Jumat, 14 Juni 2013

Ketika Kepercayaan Asing Mulai Hilang

Beberapa hari ini terjadi peristiwa yang sangat fantastis di bursa saham kita, indeks harga saham gabungan yang awalnya sempat menyentuh level tertinggi di 5210 sebulan yang lalu, mendadak sontak terjun bebas hingga sempat menyentuh di level terendahnya pada angka 4510 hanya dalam waktu sebulan.

Dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya, memang aksi selling besar-besaran di bursa efek Indonesia sedikit berbeda, meskipun negara-negara tetangga ada yang mengalami lebih parah, namun kondisinya berbeda sebab Indonesia nyaris meraih peringkat investment grade dalam waktu singkat. Untuk bursa emerging market, dengan peringkat sebaik Indonesia, kejatuhan sedalam itu tentu sangat mengkhawatirkan, karena artinya peringkat atau rating investment yang sebentar lagi akan diraih menjadi tidak ada artinya.

Persoalannya sebenarnya bukanlah terletak kepada pompaan stimulus yang akan segera berakhir dari negara-negara investor terutama dalam hal ini The Fed di Amerika Serikat, ataupun perlambatan prediksi pertumbuhan global, dan juga masalah di Tiongkok dan Jepang. Akan tetapi karena sikap pemerintah sendiri yang terkesan main-main dalam membuat komitmen kebijakan dan terutama dalam keseriusan pelaksanaannya.

Akibatnya ketika perekonomian global mengalami perlambatan, defisit neraca perdagangan semakin terpuruk, hal ini ditambah oleh semakin parahnya penyelundupan bbm ke luar negeri, korupsi yang terkait masalah-masalah import dan perdagangan terutama dalam hal pertanian, dan kekurangperdulian pemerintah dalam melaksanakan program-program pemercepatan pembangunan termasuk di antaranya MP3I.

Tengok saja masalah infrastruktur, pembangunannya seperti maju mundur jalan di tempat, banyak hal menjadi kendala, dari mulai korupsi, birokrasi yang berliku, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan janji swasembada pangan yang seperti janji-janji surga, malah justru menimbulkan kekacauan baik dalam hal import pangan maupun kemandirian untuk memajukan pertanian dan peternakan dalam negeri.

Memilih para menteri dari partai, juga adalah salah satu bentuk kegagalan pemerintah, partai tidak akan bisa menjalankan birokrasi, siapapun itu. Bahkan di jaman Soeharto sekalipun, beliau lebih memilih para profesional atau setidaknya birokrat yang sudah paham masalah di lapangan ketimbang menunjuk orang partai untuk menduduki jabatan-jabatan strategis seperti pertanian, telekomunikasi, kehutanan dan lain sebagainya, kecuali menjelang beliau jatuh baru para profesional tersingkirkan.

Sikap plin plan dalam menentukan kenaikan bbm pun menambah panjang daftar deret kegagalan pemerintah, sikap mau enak sendiri dalam melindungi nama baik dan pencitraan diri, harus ditembus oleh ketidakpercayaan investor asing, berbagai lembaga peringkat mulai bersiap-siap untuk melakukan down grade rating Indonesia, hal ini berakibat larinya sebagian dana asing ke tempat lain. Bahkan beberapa investor asing yang melakukan investasi secara langsung (Direct Foreign Investment) pun berencana memindahkan pabriknya ke negara lain karena keplin-planan pemerintah menghadapi aksi buruh, dan terutama semakin mahalnya biaya "pelicin" di tanah air, karena oknum-oknum yang semakin lama semakin mirip para preman dalam melakukan pemerasan terhadap para pengusaha baik lokal maupun asing.

Hal ini jika dibiarkan terus menerus, akan semakin memperparah keadaan, dan menyusahkan pemerintah sendiri dalam melakukan penataan keuangan negara terutama arus pembayaran hutang dan strategi menekan defisit perdagangan. Adalah tidak adil jika dalam hal ini rakyat yang selalu menjadi korban, sudah sepatutnya para politisi, koruptor, maupun pemerintah sendiri yang seharusnya membayar mahal atas segala perbuatannya.

Jangan heran jika nanti pada pemilu 2014, banyak partai yang harus menelan pil pahit kekalahan karena rakyat semakin cerdas dan semakin tahu siapa saja yang bisa dipercaya atau tidak. Anda bisa saksikan sendiri dilayar televisi, bagaimana setiap acara berita yang menampilkan komentar penonton selalu berisikan caci maki tidak sedap yang intinya menggambarkan kekecewaan mereka terhadap sikap pemerintah.

Semoga saja mereka-mereka lekas sadar dan berusaha memperbaiki keadaan sebelum segalanya terlambat, karena rakyat bisa saja tidak sabar dan memilih turun ke jalanan. Apalagi selama ini tidak pernah ada keadilan bagi rakyat kecil, sudah barang tentu pengadilan jalanan adalah hal yang tidak terhindarkan jika para pemimpinnya terlena oleh harta - tahta - dan kenikmatan duniawi.