Sidang pembaca yang terhormat, tidak terasa kita telah menapaki minggu-minggu terakhir di bulan Oktober 2012. Namun krisis global masih jauh dari kata usai, berlarutnya krisis Eropa dan memanasnya situasi di kawasan Timur Tengah dan Asia Raya serta perlambatan ekonomi di Tiongkok telah semakin menyulitkan kondisi perekonomian dunia.
Hingga saat ini kondisi bursa maupun pertumbuhan bisnis mengalami perlambatan di hampir segala bidang. Bahkan untuk sektor konsumsi yang diperkirakan masih cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi sekalipun mulai terasa sesak, selain karena kuatnya permintaan kenaikan upah buruh, juga karena ancaman kenaikan tarif listrik dan gas untuk industri. Padahal konsumsi masyarakat tanpa terasa perlahan-lahan mulai menurun. Walaupun belum sampai terukur, namun setidaknya mulai timbul kekhawatiran akan ancaman krisis yang akan semakin berlarut-larut sehingga banyak industri elektronik dan pakaian dan pedagang menurunkan stok barang dengan melakukan obral maupun diskon serta terus menerus beriklan.
Sementara permintaan ekspor semakin menurun, karena pasar Eropa sudah tidak lagi mampu menyerap kelebihan produksi dari negara lain, di sisi lain Jepang dan Tiongkok pun sudah mulai mengurangi impor dari negara-negara tetangga.
Ramalan perdagangan antara Timur dengan Selatan pun nampaknya semakin tidak lagi relevan, karena ternyata bukan hanya negara-negara Eropa saja yang mengurangi impor, negara-negara di kawasan Amerika Selatan pun juga demikian, bersikap sama seperti negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Timur.
Lebih mengerikannya lagi, dari kawasan Eropa, nampaknya Jerman sudah berada di ujung jurang resesi, setelah sebelumnya Perancis sudah terlebih dahulu jatuh ke dalam resesi akibat semakin melemahnya pertumbuhan ekonomi kawasan. Saat ini demonstrasi anti PHK sudah menjadi pemandangan yang biasa di Perancis, di khawatirkan, menjelang musim dingin, Jerman pun akan segera menyusul dengan serangkaian program penghematan maupun restrukturisasi.
Bank Indonesia sendiri saat ini berada dalam posisi serba salah, dengan ekspor yang semakin melemah, impor semakin deras masuk, dan konsumsi domestik yang harus dijaga agar jangan sampai terjadi bubble, menyebabkan pemerintah tidak dapat berbuat banyak. Menahan suku bunga serta berusaha membuat regulasi-regulasi adalah jalan yang masih bisa dilakukan namun tidak akan berimbas banyak.
Di sisi lain, pembangunan dan pembenahan infrastruktur serta perbaikan birokrasi masih berjalan sangat lambat. Sehingga ekonomi berbiaya tinggi tetap merupakan masalah yang sulit diatasi hingga saat ini dan membebani sektor usaha baik skala besar maupun kecil. Padahal jika pemerintah bisa dengan cepat membenahi hambatan-hambatan pembangunan, maka tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi bisa dikurangi dan pertumbuhan ekonomi bisa menjadi lebih baik lagi.
Hal ini akan menjadi batu sandungan bagi target pertumbuhan ekonomi di tahun depan (2013) baik dari sisi bisnis maupun penerimaan negara dari sektor pajak. Intensifikasi perpajakan dengan segala cara, tidak akan berdampak banyak jika sektor usaha tertekan, para pemilik modal akan memilih untuk menutup usahanya ataupun merelokasi ke negara lain jika perekonomian makro memburuk dan terus-menerus diganggu oleh demonstrasi buruh. Padahal saat ini, harapan kita hanya tinggal kepada sektor dalam negeri saja. Ini menjadi hal yang sangat krusial dalam menentukan arah kebijakan makro pembangunan tahun depan.
Semoga para petinggi negara ini bisa lebih bijaksana dan berhati-hati dalam menjalankan amanah rakyat terutama dalam membangun kebijuakan ekonomi serta implementasinya di lapangan, karena jika tidak, hanya dengan satu riakan krisis tambahan di luar negeri, kita pun bisa ikut terhantam keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar