibat serangan spekulasi valas hingga terjun bebas ke level 16000/17000 ribu rupiah per US dollar.

Namun kita juga pernah mengalami masa-masa gembira di mana tercapai swasembada pangan, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kebangkitan industri manufaktur (otomotif-garment-alas kaki), dan juga kemajuan di bidang pendidikan yang ditandai banyaknya para pengajar dan mahasiswa negeri jiran yang belajar di kampus-kampus ternama di tanah air (pada masa lalu).

Suka atau tidak, kita harus akui kita pernah berhasil dalam pembangunan ekonomi, dan sempat dijuluki oleh berbagai media asing sebagai salah satu “Macan Asia” dalam kekuatan perekonomian di Asia Tenggara.

Namun seringkali keberhasilan dan kemajuan ekonomi yang dicapai membuat bangsa ini cepat berpuas diri dan mudah lupa diri serta terlena. Padahal dalam pembangunan itu tidak dikenal kata istirahat atau berhenti sejenak, karena semua negara saling berlomba-lomba untuk mencapai keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) dalam era perdagangan internasional.

Hari ini mungkin Indonesia, besok Singapore, lusa China dan seterusnya, saling berlomba untuk menjadi yang nomer satu dalam perang dagang sebagai pengganti bentuk perang militer dan perang fisik di masa purba.

Memang idealnya dalam perdagangan internasional, semua saling mengisi dan terjadi proses barter keunggulan masing-masing negara sehingga tercipta keseimbangan perdagangan. Namun pada praktek di alam nyata jarang sekali hal itu terjadi, apalagi di masa perdagangan bebas seperti sekarang, yang marak terjadi adalah produk dari suatu negara yang memiliki keunggulan kompetitif dari negara lainnya akan membanjiri pasar negara yang kurang kompetitif.

Di satu sisi, pemerintah dan juga bangsa kita seringkali lupa, bahwa para investor bukanlah orang bodoh yang mau menanamkan uangnya begitu saja di negara yang tidak memiliki keunggulan dalam menarik investasi asing. Padahal tanpa bantuan investasi asing, tentu sulit mengharapkan akselerasi pertumbuhan ekonomi secara signifikan.

Padahal permintaan para investor asing untuk menanamkan uangnya di Indonesia tidaklah banyak, mereka hanya mengharapkan adanya infrastruktur yang memadai bahkan kalau bisa kompetitif dari mulai dari:

  • transportasi dan jalan raya,
  • kelistrikan,
  • kawasan industri terpadu yang baik dan aman,
  • sumber daya alam yang mencukupi,
  • biaya produksi yang bersaing (UMR dan lainnya),
  • dan kestabilan politik
  • serta birokrasi yang lancar, cepat, bersih dan efisien.

Dalam banyak hal, kita sering kalah bersaing dengan negara tetangga untuk poin pertama dan poin terakhir. Dibandingkan banyak negara tetangga, Indonesia memiliki rangking yang cukup jelek dalam hal biaya logistik, dan penyumbang terbesar untuk kekalahan itu adalah poin nomer satu dan poin nomer akhir.

Anda bisa bayangkan, jika harga sepotong roti burger di Thailand, bisa jauh lebih murah ketimbang harga sepotong roti burger di Jakarta dan dengan porsi yang lebih baik. Ini disumbangkan oleh biaya TDL yang murah dan bersaing, dan biaya logistik yang terjangkau. Meskipun UMR di sebagian provinsi di Thailand lebih mahal ketimbang UMR di sebagian provinsi di Indonesia. Sekedar contoh, gaji rata-rata staff di Bangkok mencapai range 10 ribu baht atau sekitar 2.7 juta rupiah (kurs 1 baht = 270 rupiah) padahal sekarang kurs Baht sudah mencapai 280 rupiah per satu baht nya.

Begitupula dengan tingkat kesejahteraan hidup kebanyakan orang di Jakarta, banyak yang sebenarnya masuk ke dalam kriteria miskin, namun karena “permainan statistik” maka kriteria miskin digeser ke angka pendapatan di bawah 200 ribu rupiah per bulan. Padahal secara nalar seseorang dikategorikan miskin jika tidak mampu membayar pajak, artinya seseorang yang memiliki penghasilan di bawah PTKP seharusnya masuk ke dalam kategori miskin atau setidaknya kurang mampu.

Apakah ini sekedar upaya untuk memanipulasi data-data ekonomi agar kita tetap dipercaya oleh negara asing untuk mendapatkan hutangan baru atau bantuan modal? Atau sekedar lip service agar orang percaya bahwa kita telah berhasil dalam program pengentasan kemiskinan?

Hal lain yang perlu menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini adalah masalah kualitas pendidikan. Karena hingga detik ini, masalah pendidikan masih menjadi masalah besar bagi pondasi pembangunan ekonomi di negara ini. Angka pengangguran terdidik yang semakin tahun semakin membengkak adalah bukti nyata bahwa pendidikan di negara ini masih jauh dari harapan dunia kerja. Kita terlalu banyak dicekoki oleh teori-teori non aplikasi yang seharusnya untuk porsi para peneliti dan pengajar, bukan porsi anak didik yang seharusnya dibekali oleh ketrampilan penguasaan bidang yang akan dimasuki di lapangan kerja.

Hasil pantauan pribadi penulis menunjukan bahwa hingga detik ini, banyak orang yang terpaksa “berselingkuh” dengan program pendidikan non formal agar bisa bertahan dalam persaingan di dunia kerja, karena jalur pendidikan formal sama sekali tidak siap untuk mempersiapkan para calon tenaga kerja untuk bersaing di dunia kerja.

Sebagai contoh, pendidikan ekspor-impor yang diambil oleh penulis, didapat melalui jalur pendidikan non formal di salah satu lembaga pelatihan swasta tahun 1999. Begitupula dengan keahlian perpajakan Brevet A dan Brevet B, penulis tidak mendapatkan itu semasa menempuh jalur pendidikan formal, padahal dunia kerja perbankan tempat penulis sempat bergelut di dalamnya, sangat membutuhkan dua ketrampilan tersebut (ekspor impor dan perpajakan). Meskipun pernah mendapatkan teori-teori perpajakan di bangku kuliah, namun hal tersebut jauh dari kebutuhan yang ada di lapangan kerja. Ini sebagai contoh saja bagaimana antara perguruan tinggi dan dunia kerja terjadi jurang lebar dalam hal pemenuhan kebutuhan akan tenaga profesional.

Begitupula mengenai tuntutan kelayakan hidup. Di Indonesia, sulit sekali mencari standar hidup yang layak sesuai dengan standar gaji para pegawai. Kebanyakan orang harus memiliki pekerjaan sampingan untuk bisa bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak mereka.

Sementara di satu sisi, segala subsidi perlahan namun pasti mulai dikurangi porsinya oleh pemerintah / negara kita. Bahkan sebagian besar subsidi mulai dicabut. Padahal segala subsidi itu datangnya juga sebagian besar dari pajak yang dipungut dari masyarakat dan badan usaha. Upaya-upaya pemenuhan subsidi silang dalam hal pembangunan seringkali tidak berhasil, dan malah menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, subsidi bensin premium yang ternyata juga dinikmati oleh para pemakai mobil mewah.

Padahal subsidi itu akan lebih baik jika digunakan untuk pembangunan sarana transportasi massal yang memadai seperti pembangunan MRT/Subway dan Monorail/Skytrain. Tentu akan melegakan bagi banyak orang. Tidak seperti sekarang di mana para pemakai jasa bus umum dan bus transjakarta seringkali berdesak-desakan mirip seperti ikan dendeng.

Lebih parahnya lagi, kebutuhan akan hidup sehat dan bergizi masih jauh dari angan-angan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Harga bahan pangan yang terus membumbung tinggi, menyebabkan banyak orang terpaksa mengkonsumsi daging kadaluarsa hasil import illegal dari luar negeri, dan juga makanan-makanan yang sudah lewat batas aman konsumsinya. Di sebagian daerah pinggiran Jakarta, di mana UMR nya sangat rendah, banyak dijumpai fenomena pasar yang menjual roti sisa penjualan roti dari kota besar seperti Jakarta. Dan hal itu telah dibuktikan oleh stasiun TV beberapa waktu yang lalu.

Di lain pihak pembrantasan korupsi sepertinya masih jalan di tempat, kalau tidak mau dikatakan mati sebelum waktunya. Berbagai temuan di media massa seringkali tidak serta merta ditindaklanjuti dalam bentuk yang nyata. Padahal seringkali tingginya biaya operasional di Indonesia karena masalah biaya siluman yang merupakan wujud dari korupsi di tanah air.

Banyak para pelaku bisnis yang mengeluh soal tingginya biaya siluman ini, dari mulai “oknum” di jalanan, “oknum” di pasar, hingga “oknum” di pelabuhan / bandara.

Itu sebabnya, mengapa para investor asing lebih suka menanamkan investasinya di Indonesia dalam bentuk “Hot Money” baik di SBI, ORI, maupun SUN dan juga saham. Sedikit sekali perbandingannya jika dibandingkan yang ingin berinvestasi dalam bentuk Direct Foreign Investment (DFI) dalam wujud pembangunan industri skala menengah-besar.

Hal ini karena tingkat risiko investasi di negeri ini sedemikian tingginya mencapai sekitar 40% yang merupakan sumbangan dari para pelaku politik, oknum-oknum di lapangan, buruknya infrastruktur dan lain sebagainya.

Jika hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin kita akan kembali mengalami kemunduran seperti pada masa Orde Lama di awal kemerdekaan. Oleh karena itu, sudah menjadi perhatian bagi kita semua untuk saling bahu-membahu menyelamatkan negeri ini dari pengaruh-pengaruh buruk yang sudah mengakar budaya dan membantu mengembangkan negeri ini ke arah yang lebih baik.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Rabu, 11 Agustus 2010

Masa Depan Industri Telekomunikasi di Indonesia

Di mulai dari pendirian Telkom untuk melayani komunikasi suara dalam negeri dan Indosat untuk melayani percakapan suara internasional, Indonesia mengawali sejarah perjalanan bangsa ke dalam ranah dunia telekomunikasi. Di lain pihak pendirian RRI sebagai corong perjuangan dan kemerdekaan juga membantu mempercepat perkembangan industri telekomunikasi hingga akhirnya melahirkan TVRI.

Namun seiring dengan tantangan jaman dan perkembangan teknologi, masa depan telekomunikasi tidak lagi terbatas kepada media radio, televisi, dan telefon konvensional, melainkan sudah merambah kepada bidang teknologi layanan selular, data, internet, video streaming, broadband multimedia dan lain banyak lagi bidang lainnya yang akan terus semakin berkembang.

Para pemain layanan broadband multimedia juga sudah mulai berlomba mengejar kemajuan teknologi yang ada dengan terus menggelar sejumlah inovasi dan memperbesar kapasitas mereka. Di mulai dari rencana Indovision untuk menggelar layanan TV Satelit berbayar dalam teknologi High Definition, disusul oleh ide penerapan layanan TV Digital oleh pemerintah (meski kemudian proyek ini terhenti di tengah jalan ditandai dengan padamnya sejumlah siaran digital TV swasta), dan terakhir perkenalan layanan Broadband HD oleh First Media untuk siaran digital Full HD pada beberapa channel mereka mulai Oktober mendatang (masih terbatas pada 5000 pelanggan tertentu) dan juga upgrade layanan internet mereka ke standard Broadband Multimedia yang minimal memberikan akses internet pada kecepatan 1Mbps (meskipun berdasarkan pengalaman penulis kecepatannya masih belum stabil terutama pada siang hari dan sejumlah daerah yang masih menggunakan jalur analog coaxial).

Sementara dari sisi selular, para operator selular berlomba-lomba memperbesar bandwidth mereka baik untuk akses dari pengguna ke operator maupun dari operator ke jalur backbone di luar negeri. Dari mulai Telkomsel yang menggelar layanan HSDPA+ berkecepatan maksimal 21Mbps hingga Indosat yang menggembar-gemborkan layanan Dual Channel Carrier HSDPA+ berkecepatan 42Mbps.

Tarif layanan suara dan sms dari para operator selular sendiri turun cukup drastis, begitu pula untuk layanan internetnya, malah ada yang menawarkan paket internet 0.3 rupiah per kb, hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, meski ada juga yang masih menjual tarif gprs 5 rupiah per kb.

Namun sayangnya, perang teknologi dan harga ini tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas layanan internet yang baik dan benar. Hingga saat ini, berdasarkan pengalaman penulis baru ada dua ISP swasta bukan penyelenggara telekomunikasi suara yang mampu memberikan kualitas sebaik harganya. Sementara para operator selular maupun pemain broadband multimedia sendiri yang notabene punya backbone internet tersendiri justru malah kurang memuaskan sebagian besar pengguna.

Padahal keberhasilan pengenalan teknologi baru dan juga bertahannya para pemain di tengah persaingan industri yang sudah mendunia ini adalah pada kesempurnaan layanan dan dukungan infrastruktur yang memadai. Tanpa kualitas infrastruktur yang memadai dan layanan bebas masalah, semua itu akan sia-sia saja. Dana trilyunan rupiah yang digelontorkan sebagai investasi tidak akan memberikan imbal hasil yang baik jika kualitas masih amburadul.

Ke depannya sendiri, batasan definisi telekomunikasi akan semakin kabur dan akan semakin dikuasai oleh layanan data dan atau internet. Semua teknologi apakah itu televisi satelit, televisi kabel, radio dan lain sebagainya akan mengarah kepada satu paket multimedia broadband data berkecepatan tinggi, seperti yang diungkapkan oleh pihak First Media dalam siaran persnya sebagaimana dikutip oleh detik com, bahwa siaran HD berbayar mereka akan menggunakan kecepatan layanan data digital 12Mbps.

Tentu saja hal ini berita menggembirakan, namun perlu dipahami, secanggih apapun teknologinya, tidak akan memberikan nilai tambah jika konten layanan tersebut tidak bermutu (berkualitas). Misalnya siaran signal HD tentu akan sangat terasa manfaatnya jika untuk program-program edukasi seperti National Geographics, Discovery Channel. Semoga ke depan kita semakin maju dan bijaksana dalam melakukan implementasi teknologi.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Minggu, 08 Agustus 2010

Manajemen Bencana Sistem Komputerisasi Airport yang Terabaikan

Beberapa waktu yang lalu dan sampai hari ini masih menjadi pemberitaan hangat di mass media, adalah kasus down nya sistem komputerisasi dan x-ray di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng yang menurut kabar beberapa pihak diakibatkan oleh kegagalan sistem elektrik selama 1.7 detik.

Padahal untuk industri jasa yang sangat vital dan mahal seperti perbankan dan airport, membutuhkan system recovery plan yang sangat sempurna dan tidak mentolerir kesalahan ataupun kegagalan.

System Disaster Recovery Plan, tidak hanya mencakup fault tolerance dalam kelistrikan dan komputasi, namun juga dalam menghadapi bahaya dan ancaman pengeboman, terorisme, huru-hara massal dan lain sebagainya.

Mirorring system hanyalah satu dari seribu satu cara mengatasi kegagalan seperti yang terjadi di airport Soekarno Hatta. Listrik bandara sendiri tidak boleh satu detikpun berkedip, oleh karena itu penggunaan sistem UPS BackUp yang sempurna juga adalah wajib terutama pada bagian-bagian instalasi yang penting seperti mesin X-Ray, Radar, Avionik, Komputerisasi Sistem dan lain sebagainya. Istilahnya airport boleh hanya menyala dengan lampu darurat akan tetapi sistem komputer airport dari mulai radar, manajemen keamanan, imigrasi hingga bea cukai nya harus menyala 24 tanpa jeda satu detikpun.

Paling penting dari semuanya adalah, langkah-langkah prosedural-nya harus dibukukan secara resmi melalui ketetapan SOP (System Operational Procedure) dan harus diaudit secara berkala (setidaknya sebulan sekali) baik teknis pelaksanaannya maupun kesesuaiannya dengan tuntutan jaman.

Tidak kalah penting daripada itu adalah mentality concern dari segenap jajaran petugas dan manajemen di bandara untuk selalu bertindak antisipatif terhadap berbagai kemungkinan dan ancaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Seperti Jamming System Airport, yang bisa dilakukan oleh kapal perang AS sekelas kapal induk yang sering merapat di teluk Jakarta ataupun ancaman serangan teroris hacker IT maupun teroris politik dan keamanan.

Pembelaan diri dan silat lidah dari pihak-pihak terkait tanpa disertai tindakan perbaikan yang nyata adalah sia-sia, karena masyarakat dan berbagai pihak yang concern terhadap masalah ini menginginkan adanya perbaikan dan bukti nyata. Sehingga kiranya kejadian ini bisa menjadi pembelajaran yang mahal di masa depan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker