Selasa, 29 Juni 2010

SCOR Sebagai Salah Satu Panduan Dalam Mendesain Supply Chain

Di banyak perusahaan, apakah itu manufakturing, jasa logistik, distributor, supplier, sering terjadi kesalahan persepsi mengenai penggunaan dan pemanfaatan sistem IT dalam mengoptimalkan proses supply chain di perusahaan.

Penggunaan software dan sistem IT yang mahal yang dimaksudkan untuk membantu proses kerja supply chain sering berakhir dengan kekecewaan akibat jutaan dollar telah dikeluarkan namun hasilnya tidak sebanding dengan maksud investasi kalau tidak bisa dibilang gagal dan rugi besar.

Padahal dalam mengoptimalkan proses dari Supply Chain, permasalahan bukan pada seberapa canggih software ERP dan sistem IT yang anda pergunakan, namun pada kesalahan desain organisasi dan proses dari Supply Chain itu sendiri.

Organisasi-organisasi perusahaan yang masih berbentuk tradisional seperti mengikuti desain SILO Organization jelas bukan tujuan dari implementasi ERP. Apalagi kalau proses supply chain dalam perusahaan itu sendiri masih amburadul dan banyak terjadi konflik kepentingan.

Setidaknya suatu model bisnis harus sudah memiliki desain organisasi yang berorientasi pada proses kerja dan fungsi secara terintegrasi baru bisa menerapkan ERP. Itupun mereka sebaiknya di desain mengacu kepada standar baku SCOR (Suppy Chain Operation Reference model).

Dalam tulisan saya di awal-awal saya menulis di Kompasiana yakni mengenai ACFTA tantangan dan peluang menuju World Class Player (http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/02/11/acfta-tantangan-peluang-dan-menuju-world-class-player/) saya pernah menyinggung sedikit mengenai penerapan Supply Chain berbasis SCOR 9.0 sebagai salah satu upaya mengoptimalkan kinerja bisnis. Sementara itu berdasarkan perkembangan waktu SCOR sudah meningkat ke level SCOR 10.0 Reference Model.

Dasar dari tujuan SCOR sendiri bukan kepada penerapan ERP, namun lebih kepada evolusi dalam pembangunan keahlian, standarisasi dari definisi keahlian, sumber daya-sumber daya, dan terakhir adalah kriteria dari kinerja (baik individual maupun organisasi).

Salah satu bagian dari pencapaian SCOR adalah tingkat keberhasilan dalam penerapan standar ISO di lingkungan perusahaan (baik secara certified maupun non certified). Yang dimaksud non certified adalah proses kerja dalam perusahaan yang mengacu kepada kriteria ISO tanpa harus di audit oleh konsultan ISO itu sendiri.

SCOR sendiri dalam penerapannya mencakup proses Supply Chain Optimization and Re-Engineering, Re-Organization, Design Process of Organization, Strategic Development, Merger, Acquisition, Divestiture, Standardization, Streamlining, Management Alignment, New Business Start Up, Benchmarking, Process Outsourcing. (http://supply-chain.org/about/scor/how/can/scor/help)

Di kalangan pemegang merek terkenal yang rata-rata melakukan outsource pekerjaan manufaktur kepada mitra OEM (Original Equipment Manufacture) mereka, belum sepenuhnya berhasil dalam menerapkan SCOR ini secara baik dan benar. Hal ini karena keterbatasan sumber daya manusia yang memadai, baik dikalangan pemegang brand itu sendiri maupun mitra OEM mereka. Hal ini dikarenakan pemegang merek umumnya hanya melakukan kerja pemasaran, distribusi dan logistik, sementara untuk urusan antara pabrikan dan supplier adalah tanggung jawab mitra OEM mereka. Padahal SCOR mencakup whole process in industry. Sehingga membutuhkan komunikasi dan kerjasama yang baik.

Lantas dengan demikian, apakah SCOR ini adalah suatu kemustahilan? Tidak demikan, karena banyak sudah perusahaan yang berhasil dalam penerapan SCOR ini. Dari mulai Energy Company, Oil & Gas Company, Aerospace, Reverse Logistics, Automotive, Software Industry dan lain sebagainya.

Untuk mempelajari dan menerapkan SCOR ini lebih mendalam anda bisa mencoba melihat-lihat terlebih dahulu di website Supply Chain Council (http://supply-chain.org/).

Semoga bermanfaat

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Mewaspadai Bahaya Bubble dalam Ekonomi Kita (update)

Dalam dua hari terakhir ini, bursa kita dilanda aksi tekanan jual yang cukup kuat, di tengah semakin menipisnya transaksi saham di pasar modal. Meskipun kemarin selamat, tapi hari ini tidak demikian, bursa kembali melemah ke bawah level 2900.

Sebenarnya apakah benar isyu-isyu bahwa bursa dan ekonomi kita tengah mengalami bubble seperti yang pernah dilontarkan beberapa pihak termasuk salah satu lembaga keuangan asing?

Mari kita pakai cara bodoh untuk menghitungnya:

Desember 2009 IHSG berada pada posisi sekitar 2500an, setelah rally cukup panjang dari angka 1300 di awal-awal tahun. Kenaikan mencapai 90% lebih pada tahun 2009. Namun sepanjang tahun 2010 sejak awal January hingga pertengahan tahun (Juni) Indeks hanya mampu menyentuh sebentar pada level 2996.42 pada tanggal 4 Mei 2010 sesaat saja. Padahal awal tahun di buka pada angka 2533.95 pada tanggal 4 Januari 2010. Atau hanya menguat tertinggi sebesar sekitar 18% saja.

Sementara, jika kita menengok ke floor limit dari Reksadana Campuran Fortis Equitra yang memakai metode best effort dan prinsip prudent dalam berinvestasi, maka limit floor nya ada pada angka 2554.19 sementara NAB terakhir pada website nya ada pada angka 2752.49 yang berarti selisih antara floor limit dengan pencapaian investasi hanya terpaut sekitar 7.76% saja. Sebuah angka yang sangat tipis untuk bisa dibilang rally kenaikan. Artinya sang manajer investasi mulai berhati-hati terhadap kemungkinan pembalikan arah bursa.

Sementara dari sisi ekonomi, kenaikan laju inflasi akibat kenaikan harga sayuran (termasuk bawang), kenaikan TDL, apresiasi Yuan, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi RRC, membuat tekanan terhadap perlambatan ekonomi semakin kuat.

Di sisi lain, spekulasi terhadap properti di dalam negeri semakin gila-gilaan, bahkan penjualan project apartement mewah dari salah satu developer terkemuka mencapai rekor angka pertumbuhan penjualan yang sangat fantastis (disertai kenaikan harga unit tentunya).

Meskipun dari sisi industri otomotif, kenaikan penjualan otomotif pada semester ini menunjukan tanda-tanda pertumbuhan yang signifikan, akan tetapi kondisi ekonomi global sendiri kurang kondusif untuk mendukung gelembung pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus.

Jepang sendiri sebagai negara yang secara ekonomi cukup kuat, dikejutkan oleh peningkatan angka pengangguran yang cukup signifikan. Padahal mereka telah mati-matian berusaha memperbaiki ekonomi negara mereka dengan berbagai paket stimulus dan kebijakan ekonomi.

Begitupun hal nya dengan berbagai sumber pemberitaan ekonomi di seluruh dunia, dari mulai Yahoo Finance (http://finance.yahoo.com/news/Stocks-skid-on-renewed-fears-apf-3481581188.html?x=0&sec=topStories&pos=main&asset=&ccode=) yang menyatakan ketakutan terhadap perlambatan ekonomi global dan jatuhnya indeks kepercayaan konsumen. Laporan dari Bloomberg yang menyatakan kekhawatiran terhadap ekonomi RRC dan meningkatnya spekulasi di pasar treasuri (http://www.bloomberg.com/news/2010-06-29/asian-stocks-fall-to-two-week-low-yen-strengthens-on-china-growth-concern.html). Sementara dari CNBC sendiri menyatakan indeks kepercayaan konsumen runtuh dilanda kekhawatiran akan kemungkinan naiknya angka pengangguran (http://www.cnbc.com/id/37994762)

Tulisan ini tidak dibuat untuk menakut-nakuti ataupun membuat cemas, namun sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam menetapkan langkah-langkah strategis yang harus di ambil baik dalam kebijakan strategis perusahaan maupun keputusan berinvestasi. Masalah apakah benar akan terjadi double dip recession atau justru economic recovery, itu bergantung kepada keputusan pemerintah baik pemerintah kita maupun para pemimpin ekonomi dunia lainnya.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Senin, 28 Juni 2010

Relationship Manager Industri Wealth Management antara Sales Vs Konsultan Keuangan

Dalam acara reuni salah satu SMA semalam di salah satu Cafe murah meriah dekat rumah, ada sejumlah perbincangan menarik di antara beberapa rekan alumni yang kebetulan bekerja di industri keuangan, ada yang kebetulan memegang divisi Wealth Management pada spesialisasi Bancassurance ada juga yang memegang spesialisasi pada Financial Planner Konsultan dan lain sebagainya.

Perbincangan ngalor ngidur itu menyangkut pada beberapa standard profesi yang di ikuti rekan-rekan, ada yang mengedepankan IARFC (International Association of Registered Financial Consultants) ada juga yang lebih memilih soal CWM/CWA (Certified Wealth Manager / Advisor) dan lain sebagainya sesuai kebutuhan masing-masing industri yang digeluti.

Namun dibalik semua standar profesi dan title pekerjaan tersebut, ada satu poin penting yang selalu menjadi momok para Financial Planner maupun Relationship Manager, yakni Sales Target.

Terkadang ketakutan akan target penjualan ini, tidak jarang banyak para relationship manager yang melanggar etika bisnis, dari mulai kurang jelas memberikan informasi kepada calon nasabah / investor, hingga misleading informasi.

Hal ini bisa dimaklumi, karena umumnya untuk mencapai posisi Relationship Manager di Industri Wealth Management bergengsi, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, seperti minimum investment placement sebesar 100 000 USD dari para nasabah, jumlah nasabah yang minimum harus di layani dan lain sebagainya. Ada juga perusahaan yang tidak menargetkan jumlah nasabah, namun memaksa RM (Relationship Manager) yang bersangkutan agar terus memompa sang investor untuk menambah penempatan dana nya atau setidaknya memaintain jumlah dana agar tidak berkurang meski seandainya sang investor menempatkan dana di pasar saham / reksadana saham sudah pasti nilai investasinya akan melorot jika kondisi market sedang tidak bagus.

Padahal selain beban sales, para Relationship Manager juga dituntut untuk tetap menjunjung tinggi etika profesi dan juga nilai-nilai luhur etika bisnis. Jangan sampai perannya sebagai seorang Financial Advisor yang netral tercemari oleh target pemasaran yang tinggi.

Kasus-kasus sengketa antara nasabah dari level prime customer / wealth management, dengan industri perbankan, sangat jelas dan transparan menunjukan pelanggaran kode etik ini. Dari mulai masalah misleading informasi soal transaksi derivatif, hingga ketidaktransparanan soal risiko dan bahaya investasi KPD (Kontrak Pengelolaan Dana). Bahkan ada salah satu bank yang dituduh misleading soal informasi produk KPD dengan menjualnya seolah sebagai deposito.

Faktor penilaian etika bisnis dan profesi pada uji kecakapan standar profesi terkadang tidak bisa menjadi jaminan, karena pada akhirnya yang menentukan adalah pribadi yang bersangkutan. Oleh karena itu perusahaan harus juga bertanggung jawab terhadap pelanggaran atau penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para Financial Planner nya.

Tentu saja pencegahan adalah hal terbaik, antara lain dengan lebih mengedepankan fungsi utama seorang Relationship Manager sebagai Problem Solver dan Solution Maker dan juga pentingnya peran pengawasan dalam industri tersebut. Seringkali kenyataan di lapangan menunjukan perusahaan terkadang tutup mata terhadap berbagai pelanggaran, yang penting target tercapai. Hal ini sebenarnya sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis perusahaan itu sendiri.

Semoga di masa depan, profesi Wealth Manager bukan lagi mengedepankan sales target tapi juga nilai-nilai etika bisnis dan juga sebagai konsultan yang baik dan netral terhadap berbagai produk investasi yang dijual.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Jumat, 04 Juni 2010

Antara Bisnis Vs Main Saham

Beberapa waktu yang lampau seorang teman pernah melontarkan pendapat, main saham lebih untung daripada berbisnis. Terus terang saya tidak setuju. Meskipun saya sering keluar masuk pasar saham dan kadang-kadang bermain surat hutang negara, tapi saya tidak setuju dengan pendapat tersebut.

Pada kenyataannya di antara jajaran orang terkaya dunia, hanya Warren Buffet seorang yang berhasil duduk di ranking lima besar orang terkaya dunia. Sisanya ya para pengusaha itu. Dari mulai Bill Gates, hingga billionaire Carlos Slim Helu dari Mexico.

Pada kenyataannya main saham itu lebih mirip judi, meskipun anda telah menggunakan seluruh keahlian membaca grafik dan analisa fundamental secara serius, toh hal tersebut tidak menjamin anda tidak rugi secara signifikan. Dan para pemain saham di bursa toh tidak punya kekuatan hukum untuk menggugat bagiannya jika perusahaan yang sahamnya mereka pegang mendadak bangkrut. Masih lebih baik posisi para pemegang obligasi, bisa menuntut hak-haknya melalui proses kepailitan.

Berbeda dengan bisnis, setidaknya jika anda pelaku bisnis produk, ada barang yang masih bisa dipegang dan mungkin disimpan dalam waktu lama sebelum kondisi ekonomi membaik lagi. Atau jika bisnis jasa setidaknya masih bisa mengajukan suntikan modal kerja dan perbaikan manajemen untuk memperbaiki performa bisnis anda.

Meskipun baik saham dan bisnis murni keduanya sama-sama terpapar oleh risiko kebangkrutan, tapi tentu saja bisnis masih bisa dibaca ancang-ancang kebangkrutannya. Berbeda dengan saham, di mana Warren Buffet sendiri pada pemeriksaan oleh pemerintah AS, mengakui salah prediksi nilai mortgage yang berakhir dengan krisis subprime mortgage dan berlanjut menjadi krisis global.

Bahkan Profesor Damodaran sendiri, pakar dari ilmu Valuation, mengakui bahwa penilaian saham masih bisa salah dan bahkan tidak menjamin ketepatan prediksi secara mutlak. Sebagai contoh, saham-saham tambang, harganya sangat fluktuatif tergantung prediksi harga futures komoditi yang dieksplorasinya tersebut. Bisa saja hari ini harga saham tambang batu bara nilainya 8000 besoknya terjun bebas menjadi 600, dan lagipula siapa yang bisa dipersalahkan? Semuanya tergantung daripada ekspetasi pasar akan nilai komoditas yang menjadi underlying value harga sahamnya.

Memang jika dimanage secara benar, investasi pada saham bisa menguntungkan, akan tetapi dengan semakin maraknya illegal robotics trading dalam berbagai bursa dunia, hal ini semakin tidak sehat bagi kelangsungan bisnis saham. illegal robotics trading ini lebih berbahaya ketimbang bandar profesional tradisional yang biasa menggoreng saham melalui mekanisme manual, robot-robot ini bisa melakukan trading saham 100 kali lebih cepat ketimbang manusia biasa sehingga gerakannya tidak terbaca bahkan oleh otoritas bursa sekalipun. Akibatnya aksi goreng-menggoreng saham terlihat menjadi mirip aksi perdagangan saham biasa yang tidak mencurigakan.

Tapi semuanya ya berpulang kepada anda sendiri, mau memilih yang mana, trading saham toh tidak ada bedanya dengan trading sembako ataupun jual beli barang di pasar. Meskipun tentu saja masih lebih baik berdagang di pasar tradisional karena memberikan efek nyata dalam pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Selasa, 01 Juni 2010

Krisis Global, Ancaman Depresi Global 2, dan Perang Dunia 3

Great Depression yang di awali oleh kejatuhan Wall Street pada tahun 1929 dan berlanjut pada rontoknya ekonomi dunia hingga 1939, memicu bangkitnya perang dunia ke dua pada tahun 1939 hingga 1945 sebagai akibat dan solusi atas berlarut-larutnya penyelesaian krisis. Kala itu Hitler bangkit sebagai simbol kebangkitan Jerman atas keterpurukan ekonomi dan kepemimpinan nasional Jerman.

Krisis Global pada masa kini yang di awali dengan kejatuhan peringkat hutang Subprime Mortgage di Wall Street pada Agustus 2007 terus berlanjut dan saling bersahut-sahutan di seluruh penjuru dunia, dari mulai rontoknya peringkat hutang Dubai World sehingga mengakibatkan kolapsnya pasar property di Dubai, berlanjut pada rontoknya peringkat Surat Hutang Yunani, Spanyol, Portugal, Italia, dan Irlandia sehingga memicu kolapsnya pasar modal Eropa dalam tempo singkat.

Krisis ini masih akan berlanjut terus, meskipun Eropa telah membailout surat hutang pemerintah Yunani, karena rontoknya Yunani telah merembet ke seluruh Zona Ekonomi Eropa Selatan, bahkan menimbulkan guncangan dahsyat pada Ekonomi Great Britain dengan tumbangnya nilai Poundsterling terhadap mata uang US Dollar ke level 1.4 dari sebelumnya di level 1.7

Hal ini karena apa yang dilakukan oleh IMF dan Central Bank of Europe masih jauh dari sumber utama masalah kebangkrutan Eropa, yakni gaya hidup yang tidak produktif. Hutang itu hanyalah salah satu faktor saja, produktifitas adalah kunci utama. Tanpa produktifitas, konsumerisme adalah masalah besar yang bisa membawa kiamat ekonomi.

Bangkitnya kekuatan nuklir Korea Utara sebagai jawaban dari krisis ekonomi di dalam negeri dan adanya sejumlah embargo ekonomi, memicu ketegangan lebih besar lagi saat dunia tengah bergejolak oleh isu depresi global. Insiden tenggelamnya kapal perang Korea Selatan yang dituduh karena ulah dari kapal selam Korea Utara semakin menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar. Apalagi pihak sekutu tidak melibatkan China sebagai tim pencari fakta, padahal China dengan kekuatan mesin perang nuklir dan ekonomi raksasanya adalah pihak yang dianggap bisa menjadi penengah dan terutama suaranya lebih diperhitungkan oleh Korea Utara yang memang belakangan lebih banyak mendapatkan bantuan dari negara tirai bambu itu.

Lebih gilanya, pemerintah Amerika Serikat, justru ikut-ikutan membuat situasi dunia semakin memanas dengan bersikap agresif terhadap kebangkitan kekuatan nuklir Iran dan krisis politik yang berlarut di timur tengah. Padahal Amerika sendiri sedang dirundung oleh masalah ekonomi yang tidak ada habis-habisnya. Angka pengangguran yang masih naik turun dan berharap banyak dari program stimulus fiskal justru cenderung terabaikan dengan adanya lobi-lobi tingkat tinggi di kalangan bisnis dan pemerintahan.

Meskipun menurut harian Asian Wall Street Journal pagi ini, angka Manufaktur di China pada laporan bulan Mei menunjukan kemajuan, begitupula dengan ekspor dari Korea Selatan yang menanjak naik seiring dengan semakin bersinarnya Consumer Price Indeks sejak Oktober tahun lalu (2009), namun hal ini tidak seketika menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi para investor.

Terbukti bursa-bursa di kawasan Asia masih naik turun seperti roller coaster, tarik ulur ragu-ragu menghadapi gejolak politik dan ekonomi yang terus bergerak secara dinamis.

Jika gejolak krisis ini terus berlanjut hingga hitungan di atas lima tahun (saat ini sudah mendekati tahun ke tiga sejak krisis Subprime Mortgage Agustus 2007) maka ancaman perang dunia ke tiga bukanlah sesuatu yang mustahil. Thailand sendiri sudah bergolak sejak lesunya ekonomi di negara itu tahun 2007, dan menurut analisa akan terus semakin bergolak pasca kerusuhan Mei 2010 lalu. Begitu juga dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan zona ekonomi Eropa yang menghadapi sejumlah aksi para buruh yang menuntut perbaikan hidup sementara pemerintah mereka kewalahan menghadapi tekanan ekonomi global.

Masalah ini sebenarnya bisa diselesaikan jika para pemimpin dunia bersikap arif dan bijaksana dan cepat mengatasi krisis global dengan kebijakan yang tepat. Free Trade Agreement dalam berbagai bentuk seharusnya dipikirkan ulang, karena memang berpotensi menghancurkan negara yang lemah dalam ketahanan ekonomi. Gaya hidup yang borjuis dan kapitalis juga seharusnya dikurangi dan lebih fokus kepada sikap hidup yang produktif, hemat, prihatin dan rendah hutang.

Kebijakan negara juga seharusnya lebih proaktif terhadap kemajuan ekonomi rakyat kecil entah itu keringanan kredit SME (Small Medium Enteprise) / UKM dan UMKM, dukungan terhadap lembaga koperasi, pemberdayaan BUMN agar lebih pro rakyat dan efisien serta efektif dalam kinerjanya, serta berbagai kebijakan yang bertujuan meningkatkan sektor ekonomi mikro.

Pembatasan import komoditas juga mutlak dan perlu, adalah gila dan keterlaluan jika pemerintah sampai melakukan impor garam, bagaimana bisa kita malah membunuh sektor usaha milik para petani garam di Madura? Begitu juga dengan impor beras dan gula, justru kita harus mensubsidi habis sektor pertanian dan perkebunan rakyat, entah subsidi pupuk dan lain sebagainya. Jangan sampai kebijakan makro justru menjadi monopoli kartel dagang asing maupun konglomerat hitam dalam negeri. Karena jika kita membiarkan praktek busuk ini terus terjadi, kita pun akan terkena imbas gejolak krisis politik yang sudah terjadi di banyak negara sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkelanjutan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker