Senin, 16 Mei 2011

Bisnis barang kualitas Super KW (Tiruan) ala Korea

Jika anda penggemar tas bermerek terkenal, ataupun garment dan sepatu terkenal, tahu kah anda, bahwa barang-barang tersebut banyak dipalsukan. Di antara begitu banyak pemalsuan barang-barang berkualitas dan citra rasa seni yang tinggi tersebut, apakah anda tahu, bahwa peniru nomer satu produk-produk terkemuka itu adalah industri pemalsu barang dari Korea.

Barang-barang palsu dan tiruan asal Korea tersebut memiliki tingkat ketrampilan dan kerumitan yang sangat tinggi, nyaris 100% sama dengan barang aslinya. Hanya dibeberapa bagian tertentu nampaknya sengaja dibuat sedikit berbeda dari aslinya, agar orang tetap tahu beda asli dengan palsunya. Namun pemilihan bahan hingga ke model produk semua sama persis.

Jika katakanlah tas merek X asal Italia berharga asli 3 juta - 5 juta rupiah, maka produk super kw asal negeri Ginseng itu bisa berharga 1 juta rupiah. Jauh lebih mahal ketimbang barang tiruan asal RRC yang katanya terkenal mahir memalsukan barang tersebut. Secara kualitas memang barang tiruan nomer satu asal Korea, memiliki tingkat kemiripan dan kualitas yang menyamai produk aslinya, sehingga dihargai lebih mahal ketimbang tiruan produk asal RRC.

Hal tersebut bukan karena orang Korea gemar memalsukan, namun karena mereka memang memiliki keahlian dan kemahiran mengerjakan produk aslinya dan telah lama terbiasa bekerja dalam industri OEM (Original Equipment Manufacture) yang mengerjakan berbagai merek terkemuka dunia. Sehingga ketika kontrak kerja mereka di negara-negara berkembang sebagai tenaga ahli di industri OEM berakhir (kebanyakan merek terkenal memang membuka pabrikan OEM di negara berkembang dengan alasan upah buruh yang rendah), mereka banyak yang berinisiatif membuka sendiri usaha pemalsuan barang berbekal keahlian mereka di masa lalu.

Sebenarnya, hal ini patut disayangkan juga, karena tanpa harus memalsukan barang, mereka punya talenta untuk membuat merek sendiri dengan desain barang tersendiri, namun rupa-rupanya banyak yang memilih mengambil jalan pintas, selain pasarnya lebih jelas, tidak perlu riset dan modal awal yang besar, cukup meniru dan menjual barang-barang tiruan itu di pasar negara berkembang, terutama seperti Indonesia yang penduduknya masih brand minded.

Hebatnya, rata-rata para pemalsu barang ini, sebelum membuat tiruan aslinya, mereka sengaja investasi dengan membeli barang aslinya, lalu kemudian dibongkar dan dipelajari desain, bahan baku dan tehnik pengerjaannya sebelum kemudian dipalsukan dengan kemahiran yang sangat tinggi.

Itu sebabnya, keahlian mereka dalam membuat tiruan nyaris tanpa banding di dunia ini. Seandainya saja mereka mau merintis usaha dengan papan nama sendiri seperti industri elektronik dan otomotif di negara mereka, tentu akan lebih baik lagi.

Jumat, 06 Mei 2011

Sisi Kelam Quantitive Easing dan Ancaman Tsunami Ekonomi

Hancurnya sistem finansial global pada krisis subprime mortgage yang di awali pada kejatuhan di bulan Agustus 2007 dan menjadi krisis ekonomi global di tahun 2008 hingga awal 2009, bukanlah merupakan akhir dari krisis yang pertama kali harus dialami ataupun terakhir kali dialami.

Krisis demi krisis ini hanya merupakan gelombang demi gelombang badai tsunami ekonomi yang semakin membesar dan pada akhirnya bisa menghancurkan seluruh tatanan perekonomian dunia jika tidak disikapi secara bijaksana dan hati-hati.

Program penyelamatan asset-asset keuangan di pasar modal dengan penyuntikan uang secara besar-besaran melalui program Quantitive Easing tahap pertama, bisa dibilang bisa meredam kejatuhan pasar modal dunia ke dalam jurang yang lebih dalam. Namun hal tersebut tidak pernah menyelesaikan masalah yang ada.

Tindakan tersebut hanya sekedar mengobati luka, bukan menyelesaikan akar masalah dari sistem perekonomian yang semakin menderita ketergantungan kepada paper asset dan pengelembungan asset-asset secara fiktif.

Penggelontoran paket stimulus fiskal melalui program Quantitive Easing tahap kedua, dengan tujuan dan maksud agar pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat melalui cetak jutaan dollar setiap hari ke pasar finansial, hanyalah upaya memperpanjang nafas sesaat.

Pada intinya ada masalah-masalah yang tidak pernah terselesaikan dalam paket-paket kebijakan tersebut, antara lain, perubahan gaya hidup dan kebangkitan industri riil secara besar-besaran. Yang ada uang-uang tersebut justru menjadi senjata amunisi guna membanjiri pasar finansial di negara-negara berkembang dan senjata spekulasi di pasar komoditas global.

Akibatnya harga minyak dunia kembali terbang ke atas level USD 100-an/barrel selama berbulan-bulan dan harga emas serta berbagai komoditas lainnya termasuk pangan menggelembung ke tingkat yang sangat mengerikan dan membawa dampak inflasi global yang menggerogoti sektor keuangan dan industri di banyak negara termasuk negara-negara dunia ketiga yang menerima banjir uang tersebut.

Nilai tukar dollar sendiri semakin merosot dari hari ke hari, seperti yang pernah kami tuliskan sebelumnya, mata uang ini menjadi semakin tidak populer dan mulai ditinggalkan oleh banyak negara. Hal ini terbukti ketika Russia, Thailand, dan Meksiko beramai-ramai membeli emas sebagai cadangan devisa dalam jumlah yang sangat fantastis mencapai 6 milyar dollar lebih.

Hal ini membawa The Fed sebagai pihak yang dinilai banyak kalangan paling bertanggung jawab terhadap program paket quantitive easing menjadi gamang dan pusing tujuh keliling. Di satu sisi, menyetop program stimulus fiskal dan pengelontoran jutaan dollar ke pasar finansial, akan membawa akibat kemandekan ekonomi karena dunia (tidak hanya Amerika) akan mengalami krisis likuiditas. Namun di sisi lain, cetak uang secara masif juga menjatuhkan dunia ke dalam jurang inflasi berkepanjangan dan krisis komoditas. Walaupun pasar saham menjadi bergerak, namun justru pasar riil tidak terlalu banyak terbantu karena pengangguran tetap merajalela dan ekonomi hanya bergerak sedikit.

Isu kemungkinan akan dinaikannya suku bunga segera saja merontokan harga komoditas baik emas maupun minyak dan perak secara signifikan, dengan pengecualian bahwa jatuhnya harga perak lebih banyak karena kenaikan fasilitas margin, yang membuat banyak spekulan kelas teri terpaksa keluar dari pasar karena takut gulung tikar karena kurang modal.

Isu ini hanya akan terus berputar-putar di sekitaran pasar finansial, namun dengan dampak rontoknya satu per satu industri riil. Karena tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan dalam proses pemulihan ekonomi ini adalah adanya pasar tenaga kerja yang cukup dan industri riil yang dapat menampung baik tenaga kerja maupun berproduksi secara masif guna mencukupi kebutuhan konsumen.

Sebab yang namanya proyek-proyek pembangunan infrastruktur hanyalah bersifat sementara, begitu pula dengan berbagai pekerjaan sementara yang diciptakan hanya untuk meredam angka pengangguran, karena begitu stimulus ekonomi ini berakhir, dan mereka tidak bisa diserap oleh pasar, maka yang terjadi justru angka pengangguran akan kembali membengkak dan krisis kembali berulang. Kalaupun banyak yang mengatakan angka pengangguran telah berhasil diturunkan, itu hanya sementara, pada kenyataannya, banyak yang tidak mau melamar kerja karena sudah putus asa akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan yang layak.

Celakanya dengan Indonesia, kita terpukau oleh gelontoran uang panas hasil stimulus dari negara lain, dan sudah bangga dengan indikator-indikator semu. Sementara industri riil kita menjerit akibat banjir barang dari negara lain, dan lebih parahnya, daya saing industri dalam negeri semakin merosot, baik karena kurangnya modal, infrastruktur yang buruk, proteksi industri yang memadai dan lain sebagainya termasuk juga impor-impor illegal dari berbagai negara yang masuk melalui jalur-jalur yang dikuasai oleh oknum-oknum tertentu.

Sementara itu angka pengangguran tidak juga berhasil diredam ke tingkat yang relatif aman. Semakin hari angka kejahatan semakin meningkat, premanisme semakin meningkat, dan korupsi serta pemerasan oleh aparat maupun oknum-oknum birokrat semakin meningkat.

Sedikit demi sedikit mulai banyak pabrik yang gulung tikar, ataupun melakukan perumahan karyawan, padahal bulan puasa dan lebaran sudah di depan mata, lebih celakanya lagi, uang panas itu kemungkinan akan pulang kembali ke negara asalnya dalam waktu dekat, sehingga krisis semakin tidak terhindarkan. Walaupun ada kemungkinan paket stimulus QE3 akan segera digelontorkan saat paket QE2 berakhir bulan Juni, namun tetap ada jeda waktu di mana uang panas itu harus kembali dulu ke negara asalnya.

Saat ini, Indonesia hanya benar-benar ketergantungan dari industri pasar modal dan industri kreatif yang walaupun masih kecil namun mulai menunjukan geliatnya. Sementara industri manufaktur dan pangan masih menunjukan tanda-tanda yang kurang menggembirakan. Jangan ditanya soal industri transportasi dan logistik yang mengalami pukulan paling hebat, terutama karena kenaikan harga minyak dan kacaunya infrastruktur transportasi dan logistik.

Apakah kita ke depannya akan melakukan perubahan demi mengantisipasi badai tsunami ekonomi yang mungkin akan terjadi lagi atau tetap diam saja tanpa membuat keputusan yang berarti, tentu saja ini semua berpulang kembali kepada kepemimpinan nasional kita.