Kamis, 21 Juli 2011

Seberapa Perlukah Koneksi LTE di Indonesia ?

Beberapa hari ini, pikiran saya selalu terusik membaca gembar-gembor beberapa provider selular di Indonesia akan rencana mereka melakukan investasi LTE di Indonesia. Bahkan sampai ada yang sudah melakukan ujicoba di dalam negeri bukan sekedar memantau test di luar negeri.

Sejujurnya, LTE tidak bisa memecahkan permasalahan bandwidth bottleneck dari traffic internet di jaringan selular provider-provider tersebut. Bahkan yang terjadi LTE hanya menjadi jargon pemasaran ketimbang layanan jasa yang sesungguhnya.

Mengapa? Karena untuk jaringan HSPA + saja yang bekecepatan 21 Mbps, idealnya sudah lebih dari cukup untuk transfer video streaming youtube kualitas 1080p dan 720p, karena video youtube rata-rata bitrate full hd nya tidak lebih dari 18 Mbps. Kebanyakan hanya sekitar 10 Mbps.

Suatu ironi dan kelucuan yang menyesatkan konsumen layanan jasa broadband selular di Indonesia, karena bahkan rata-rata kecepatan tertinggi jaringan HSPA + maupun DC HSPA (Dual Carrier High Speed Protocol Access) hanya berkisar antara 384 kbps hingga 1 Mbps. Beberapa pengujian pribadi yang saya lakukan menggunakan modem maupun telefon selular HSPA, hanya mentok di speed rata-rata 1 Mbps, kecepatan 2 Mbps sendiri sangat langka, hanya sesekali saat browsing saja, tidak pernah saat download apalagi upload yang rata-rata dibatasi hingga 120 kbps.

Justru, salah satu operator selular besar ada yang mengakui terpaksa menambah jumlah BTS di kawasan Indonesia Timur agar sms tidak mengalami delay. Bayangkan, hanya untuk sms saja masih mengalami delay, apalagi layanan data? Jangankan di kawasan Indonesia Timur, para pengguna selular di Jakarta sendiri sering mengalami lag sms pada akhir tahun / tahun baru ataupun hari raya.

Yang perlu dilakukan oleh para provider selular itu untuk meningkatkan kecepatan akses layanan data dan jumlah pelanggan layanan data, adalah melakukan manajemen bandwidth baik secara sistem, software maupun hardware dan terutama ketersediaan jumlah BTS yang memadai dengan rasio user pengguna di daerah tersebut.

Jangan pikirkan masalah rugi investasi BTS dulu, karena namanya pembangunan infrastruktur BTS jelas memakan biaya tinggi, tapi pikirkan proyeksi investasi jangka panjangnya dan keuntungan jika layanan broadbandnya tercukupi. Percuma membangun satu dua pemancar LTE jika pemakai internet selular bisa mencapai 120 juta penduduk misalnya. Lebih baik seluruh pemancar BTS 3G dan 3.5G dioptimalkan jumlah dan kapasitasnya.

Sampai saat ini belum ada layanan selular broadband yang mendapat respek secara baik oleh mayoritas pengguna, selalu saja muncul keluhan dari mulai blankspot area hingga buruknya kualitas signal dan transfer data.

Bandingkan jika misalkan anda berada di luar negeri, tidak usah dengan Singapore, dengan Thailand saja layanan EDGE mereka rata-rata lebih baik ketimbang layanan 3G kita. Ini suatu bentuk ironi, bahwa kita hanya mengejar investasi semu dan buang-buang uang secara percuma demi mengejar pencitraan perusahaan ketimbang berfikir secara bijak mengenai pemecahan masalah secara total.

Padahal, yang namanya bisnis jasa, sangat tergantung dari kesiapan bagian operasional dan infrastruktur operasionalnya itu sendiri. Tanpa harus dengan gembar-gembor pemasaran yang dahsyat, konsumen sudah cerdas untuk memilih operator yang layanan kualitasnya baik dan terpercaya. Tanpa dukungan jaringan yang baik, hanya mengandalkan jargon LTE, bisa dipastikan itu akan menjadi pukulan balik yang memalukan citra perusahaan itu sendiri. Semoga bisa menjadi bahan renungan bagi semua operator selular.

Kamis, 14 Juli 2011

Jika Amerika benar-benar gagal bayar hutang

Beberapa malam yang lalu, dalam suatu acara pertemuan antar para nasabah private banking di salah satu hotel mewah di kawasan ibukota, mencuat kekhawatiran para pemegang uang bahwa Amerika benar-benar akan mengalami default. Bahkan beberapa investor kelas kakap, sempat gempar ketika pembawa acara menyampaikan bahwa dollar sudah tamat riwayat, dollar is a dying currency, begitu ujar seorang ekonom terkenal.

Padahal, jauh sebelum itu, saya sudah pernah menulis di kompasiana, bahwa suatu saat Amerika akan hancur dan dollar akan jatuh ditinggalkan oleh banyak investor maupun bank sentral di seluruh dunia.

Namun akhirnya waktu juga yang menjawab, kini di hari-hari terakhir ini, begitu banyak investor cemas dan panik akan nasib mata uang yang pernah jaya ini. Akibat kepanikan itu, harga emas diramalkan akan melonjak hingga USD 1600 per troy ounce di akhir tahun.

Saya sendiri termasuk yang percaya, suatu saat harga emas akan terbang ke level 5000 USD per troy ounce, ini bukan mengarang-ngarang, tapi Amerika punya keterbatasan finansial dan cetak uang. Jika Amerika terus menerus cetak uang, sementara kemampuan plafon kreditnya (meskipun dinaikan beberapa kali) juga terbatas, suatu saat mata uang ini akan kolaps dan bernasib sama dengan Zimbahwe.

Sementara hari-hari-hari ini kita semua cemas dan gigit jari menanti keputusan final apakah Presiden Obama berhasil meyakinkan kongres Amerika agar usulannya untuk merevisi budget dan melakukan pemangkasan anggaran, menaikan pajak serta menaikan plafon kredit berhasil disetujui oleh parlemen atau tidak.

Lantas bagaimanakah dengan Indonesia? Apakah negara kita akan terimbas, dan seberapa parah imbasnya bagi negara kita? Pertama-tama harus dilihat dulu, bagaimana struktur makro perekonomian negeri kita yang tercinta ini. Indonesia adalah pengekspor energy dan komoditas, dari mulai gas, batu bara, CPO (minyak kelapa sawit), logam dan mineral hasil tambang serta lainnya. Kita juga mengekspor beberapa kebutuhan sandang, seperti sepatu, pakaian, tas, kulit mentah (untuk diolah menjadi bahan baku tas dan sepatu), dan lain sebagainya.

Saat ini, Amerika masih menjadi salah satu tujuan utama ekspor kita, jika Amerika guncang kembali, tentu saja ekspor kita akan terpukul. Namun kita masih punya pasar dalam negeri yang kuat, meskipun banyak pihak baik pelaku industri maupun pengamat ekonomi pesimis akan kemampuan daya serap pasar dalam negeri. Justru di sini peranan penting pemerintah dalam menjaga stabilitas daya serap hasil industri oleh konsumen dalam negeri untuk terus tetap dijaga.

Di sisi lain, kita adalah importir minyak, sedikit banyak anggaran belanja negara kita ditentukan oleh fluktuasi harga minyak dunia. Jika pertumbuhan ekonomi gagal atau melambat, harga minyak akan turun kembali, dan anggaran pengeluaran negara kita akan membaik. Namun ekspor non minyak kita juga akan terpukul, karena harus dialihkan ke negara lain, atau jika tidak laku, ya terpaksa di konsumsi dalam negeri.

Lantas bagaimana dengan bursa saham dan pasar uang di dalam negeri? Hal ini tidak perlu terlalu dicemaskan, saat ini kita kebanjiran hot money dalam jumlah fantastis sepanjang sejarah. Seandainya pasar terguncang hebat, rupiah dan pasar modal memang akan goyang sebentar, tapi pada akhirnya, pasar akan bersikap rasional, dan kembali memburu asset-asset di emerging market yang memiliki fundamental ekonomi yang sangat kuat. Dan saat ini di seluruh dunia hanya ada dua emerging market yang menarik, yakni Brazil dan Indonesia. Brazil sendiri tidak begitu disukai karena mengenakan pajak atas aliran hot money. Indonesia tidak, tentu saja uang akan lebih deras mengalir ke Indonesia sesudah pasar sadar tidak lagi bisa berharap ke ekonomi negara-negara maju.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pemerintah kita sudah siap mengantisipasi aliran hot money ini? Saat ini yang benar-benar sangat dibutuhkan oleh para investor adalah ketersediaan infrastruktur dari mulai listrik, jalan raya, jalan tol, rel kereta api, transportasi massal sekelas MRT Skytrain dan MRT Subway selain Busway, dan juga infrastruktur kawasan-kawasan industri di luar jawa agar terjadi pemerataan pembangunan.

Kenyataannya, daya serap kita terhadap aliran hot money ini sangat lemah, bahkan setiap tahun selalu terjadi kelebihan anggaran di mana anggaran belanja tidak terserap oleh daerah karena lemahnya implementasi pembangunan infrastruktur akibat benturan berbagai kepentingan dan proyek-proyek titipan. Semoga kita semua sadar, bahwa pada saatnya kita harus meninggalkan budaya proyek dan korupsi dan mulai memikirkan kemajuan negara kita bersama-sama. Salam.

Jumat, 08 Juli 2011

Change Management: antisipasi, inovasi, dan perubahan, sebagai kunci keberhasilan bisnis dan organisasi dalam jangka panjang

Sepanjang tahun 2008 hingga 2011 ini, kita seringkali melihat nama-nama besar di industrinya masing-masing timbul tenggelam silih berganti. Merek-merek yang di era sebelum krisis 2008 berkibar layaknya jumawa, pada tahun 2011 banyak yang mengalami kerugian dan kejatuhan harga sahamnya. Bahkan ada beberapa merek besar yang diramalkan akan menghilang dalam 20 tahun ke depan.

Berhasil tidaknya suatu bisnis dalam jangka panjang, sangat tergantung kepada visi dari perusahaan tersebut, apakah bisa mengantisipasi perubahan pasar dan mengikuti dan bahkan memimpin arus perubahan selera pasar atau tidak.

Seringkali orang berfikir hanya dari sisi aspek keuangan atau aspek operasional saja, namun melupakan strategi bisnis dalam jangka panjang. Ketika suatu usaha mulai beranjak besar dan menggurita, seringkali melupakan bahwa dalam bisnis tidak ada yang kekal, layaknya suatu bentuk kehidupan akan mengalami fase penuaan dan kemunduran bahkan kematian jika tidak di antisipasi dengan baik.

Benar kita memerlukan quality control ala six sigma quality, dan juga supply chain management yang baik mengacu kepada standar SCOR (Supply Chain Organization Reference) Model, namun itu semua tidak ada artinya tanpa antisipasi perubahan bisnis dan juga inovasi dan perubahan dalam industri itu sendiri.

Sales, dan Marketing Strategic harus merupakan implementasi visi jangka panjang terhadap antisipasi perubahan pasar dan harus berisikan sejumlah inovasi dan perubahan dalam industri tersebut.

Begitupula dengan rencana operasional dan strategi operasional perusahaan, termasuk di dalamnya struktur bangun organisasi perusahaan, harus terus berubah seiring dengan perubahaan pasar yang sangat pesat.

Jika dulu suatu model bisnis lebih berorientasi kepada SILO model, saat ini, suatu bisnis dituntut untuk berubah mengikuti stream model bisnisnya. Ambil contoh, pada industri manufaktur, jika dahulu suatu pabrik terbagi-bagi atas divisi-divisi dari mulai operasional, keuangan, pemasaran, HRD dan lain sebagainya, saat ini banyak industri manufaktur dituntut untuk mengaburkan batasan antar divisi dan melakukan perubahan dalam struktur bidang organisasinya. Ada banyak industri consumer goods dituntut membagi-bagi divisi berdasarkan merek produknya, sehingga tidak aneh jika ada pabrik yang memiliki banyak pegawai keuangan yang terpecah-pecah ke dalam beberapa produk yang berbeda.

Suatu organisasi baik bisnis maupun non bisnis juga dituntut untuk semakin ramping dan fleksibel terhadap perubahan. Ada banyak manajer cabang yang lebih banyak melakukan tugas marketing merangkap operasional dan keuangan dibandingkan waktu yang lalu. Para pekerja dituntut untuk memiliki banyak fungsi dan ketrampilan agar organisasi dapat bertahan terhadap arus perubahan jaman. Ini karena persaingan usaha yang semakin ketat dan beratnya biaya operasional dari tahun ke tahun, sehingga jika suatu organisasi tidak ramping, efisien, dan efektif, maka organisasi tersebut bisa runtuh ke dalam jurang kebangkrutan.

Strategi-strategi pengembangan produk / jasa pun harus selalu mengacu kepada antisipasi perubahan selera pasar tersebut. Contoh paling gampang adalah penjualan bawang. Jika dulu orang banyak yang membeli bawang secara ketengan di pasar, sekarang banyak produk bawang olahan dari mulai bawang goreng hingga serbuk bawang dan juga kapsul berisi ekstrak bawang. Karena ternyata bawang bukan hanya diperlukan sebagai salah satu racikan bumbu dapur, tapi juga menyebar menjadi ramuan obat herbal untuk menjaga kesehatan dan menangkal berbagai penyakit.

Tentu saja dalam menghadapi arus perubahan itu, terkadang banyak individu di dalam organisasi yang tidak siap menghadapi perubahan bisnis dan organisasi. Untuk itu perlu adanya persiapan jangka panjang, dari mulai mempersiapkan orang-orang yang akan menjadi agen perubahan di dalam organisasi, kesediaan para pimpinan perusahaan termasuk komisaris dan pemilik bisnis untuk mengawal dan menjadi pemimpin arus perubahan, hingga fase persiapan perubahan itu sendiri dari mulai pengenalan, penyebaran pengaruh, implementasi hingga sampai ke tahap perubahan itu sendiri.

Siap tidak siap, dunia terus berubah, kita sendiri harus terus berubah, tentu saja ke arah yang lebih baik dan lebih positif. Jangan biarkan virus-virus anti perubahan terus menerus berada dan merongrong garis kebijakan yang telah ditetapkan. Pengaruhi dan ubah virus-virus anti perubahan itu agar mau berubah baik secara sukarela maupun dengan aturan organisasi. Ini agar tahapan transformasi bisnis bisa berjalan sesuai dengan rencana semula dan organisasi bisa berjalan dengan baik dan lancar.

Semoga bisnis dan organisasi anda tetap berkibar di tahun-tahun mendatang, salam perubahan.