Di banyak perusahaan, apakah itu manufakturing, jasa logistik, distributor, supplier, sering terjadi kesalahan persepsi mengenai penggunaan dan pemanfaatan sistem IT dalam mengoptimalkan proses supply chain di perusahaan.
Penggunaan software dan sistem IT yang mahal yang dimaksudkan untuk membantu proses kerja supply chain sering berakhir dengan kekecewaan akibat jutaan dollar telah dikeluarkan namun hasilnya tidak sebanding dengan maksud investasi kalau tidak bisa dibilang gagal dan rugi besar.
Padahal dalam mengoptimalkan proses dari Supply Chain, permasalahan bukan pada seberapa canggih software ERP dan sistem IT yang anda pergunakan, namun pada kesalahan desain organisasi dan proses dari Supply Chain itu sendiri.
Organisasi-organisasi perusahaan yang masih berbentuk tradisional seperti mengikuti desain SILO Organization jelas bukan tujuan dari implementasi ERP. Apalagi kalau proses supply chain dalam perusahaan itu sendiri masih amburadul dan banyak terjadi konflik kepentingan.
Setidaknya suatu model bisnis harus sudah memiliki desain organisasi yang berorientasi pada proses kerja dan fungsi secara terintegrasi baru bisa menerapkan ERP. Itupun mereka sebaiknya di desain mengacu kepada standar baku SCOR (Suppy Chain Operation Reference model).
Dalam tulisan saya di awal-awal saya menulis di Kompasiana yakni mengenai ACFTA tantangan dan peluang menuju World Class Player (http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/02/11/acfta-tantangan-peluang-dan-menuju-world-class-player/) saya pernah menyinggung sedikit mengenai penerapan Supply Chain berbasis SCOR 9.0 sebagai salah satu upaya mengoptimalkan kinerja bisnis. Sementara itu berdasarkan perkembangan waktu SCOR sudah meningkat ke level SCOR 10.0 Reference Model.
Dasar dari tujuan SCOR sendiri bukan kepada penerapan ERP, namun lebih kepada evolusi dalam pembangunan keahlian, standarisasi dari definisi keahlian, sumber daya-sumber daya, dan terakhir adalah kriteria dari kinerja (baik individual maupun organisasi).
Salah satu bagian dari pencapaian SCOR adalah tingkat keberhasilan dalam penerapan standar ISO di lingkungan perusahaan (baik secara certified maupun non certified). Yang dimaksud non certified adalah proses kerja dalam perusahaan yang mengacu kepada kriteria ISO tanpa harus di audit oleh konsultan ISO itu sendiri.
SCOR sendiri dalam penerapannya mencakup proses Supply Chain Optimization and Re-Engineering, Re-Organization, Design Process of Organization, Strategic Development, Merger, Acquisition, Divestiture, Standardization, Streamlining, Management Alignment, New Business Start Up, Benchmarking, Process Outsourcing. (http://supply-chain.org/about/scor/how/can/scor/help)
Di kalangan pemegang merek terkenal yang rata-rata melakukan outsource pekerjaan manufaktur kepada mitra OEM (Original Equipment Manufacture) mereka, belum sepenuhnya berhasil dalam menerapkan SCOR ini secara baik dan benar. Hal ini karena keterbatasan sumber daya manusia yang memadai, baik dikalangan pemegang brand itu sendiri maupun mitra OEM mereka. Hal ini dikarenakan pemegang merek umumnya hanya melakukan kerja pemasaran, distribusi dan logistik, sementara untuk urusan antara pabrikan dan supplier adalah tanggung jawab mitra OEM mereka. Padahal SCOR mencakup whole process in industry. Sehingga membutuhkan komunikasi dan kerjasama yang baik.
Lantas dengan demikian, apakah SCOR ini adalah suatu kemustahilan? Tidak demikan, karena banyak sudah perusahaan yang berhasil dalam penerapan SCOR ini. Dari mulai Energy Company, Oil & Gas Company, Aerospace, Reverse Logistics, Automotive, Software Industry dan lain sebagainya.
Untuk mempelajari dan menerapkan SCOR ini lebih mendalam anda bisa mencoba melihat-lihat terlebih dahulu di website Supply Chain Council (http://supply-chain.org/).
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar