Jumat, 06 Mei 2011

Sisi Kelam Quantitive Easing dan Ancaman Tsunami Ekonomi

Hancurnya sistem finansial global pada krisis subprime mortgage yang di awali pada kejatuhan di bulan Agustus 2007 dan menjadi krisis ekonomi global di tahun 2008 hingga awal 2009, bukanlah merupakan akhir dari krisis yang pertama kali harus dialami ataupun terakhir kali dialami.

Krisis demi krisis ini hanya merupakan gelombang demi gelombang badai tsunami ekonomi yang semakin membesar dan pada akhirnya bisa menghancurkan seluruh tatanan perekonomian dunia jika tidak disikapi secara bijaksana dan hati-hati.

Program penyelamatan asset-asset keuangan di pasar modal dengan penyuntikan uang secara besar-besaran melalui program Quantitive Easing tahap pertama, bisa dibilang bisa meredam kejatuhan pasar modal dunia ke dalam jurang yang lebih dalam. Namun hal tersebut tidak pernah menyelesaikan masalah yang ada.

Tindakan tersebut hanya sekedar mengobati luka, bukan menyelesaikan akar masalah dari sistem perekonomian yang semakin menderita ketergantungan kepada paper asset dan pengelembungan asset-asset secara fiktif.

Penggelontoran paket stimulus fiskal melalui program Quantitive Easing tahap kedua, dengan tujuan dan maksud agar pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat melalui cetak jutaan dollar setiap hari ke pasar finansial, hanyalah upaya memperpanjang nafas sesaat.

Pada intinya ada masalah-masalah yang tidak pernah terselesaikan dalam paket-paket kebijakan tersebut, antara lain, perubahan gaya hidup dan kebangkitan industri riil secara besar-besaran. Yang ada uang-uang tersebut justru menjadi senjata amunisi guna membanjiri pasar finansial di negara-negara berkembang dan senjata spekulasi di pasar komoditas global.

Akibatnya harga minyak dunia kembali terbang ke atas level USD 100-an/barrel selama berbulan-bulan dan harga emas serta berbagai komoditas lainnya termasuk pangan menggelembung ke tingkat yang sangat mengerikan dan membawa dampak inflasi global yang menggerogoti sektor keuangan dan industri di banyak negara termasuk negara-negara dunia ketiga yang menerima banjir uang tersebut.

Nilai tukar dollar sendiri semakin merosot dari hari ke hari, seperti yang pernah kami tuliskan sebelumnya, mata uang ini menjadi semakin tidak populer dan mulai ditinggalkan oleh banyak negara. Hal ini terbukti ketika Russia, Thailand, dan Meksiko beramai-ramai membeli emas sebagai cadangan devisa dalam jumlah yang sangat fantastis mencapai 6 milyar dollar lebih.

Hal ini membawa The Fed sebagai pihak yang dinilai banyak kalangan paling bertanggung jawab terhadap program paket quantitive easing menjadi gamang dan pusing tujuh keliling. Di satu sisi, menyetop program stimulus fiskal dan pengelontoran jutaan dollar ke pasar finansial, akan membawa akibat kemandekan ekonomi karena dunia (tidak hanya Amerika) akan mengalami krisis likuiditas. Namun di sisi lain, cetak uang secara masif juga menjatuhkan dunia ke dalam jurang inflasi berkepanjangan dan krisis komoditas. Walaupun pasar saham menjadi bergerak, namun justru pasar riil tidak terlalu banyak terbantu karena pengangguran tetap merajalela dan ekonomi hanya bergerak sedikit.

Isu kemungkinan akan dinaikannya suku bunga segera saja merontokan harga komoditas baik emas maupun minyak dan perak secara signifikan, dengan pengecualian bahwa jatuhnya harga perak lebih banyak karena kenaikan fasilitas margin, yang membuat banyak spekulan kelas teri terpaksa keluar dari pasar karena takut gulung tikar karena kurang modal.

Isu ini hanya akan terus berputar-putar di sekitaran pasar finansial, namun dengan dampak rontoknya satu per satu industri riil. Karena tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan dalam proses pemulihan ekonomi ini adalah adanya pasar tenaga kerja yang cukup dan industri riil yang dapat menampung baik tenaga kerja maupun berproduksi secara masif guna mencukupi kebutuhan konsumen.

Sebab yang namanya proyek-proyek pembangunan infrastruktur hanyalah bersifat sementara, begitu pula dengan berbagai pekerjaan sementara yang diciptakan hanya untuk meredam angka pengangguran, karena begitu stimulus ekonomi ini berakhir, dan mereka tidak bisa diserap oleh pasar, maka yang terjadi justru angka pengangguran akan kembali membengkak dan krisis kembali berulang. Kalaupun banyak yang mengatakan angka pengangguran telah berhasil diturunkan, itu hanya sementara, pada kenyataannya, banyak yang tidak mau melamar kerja karena sudah putus asa akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan yang layak.

Celakanya dengan Indonesia, kita terpukau oleh gelontoran uang panas hasil stimulus dari negara lain, dan sudah bangga dengan indikator-indikator semu. Sementara industri riil kita menjerit akibat banjir barang dari negara lain, dan lebih parahnya, daya saing industri dalam negeri semakin merosot, baik karena kurangnya modal, infrastruktur yang buruk, proteksi industri yang memadai dan lain sebagainya termasuk juga impor-impor illegal dari berbagai negara yang masuk melalui jalur-jalur yang dikuasai oleh oknum-oknum tertentu.

Sementara itu angka pengangguran tidak juga berhasil diredam ke tingkat yang relatif aman. Semakin hari angka kejahatan semakin meningkat, premanisme semakin meningkat, dan korupsi serta pemerasan oleh aparat maupun oknum-oknum birokrat semakin meningkat.

Sedikit demi sedikit mulai banyak pabrik yang gulung tikar, ataupun melakukan perumahan karyawan, padahal bulan puasa dan lebaran sudah di depan mata, lebih celakanya lagi, uang panas itu kemungkinan akan pulang kembali ke negara asalnya dalam waktu dekat, sehingga krisis semakin tidak terhindarkan. Walaupun ada kemungkinan paket stimulus QE3 akan segera digelontorkan saat paket QE2 berakhir bulan Juni, namun tetap ada jeda waktu di mana uang panas itu harus kembali dulu ke negara asalnya.

Saat ini, Indonesia hanya benar-benar ketergantungan dari industri pasar modal dan industri kreatif yang walaupun masih kecil namun mulai menunjukan geliatnya. Sementara industri manufaktur dan pangan masih menunjukan tanda-tanda yang kurang menggembirakan. Jangan ditanya soal industri transportasi dan logistik yang mengalami pukulan paling hebat, terutama karena kenaikan harga minyak dan kacaunya infrastruktur transportasi dan logistik.

Apakah kita ke depannya akan melakukan perubahan demi mengantisipasi badai tsunami ekonomi yang mungkin akan terjadi lagi atau tetap diam saja tanpa membuat keputusan yang berarti, tentu saja ini semua berpulang kembali kepada kepemimpinan nasional kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar