Senin, 28 Februari 2011

Kembalikan Fungsi Bank Sebagai Agen Pembangunan

Belakangan ini jarang sekali didapati bank-bank yang memberikan kemudahan kredit ataupun pinjaman modal kepada para pengusaha kecil. Baru sesudah krisis finansial global 2008 kemarin bank-bank berebut mencari nasabah kredit dari sektor UMKM maupun pengusaha-pengusaha bermodal kecil lainnya.

Namun itupun masih banyak tantangan dan halangan yang dihadapi, dari mulai tuntutan lama usaha, jaminan pinjaman yang memadai dan lain sebagainya. Belum lagi masalah tingginya suku bunga kredit dan masalah kesulitan nasabah menyusun rencana pengembangan dan neraca keuangan perusahaan secara baik dan benar.

Berkaca dari kasus salah satu direktur bank BUMN yang dipenjara karena kasus pemberian kredit yang menjadi macet, semakin menciutkan nyali para bankir utamanya bank-bank plat merah untuk memberikan kredit bagi para pengusaha yang memiliki bisnis kurang prospektif. Padahal setelah berjalan sekian lama, justru kasus kredit macet yang menyebabkan sang direktur Bank BUMN itu masuk penjara, justru berubah menjadi kredit lancar setelah diadakan proses negoisasi ulang dan penjadwalan ulang proses pelunasan hutang tersebut.

Padahal sang tokoh pimpinan bank tersebut, didakwa oleh jaksa yang tidak mengerti seluk-beluk perbankan dan ekonomi, sebagai koruptor. Sementara dalam dunia bisnis adalah lumrah jika terjadi kemacetan pembayaran kredit, dan bukannya harus terburu-buru diklaim sebagai kelalaian, melainkan harus diselidiki terlebih dahulu mengapa bisa macet, dan apa faktor-faktor penyebabnya.

Proyek-proyek besar skala nasional sekalipun, banyak yang pembayarannya terkadang memerlukan penjadwalan ulang karena satu dan lain hal, terutama seperti krisis ekonomi tahun 1997-1998 ataupun krisis finansial tahun 2008. Dan itu lumrah-lumrah saja, kecuali memang sejak awal riset kreditnya tidak feasible.

Secara tidak langsung, hal ini telah menyebabkan banyak bisnis-bisnis jangka panjang dan strategis jatuh ke tangan perbankan asing, yang justru melihat celah dan kesempatan ini karena ketakutan tersendiri dari kalangan perbankan lokal, dan tidak ditunjang oleh regulasi dari otoritas perbankan itu sendiri.

Dan ini sangat berbahaya sekali, karena jika terjadi masalah, maka perusahaan-perusahaan lokal akan dengan sangat mudah berpindah tangan menjadi milik asing dan atau dicaplok oleh perusahaan tandingannya.

Jika dulu pada masa-masa awal kemerdekaan hingga orde baru kita banyak melihat industri-industri strategis maupun para pedagang kecil dibiayai oleh perbankan lokal, sekarang sulit sekali melihatnya. Banyak pengusaha yang butuh permodalan yang kuat, namun tidak ada perbankan yang mau turun tangan kalau tidak ada jaminan ataupun melihat ketidaksanggupan usaha tersebut membayar suku bunga kreditnya yang sangat tinggi.

Sebagai contoh, industri garmen dan alas kaki, seringkali dipandang sebelah mata oleh perbankan lokal dan dikatakan sebagai sunset industry, padahal apa itu definisinya sunset? Apakah mereka mengerti bahwa industri seperti ini memang cenderung untungnya kecil, namun pembayaran justru lebih lancar, karena material dan bahan baku sudah didukung oleh principal ataupun pembeli dan diberikan kemudahan jaminan letter of credit (L/C). Apalagi jenis industri ini paling lama term pembayarannya adalah sekitar 45 hari.

Ketidaktahuan akan hal-hal seperti ini yang pada akhirnya bisa memukul balik perekonomian kita yang terlalu kapitalis dan berorientasi kepada pasar modal. Hanya mementingkan untung dan rugi, tidak memperhitungkan pembangunan ekonomi secara jangka panjang. Padahal kita perlu penyerapan tenaga kerja secara masif guna meredam angka pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Belum lagi masalah tingginya suku bunga di tanah air, dengan berbekal alasan inflasi lantas dilakukan pembiaran rezim suku bunga.

Padahal inflasi bisa diredam tidak melulu hanya dari suku bunga, melainkan juga perbaikan sarana infrastruktur, regulasi, kebijakan-kebijakan jangka panjang dan lain sebagainya yang saling berkait satu sama lain. Untuk itu penting kiranya semua menteri dan departemen terkait duduk satu meja membicarakan dan mengkomunikasikan permasalahan yang ada bersama-sama, tidak lagi jalan sendiri-sendiri.

Seringkali kenyataan di lapangan didapati, kebutuhan akan material bahan baku terhambat karena regulasi dari salah satu instansi kementrian tidak mendukung proses kerja yang dibutuhkan. Padahal kalau saja antar instansi dan departemen saling mau bekerjasama dan membangun strategi yang saling mempercepat proses kerja, tentu tingkat pertumbuhan ekonomi bisa lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya.

Untuk itu kembali lagi kepada permasalahan awal, perlu digalakan koordinasi antar instansi dan pengembalian fungsi perbankan sebagai agen pembangunan, agar hambatan-hambatan dalam ekonomi dalam negeri bisa diperbaiki dan taraf kehidupan rakyat dapat lebih membaik.

Protected by Copyscape Online Copyright Protection

Rabu, 23 Februari 2011

Strategi Kolaborasi Microsoft dengan Nokia, Bunuh Diri atau Kebangkitan?

Bersamaan dengan diumumkannya rencana jangka panjang kerjasama antara Microsoft dengan Nokia dalam bentuk strategi pasar smartphone Windows Phone 7, banyak komentar-komentar sinis dan pesimis akan masa depan telefon genggam yang satu ini.

Namun demikian tidak sedikit analis pasar yang setuju dengan rencana kerjasama antar kedua brand besar tersebut, karena di pasar software nama besar Microsoft masih merajai meskipun sedikit demi sedikit mulai digerogoti oleh para pesaingnya, hanya saja untuk urusan smartphone, operating system Windows Phone sudah mulai ditinggalkan oleh para developer smartphone.

Sedangkan Nokia sendiri, secara statistik masih merajai pemasaran telefon genggam di seluruh dunia, meskipun pasarnya semakin mengecil dan di arena high end smartphone sudah mulai dihantam oleh para pesaing beratnya dari mulai Apple hingga berbagai macam merek smartphone berbasis Android OS.

Nokia secara Supply Chain Management masih merupakan rajanya di bisnis ini, ketersediaan jalur-jalur pasokan dan distribusi yang solid serta marketing yang gencar masih merupakan yang terbaik meskipun sekarang sudah mulai dikalahkan oleh Apple yang sukses membangun kerjasama yang baik dengan para retailer dan membangun komunitas yang solid.

Hanya saja, sangat disayangkan jika guna meraih kembali kejayaan di pasar smartphone Nokia harus repot-repot mengambil jalan pintas berkolaborasi dengan Microsoft. Sebab Nokia memiliki Ovi Store yang dipersiapkan untuk menghantam Apple Store dan iTunes.

Justru seharusnya Nokia mendevelop sendiri software-nya secara in house, agar mampu bersaing melawan Apple baik dari segi biaya produksi maupun stabilitas operating system. Sebab banyak keunggulan Apple justru didapat dengan membangun komunitas sendiri dan in house development. Bahkan hampir seluruh piranti Apple hak cipta dan desain hardware nya ada pada Apple Inc.

Mungkin dengan berfikir lambatnya pengembangan MeeGo dan Symbian^3/Symbian^4 serta kesulitan-kesulitan dalam pengembangan komunitas yang ada, menjadikan Nokia mengambil jalan pintas strategi kolaborasi ini, apalagi CEO yang sekarang merupakan eks orang Microsoft.

Memang jalan masih panjang, dan sesuai janji Nokia dan Microsoft sendiri, smartphone hasil kolaborasi ini akan tersedia dalam berbagai variasi harga dari mulai murah hingga mahal. Jadi kita lihat saja, apakah hal ini akan berhasil atau tidak, semoga saja masalah pada update operating system Windows Phone 7 tidak menjadi batu sandungan bagi pengembangan kolaborasi ini.