Minggu, 18 Maret 2012

Market Outlook 2012: Tantangan di tengah laju inflasi dan perlambatan ekonomi

Tidak terasa, tahun 2012 telah memasuki pertengahan bulan Maret, ketika di awal-awal tahun investor merasa cukup optimis, namun ancaman kenaikan harga minyak dunia dan perlambatan pemulihan ekonomi akibat krisis Eropa dan melambatnya perekonomian China berpengaruh luas dan berimbas juga ke dalam negeri Indonesia.

Kenaikan harga surat hutang Indonesia di tengah kenaikan peringkat investasi, ternyata tidak selamanya abadi. Menjelang akhir Februari 2012 banyak investor asing yang melepas kepemilikan SUN Indonesia secara terus menerus mengantisipasi kemungkinan kenaikan laju inflasi yang akan terjadi jika pemerintah benar-benar jadi menaikan harga bbm bersubsidi. Selain daripada harga surat hutang negara kita yang memang juga sudah kemahalan saat itu, dengan tingkat yield yang sudah tidak menarik lagi dibandingkan beberapa negara tetangga.

BBM bersubsidi sudah dipastikan sulit untuk tidak dinaikan, terlebih lagi buruknya sistem infrastruktur, transportasi dan distribusi bbm yang rawan oleh kebocoran, menyebabkan banyak terjadi penimbunan dan penyelundupan bbm keluar negeri selama bertahun-tahun dan sulit untuk diberantas. Apalagi yang namanya disparitas harga tentu saja selalu mengundang kebocoran quota baik karena ulah penyelundup dan penimbun maupun konsumsi masyarakat akibat buruknya infrastruktur dan sistem transportasi massal.

Upaya menekan gelembung kredit dengan mengubah struktur uang muka kredit, sebenarnya bagus-bagus saja, namun harus dipertimbangkan matang-matang, karena selain menekan pertumbuhan industri kendaraan bermotor dan properti, hal ini juga menimbulkan keresahan dalam masyarakat kita yang harus diakui masih berpenghasilan rendah.

Terlebih buruknya sistem infrastruktur dan transportasi massal yang memang masih jauh dari sempurna sehingga masyarakat enggan menggunakan sistem transportasi massal yang murah yang mana sebenarnya dapat menjadi katup pelepas ancaman inflasi.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global sendiri seharusnya dapat diantisipasi jika saja pemerintah kita tidak sibuk dengan politik pencitraan dan mengabaikan ancaman ekonomi biaya tinggi akibat buruknya sistem logistik nasional dan infrastruktur jalan raya dan transportasi umum selain daripada birokrasi yang berbelit dan penuh dengan korupsi.

Ancaman kenaikan bbm ini sendiri, tidak saja akan menekan pasar obligasi dalam negeri, namun juga pasar saham juga akan tertekan terutama industri-industri yang terpengaruh oleh kenaikan bbm dan laju inflasi. Termasuk di dalamnya sektor otomotif, sektor keuangan dan juga sektor properti.

Bantuan langsung tunai yang sekarang namanya sudah diubah, tidak akan banyak membantu, karena ibaratnya hanya memberikan ikan, bukan kail. Ini lebih cenderung kepada politik pencitraan saja, di tengah badai korupsi dan krisis politik dalam negeri. Salah satu media asing malah memberitakan investor mulai khawatir dengan stabilitas politik dan masa depan ekonomi Indonesia. (http://www.cnbc.com/id/46702066?)

Ini menjadi suatu tantangan yang harus segera dipecahkan, jika kita tidak dapat mengantisipasi masalah ini dalam waktu singkat, dipastikan ekonomi kita akan tertinggal lagi seperti saat pemulihan krisis asia tahun 1998 lalu, di mana Korea Selatan dan China melejit sementara kita cenderung tidak bergerak dan jalan di tempat sampai tahun 2005.

Kita jangan terburu-buru bangga dengan investment grade yang bertubi-tubi diterima, karena ada masalah-masalah mendasar yang hingga kini tarik ulur tidak selesai-selesai sejak jaman reformasi. Dari mulai persoalan birokrasi yang korup, lamban dan tidak efisien, infrastruktur yang buruk, transportasi massal yang buruk, logistik nasional yang berbiaya tinggi akibat buruknya sistem infrastruktur dan lain sebagainya.

Ini adalah pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan, dan tidak bisa ditunda-tunda lagi, mengingat umur pemerintahan sekarang kurang dari dua tahun lagi. Semoga saja masih ada kesadaran untuk mengubah keadaan.