Rabu, 12 Oktober 2011

Di Balik Langkah Drastis BI Menurunkan Suku Bunga

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Selasa 11 Oktober 2011 secara mengejutkan, Bank Indonesia, menurunkan BI Rate ke level 6.5% dari sebelumnya di level 6.75%. Hal ini adalah langkah pertama kalinya penurunan suku bunga di tahun 2011 sejak kenaikan BI Rate pada tanggal 4 Februari 2011 yang lalu.

Langkah ini tentu saja sangat mengejutkan pasar, para ekonom dan pengamat, dan bahkan kalangan bankir baik swasta nasional, swasta asing dan BUMN. Namun tidak semua kalangan terkejut dengan langkah ini. Ada beberapa yang bisa memperkirakan langkah ini, hanya saja semua terkejut karena ini terjadi sebelum tahun 2012, padahal beberapa kalangan perbankan asing memperkirakan penurunan BI rate akan terjadi di kuartal pertama atau kedua tahun 2012.

Namun langkah ini penting dan perlu dilakukan, karena BI kali ini harus lebih proaktif dalam mengantisipasi pasar. Terutama dalam mengantisipasi krisis global yang semakin memburuk dan membebani laju pertumbuhan dan pemulihan ekonomi. Karena dari perkiraan IMF, laju ekonomi global akan melambat menjadi hanya sekitar 4% saja, sementara target pemerintah pertumbuhan harus bisa mencapai 6.6%. Inflasi yang semula menjadi momok, justru akhirnya menjadi kekhawatiran terjadi deflasi.

Sebenarnya langkah berani BI ini, mengundang kerawanan tersendiri, di saat pasar sedang labil, dan para investor cenderung mengamankan asset dollar-nya. Hal ini dikhawatirkan oleh pasar dan juga pengamat dan para ekonom bisa melemahkan rupiah dan menggoyangkan kepercayaan investor.

Hanya saja sebenarnya pasar tidak perlu khawatir. Asalkan saja Bank Indonesia bisa dan mampu menjaga supply dollar di pasar dalam negeri, aktif mengontrol nilai tukar dan aktif menjaga kestabilan pasar surat berharga dan surat hutang negara sebagai standby buyer maka pasar masih bisa mentolerir langkah maju Bank Indonesia ini.

Dan nampaknya hal tersebut yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini, dari mulai aktif mengintervensi pasar surat hutang, melakukan stabilisasi valas dan juga menjaga supply dollar di pasar dalam negeri. Meskipun langkah mengintervensi pasar obligasi ini mengundang tanda tanya sebagian analisis pasar modal dan perbankan, karena dengan membailout pasar surat hutang, secara tidak langsung kita juga turut membailout investor asing yang sedang memegang surat hutang pemerintah Indonesia.

Namun demikian, langkah intervensi secara proaktif dari Bank Indonesia terhadap pembelian sejumlah surat hutang negara adalah dipandang penting oleh pemerintah sebagai keterlibatan pemerintah dalam menjaga confidence level dari pasar, sehingga para investor tidak panik dan menarik dananya beramai-ramai dari pasar surat hutang negara kita.

Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, harus tetap berhati-hati dan awas terhadap perkembangan yang terjadi di pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Karena situasi sekarang berubah secara cepat dan drastis, belum lagi situasi di pasar uang dan saham yang dipenuhi oleh sejumlah rumor yang turut memperkeruh suasana dan kestabilan pasar. Dengan demikian, kita harapkan semoga para pengambil keputusan tidak salah langkah dalam membuat kebijakan.

Jumat, 07 Oktober 2011

Kejatuhan Rating PIIGS, Quo Vadis Uni Eropa?

Jika masih ada pembaca yang ingat, bahwa kami pernah menuliskan artikel berikut ini “Eropa Pasca Kejatuhan Yunani dan Portugal“ tentu apa yang terjadi sekarang ini bukan hal yang aneh dan mengejutkan. Artikel yang kami tulis lebih dari setahun yang lalu itu, ternyata masih berujung panjang. Ternyata bantuan pinjaman dari Uni Eropa terhadap Yunani tidak menyelesaikan masalah, bahkan semakin lama semakin memberatkan keutuhan Uni Eropa sebagai suatu kesatuan Ekonomi.

Kemarin malam, bursa Amerika diterjang kepanikan, sesudah kredit rating sebagian besar negara-negara PIIGS (Portugal - Irlandia - Italy - Greek - Spain) yang merupakan kawasan Eropa Selatan diturunkan. Sebenarnya, para pemain bursa tidak perlu kaget atau panik, karena hal itu sudah jauh hari bisa diramalkan, sebab esensi terpenting dari suatu ketahanan ekonomi negara adalah pada kekuatan industrinya. Negara-negara anggota Uni Eropa yang bermasalah tersebut sudah lama sebenarnya kalah dalam perang industri. Praktis Industri di Eropa mayoritas dikuasai oleh Jerman, dan Perancis serta mungkin Inggris. Prancis sendiri sebenarnya tidak begitu kuat daya saing industrinya, akan tetapi industri finansialnya masih cukup kuat untuk menopang ketahanan ekonomi mereka.

Namun begitu orang sering melupakan hal-hal fundamental tersebut. Bahkan negara-negara yang tidak memiliki daya saing industri yang kuat itu, sering lupa diri dan menerbitkan surat hutang melampaui daya bayar mereka, ibarat orang memiliki kartu kredit kelas Infinite akan tetapi gajinya hanya kelas PTKP, jelas hal seperti ini bisa mengakibatkan kiamat ekonomi dalam keberlangsungan hidup suatu negara.

Lebih celaka lagi, jika negara-negara yang bermasalah itu terkait dalam suatu kesatuan tatanan ekonomi kawasan, yang melibatkan kerjasama kesatuan mata uang dan perdagangan antar negara. Akibatnya bisa ditebak, gejolak sedikit saja dari negara-negara itu bisa mengakibatkan guncangan yang sangat hebat dalam tata perekonomian kawasan tersebut.

Lantas apakah Uni Eropa masih bisa dipertahankan? George Soros sendiri skeptis dengan hal tersebut, karena jika dipaksakan menghindari default, justru akan meruntuhkan dunia secara keseluruhan. Kami sendiri juga tidak yakin jika Uni Eropa bisa bertahan. Mungkin sebagian besar perbankan Eropa masih bisa selamat (jika memang dana talangan perbankan mencukupi). Namun tidak dengan negara-negara yang bermasalah itu sendiri. Para pemegang surat hutang harus rela mengalami hair cut atas pinjaman yang mereka berikan. Bahkan mungkin pemutihan hutang, alias write off atas hutang tersebut. Dan sebagai gantinya, asset-asset berharga dari negara itu harus rela diambil alih oleh para pemegang surat hutang itu.

Dampak pemotongan peringkat hutang negara-negara Eropa yang terjadi semalam dan mengakibatkan guncangan atas bursa Amerika, walau kecil, kemungkinan hari Senin depan (10 October 2011) akan menimbulkan gejolak lagi terhadap bursa Asia. Walau tidak sehebat beberapa waktu yang lalu ketika bursa Indonesia sempat terjun bebas hingga -8.8%, namun mengakibatkan jangka pemulihan ekonomi menjadi jauh lebih panjang lagi.

Indonesia sendiri harus bersiap menghadapi hal terburuk, karena suntikan-suntikan likuiditas dipasar uang, surat hutang dan saham, tidak pernah menyelesaikan masalah secara tuntas. Karena esensi dasar dari perekonomian ada pada ketahanan industri baik pertanian, perikanan, manufaktur, perbankan dan lainnya. Jika negara-negara yang bermasalah itu mengalami de-industrialisasi, tentu solusinya bukan dengan cara suntikan likuditas, namun harus dengan cara menumbuh kembangkan industri itu sendiri.

Kita pernah mengalami gejala de-industrialisasi, meskipun belakangan industri dalam negeri kita sudah mulai pulih kembali, namun pasar dalam negeri kembali dirusak oleh para pelaku import illegal dan import secara membabi buta tanpa memperhatikan kekuatan ketahanan ekonomi dalam negeri. Apalagi ditambah oleh carut marut birokrasi kita yang menyebabkan RIM pun enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Walaupun pasar pengguna handset Blackberry kita adalah salah satu yang terbesar di dunia.

Sudah saatnya pemerintah berhenti untuk saling bersitegang antar departemen dan memperbaiki sikap birokrasi yang kaku. Korupsi dan tumpang tindihnya kebijaksanaan hanya menyebabkan negara ini semakin terpuruk, bukan tidak mungkin suatu saat kita bisa ikut terseret kasus default seperti yang dialami oleh banyak negara maju jika tidak segera berubah.