Minggu, 31 Oktober 2010

Kebangkrutan Jepang, antara Surat Hutang, Produktifitas dan Pencapaian Budaya

Ribuan tahun yang lalu, bangsa Tiongkok pernah mencapai puncak prestasinya, yakni sebagai bangsa besar yang memiliki kebudayaan yang paling maju, ekonomi terdepan, dan penguasaan tehnologi (mesiu walaupun pada masa itu hanya sebagai kembang api, dan tulisan sebagai cikal bakal tehnologi informasi). Hanya saja, kemunduran terjadi ketika mereka menutup diri dari pengaruh luar sehingga perlahan-lahan hubungan perdagangan dan budaya mengalami kemunduran drastis dan akhirnya tenggelam dalam waktu yang lama sebelum akhirnya mulai bangkit kembali di akhir abad ke 20 dan awal abad 21.

Jepang pun mengalami hal yang sama, mereka bangkit sebagai raksasa ekonomi peringkat ke tiga dunia pada abad ke 20 sesudah restorasi Meiji dan terjadinya musibah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, namun kembali memudar di awal abad ke 21.

Mengapa dikatakan Jepang akan bangkrut? Pertama Surat Hutang Jepang sudah luar biasa besar, yang mencapai 10 Trilyun USD dan belum selesai-selesai terbayarkan meskipun hanya menggunakan suku bunga 0.5% saja. Padahal beban bunga tersebut telah menyedot hampir 59% dari pemasukan pajak, artinya jika kemudian Surat Hutang Jepang kurang menarik, maka pemerintah Jepang harus menaikan suku bunganya lagi dan otomatis membebani pembiayaan dari sektor pajak.

Kedua, angkatan kerja produktif di Jepang sudah menyerupai piramida terbalik, di mana usia tua lebih banyak ketimbang usia muda yang produktif. Padahal anak-anak muda adalah harapan bangsa, jika anak muda Jepang tidak ada lagi ataupun ada namun hanya bersifat konsumtif dan lemah, bagaimana mereka membiayai para warganya yang sudah manula?

Ketiga, industri manufaktur dalam negeri Jepang tidak sebanyak industri manufaktur Jepang di luar negeri, artinya kekuatan ekonomi lebih banyak ditopang oleh aliran dana masuk dari hasil pendapatan anak perusahaan / cabang dan investasi di luar negeri ketimbang penguatan di dalam negeri.

Ke empat, terjadinya kemunduran di dalam kebudayaan, ditandai dengan banyaknya tekanan sosial bunuh diri di kalangan muda, melorotnya industri hiburan musik dan perfilman kalah melawan industri hiburan dari Korea dan Hongkong / China dan lain sebagainya.

Perlu dipahami mengapa saya menuliskan demikian, karena baik musik/film dan budaya panggung teater (drama teater) itu adalah satu paket dengan pembangunan ekonomi. Industri kreatifitas tetap merupakan motor penggerak ekonomi, di mana kemunduran pada industri tersebut merefleksikan kemunduran ekonomi negara tersebut.

Ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar mewaspadai ancaman kebangkrutan Jepang dalam perspektif hubungan ekonomi dan perdagangan bilateral. Karena tindakan Jepang memaksakan negara kita untuk masuk ke dalam perjanjian dagang bilateral bebas bea bukan tanpa alasan, akan tetapi karena mereka sendiri dalam masalah besar. Sehingga kita tidak boleh terlalu tunduk terhadap kemauan dari saudara tua yang sebenarnya tetap menjajah kita tersebut.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Mencermati Langkah The Fed dan Mewaspadai Gelembung Komoditas

Pekan depan, sebagian besar pelaku pasar sedang menunggu-nunggu hasil keputusan The Fed, apakah akan tetap dengan keputusannya untuk melakukan stimulus fiskal tahap ke dua dengan mengguyur pasar dengan mencetak sejumlah US Dollar dalam jumlah besar atau mengeluarkan paket kebijakan lainnya. Termasuk mencermati apakah suku bunga USD akan tetap atau malah naik.

Saat ini, nampaknya Amerika sedang menikmati pelemahan mata uangnya, dengan sengaja terus-menerus menggelembungkan sejumlah bursa di seluruh dunia terutama Asia dengan demikian meningkatkan daya saing eksport produk-produk mereka terutama yang masih dimanufaktur di dalam negeri agar memiliki daya saing di pasar internasional.

Langkah Amerika ini menciptakan terjadinya sejumlah gelembung-gelembung baru dalam perdagangan komoditas, walaupun harga emas sempat mengalami koreksi namun tidak di sejumlah perdagangan komoditas lainnya.

Timbulnya faktor krisis cuaca, yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga gandum dan kapas di seluruh dunia sehingga menyulitkan para pemain industri pangan dan tekstil, turut memperburuk timbulnya gelembung komoditas yang luar biasa.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus termasuk membiarkan pelemahan mata uang dollar secara jangka panjang, akan menimbulkan terjadinya perang mata uang dan gelembung perekonomian secara tidak wajar, yang tentu saja tidak diinginkan oleh banyak negara bahkan mungkin oleh Amerika sendiri.

Karena jika terjadi koreksi ataupun pecah gelembung tersebut, akan menyebabkan terjadinya krisis finansial secara global yang lebih parah ketimbang krisis subprime mortage tahun 2008 lalu.

Pemerintah di dalam negeri harus mewaspadai kenaikan inflasi akibat gelembung spekulasi di pasar komoditas ini. Karena dalam jangka panjang akan merepotkan semua pihak, bukan hanya masyarakat sebagai konsumen, namun juga produsen yang akan kesulitan mengatur pembiayaan dan penetapan harga produk yang wajar dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Di lain pihak, sebagai pelaku pasar, apakah anda sudah siap mereguk keuntungan dari gelembung-gelembung ini atau malah tertinggal dalam menunggangi gelembung ini.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Minggu, 24 Oktober 2010

Transfer Pricing antara Legalitas vs Etika Bisnis

Menyimak laporan di salah satu berita keuangan internasional (bloomberg.com) mengenai praktek transfer pricing yang dilakukan oleh Google Inc dengan menempatkan pendapatan perusahaan di negara-negara tax heaven, cukup membuat terkejut para praktisi keuangan. Karena bahkan perusahaan sebesar dan sekaliber Google pun melakukan praktek tersebut. Meskipun dikatakan bahwa praktek tersebut sah secara hukum, namun tidak secara etika bisnis.

Di negara-negara sekaliber Amerika Serikat pun praktek transfer pricing tetap merupakan dilema, karena meskipun dikategorikan praktek yang tidak etis, namun pada kenyataannya hampir semua perusahaan besar di Amerika melakukan hal tersebut.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Praktek transfer pricing di Indonesia belakangan mendapat perhatian serius dari kantor pajak, antara lain dengan diterbitkannya fasilitas pelaporan adanya hubungan istimewa antar perusahaan dalam form SPT PPh Badan, di mana berdasarkan UU no 17 tahun 2000 pasal 18 UU PPh hal tersebut diatur dalam hubungan khusus antar perusahaan di mana “Dirjen Pajak memiliki kewenangan mengatur kembali besaran penghasilan dan pengurangan serta menentukan besarnya utang dalam rangka penyertaan modal untuk menentukan besaran Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Lain sesuai dengan kewajaran dan kelaziman bidang usaha lain yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa”.

Ini jelas menandakan bahwa Indonesia pun tidak menginginkan terjadinya Transfer Pricing, walaupun dalam praktek di lapangan banyak sekali perusahaan-perusahaan besar melakukan hal tersebut.

Lemahnya tata cara pemungutan dan pengawasan perpajakan di lapangan, menimbulkan terjadinya anggapan sah praktek transfer pricing bagi para stakeholder maupun bagian keuangan di perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga hal tersebut perlu mendapatkan reformasi yang cukup serius dari depkeu selaku induk dari direktorat jenderal pajak.

Benar kita sebagai pelaku bisnis harus memikirkan bagaimana cara mengurangi risiko ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan penghasilan usaha. Namun di sisi lain, kita harus tetap concern terhadap masalah-masalah etika bisnis.

Kelemahan kebanyakan manajemen / pimpinan di perusahaan adalah karena tidak mampu melakukan simulasi cost secara optimal sehingga bisa didapat efisiensi biaya tanpa harus melakukan praktek transfer pricing. Sebab penekanan biaya bukan hanya berbicara mengenai hitung-hitungan angka semata namun juga proses bisnis secara keseluruhan baik dari mulai sisi operasional, pemasaran, sumber daya dan lain sebagainya.

Di sisi lain, budaya praktek sogok-menyogok dalam rangka memenangkan suatu tender maupun biaya premanisme di lapangan dalam pengerjaan suatu proyek merupakan hal yang tidak terhindarkan. Dalam hal ini, pemerintah sendiri harus konsisten, karena masalah transfer pricing bukan hanya masalah pajak semata, namun juga terkait dengan masalah rasa aman dan nyaman berbisnis selain juga ketersediaan infrastruktur ekonomi yang masih jauh dari memadai.

Yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah, memerangi praktek transfer pricing bukan hanya berbicara mengenai keuntungan perusahaan yang disembunyikan atau dipindahtangankan, namun juga bagaimana menyikapi permasalahan ekonomi biaya tinggi di tanah air sehingga para pelaku bisnis tetap mampu mendapatkan keuntungan yang maksimal tanpa harus melakukan perbuatan tercela.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker