Minggu, 24 Oktober 2010

Transfer Pricing antara Legalitas vs Etika Bisnis

Menyimak laporan di salah satu berita keuangan internasional (bloomberg.com) mengenai praktek transfer pricing yang dilakukan oleh Google Inc dengan menempatkan pendapatan perusahaan di negara-negara tax heaven, cukup membuat terkejut para praktisi keuangan. Karena bahkan perusahaan sebesar dan sekaliber Google pun melakukan praktek tersebut. Meskipun dikatakan bahwa praktek tersebut sah secara hukum, namun tidak secara etika bisnis.

Di negara-negara sekaliber Amerika Serikat pun praktek transfer pricing tetap merupakan dilema, karena meskipun dikategorikan praktek yang tidak etis, namun pada kenyataannya hampir semua perusahaan besar di Amerika melakukan hal tersebut.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Praktek transfer pricing di Indonesia belakangan mendapat perhatian serius dari kantor pajak, antara lain dengan diterbitkannya fasilitas pelaporan adanya hubungan istimewa antar perusahaan dalam form SPT PPh Badan, di mana berdasarkan UU no 17 tahun 2000 pasal 18 UU PPh hal tersebut diatur dalam hubungan khusus antar perusahaan di mana “Dirjen Pajak memiliki kewenangan mengatur kembali besaran penghasilan dan pengurangan serta menentukan besarnya utang dalam rangka penyertaan modal untuk menentukan besaran Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Lain sesuai dengan kewajaran dan kelaziman bidang usaha lain yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa”.

Ini jelas menandakan bahwa Indonesia pun tidak menginginkan terjadinya Transfer Pricing, walaupun dalam praktek di lapangan banyak sekali perusahaan-perusahaan besar melakukan hal tersebut.

Lemahnya tata cara pemungutan dan pengawasan perpajakan di lapangan, menimbulkan terjadinya anggapan sah praktek transfer pricing bagi para stakeholder maupun bagian keuangan di perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga hal tersebut perlu mendapatkan reformasi yang cukup serius dari depkeu selaku induk dari direktorat jenderal pajak.

Benar kita sebagai pelaku bisnis harus memikirkan bagaimana cara mengurangi risiko ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan penghasilan usaha. Namun di sisi lain, kita harus tetap concern terhadap masalah-masalah etika bisnis.

Kelemahan kebanyakan manajemen / pimpinan di perusahaan adalah karena tidak mampu melakukan simulasi cost secara optimal sehingga bisa didapat efisiensi biaya tanpa harus melakukan praktek transfer pricing. Sebab penekanan biaya bukan hanya berbicara mengenai hitung-hitungan angka semata namun juga proses bisnis secara keseluruhan baik dari mulai sisi operasional, pemasaran, sumber daya dan lain sebagainya.

Di sisi lain, budaya praktek sogok-menyogok dalam rangka memenangkan suatu tender maupun biaya premanisme di lapangan dalam pengerjaan suatu proyek merupakan hal yang tidak terhindarkan. Dalam hal ini, pemerintah sendiri harus konsisten, karena masalah transfer pricing bukan hanya masalah pajak semata, namun juga terkait dengan masalah rasa aman dan nyaman berbisnis selain juga ketersediaan infrastruktur ekonomi yang masih jauh dari memadai.

Yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah, memerangi praktek transfer pricing bukan hanya berbicara mengenai keuntungan perusahaan yang disembunyikan atau dipindahtangankan, namun juga bagaimana menyikapi permasalahan ekonomi biaya tinggi di tanah air sehingga para pelaku bisnis tetap mampu mendapatkan keuntungan yang maksimal tanpa harus melakukan perbuatan tercela.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar