Senin, 28 Juni 2010

Relationship Manager Industri Wealth Management antara Sales Vs Konsultan Keuangan

Dalam acara reuni salah satu SMA semalam di salah satu Cafe murah meriah dekat rumah, ada sejumlah perbincangan menarik di antara beberapa rekan alumni yang kebetulan bekerja di industri keuangan, ada yang kebetulan memegang divisi Wealth Management pada spesialisasi Bancassurance ada juga yang memegang spesialisasi pada Financial Planner Konsultan dan lain sebagainya.

Perbincangan ngalor ngidur itu menyangkut pada beberapa standard profesi yang di ikuti rekan-rekan, ada yang mengedepankan IARFC (International Association of Registered Financial Consultants) ada juga yang lebih memilih soal CWM/CWA (Certified Wealth Manager / Advisor) dan lain sebagainya sesuai kebutuhan masing-masing industri yang digeluti.

Namun dibalik semua standar profesi dan title pekerjaan tersebut, ada satu poin penting yang selalu menjadi momok para Financial Planner maupun Relationship Manager, yakni Sales Target.

Terkadang ketakutan akan target penjualan ini, tidak jarang banyak para relationship manager yang melanggar etika bisnis, dari mulai kurang jelas memberikan informasi kepada calon nasabah / investor, hingga misleading informasi.

Hal ini bisa dimaklumi, karena umumnya untuk mencapai posisi Relationship Manager di Industri Wealth Management bergengsi, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, seperti minimum investment placement sebesar 100 000 USD dari para nasabah, jumlah nasabah yang minimum harus di layani dan lain sebagainya. Ada juga perusahaan yang tidak menargetkan jumlah nasabah, namun memaksa RM (Relationship Manager) yang bersangkutan agar terus memompa sang investor untuk menambah penempatan dana nya atau setidaknya memaintain jumlah dana agar tidak berkurang meski seandainya sang investor menempatkan dana di pasar saham / reksadana saham sudah pasti nilai investasinya akan melorot jika kondisi market sedang tidak bagus.

Padahal selain beban sales, para Relationship Manager juga dituntut untuk tetap menjunjung tinggi etika profesi dan juga nilai-nilai luhur etika bisnis. Jangan sampai perannya sebagai seorang Financial Advisor yang netral tercemari oleh target pemasaran yang tinggi.

Kasus-kasus sengketa antara nasabah dari level prime customer / wealth management, dengan industri perbankan, sangat jelas dan transparan menunjukan pelanggaran kode etik ini. Dari mulai masalah misleading informasi soal transaksi derivatif, hingga ketidaktransparanan soal risiko dan bahaya investasi KPD (Kontrak Pengelolaan Dana). Bahkan ada salah satu bank yang dituduh misleading soal informasi produk KPD dengan menjualnya seolah sebagai deposito.

Faktor penilaian etika bisnis dan profesi pada uji kecakapan standar profesi terkadang tidak bisa menjadi jaminan, karena pada akhirnya yang menentukan adalah pribadi yang bersangkutan. Oleh karena itu perusahaan harus juga bertanggung jawab terhadap pelanggaran atau penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para Financial Planner nya.

Tentu saja pencegahan adalah hal terbaik, antara lain dengan lebih mengedepankan fungsi utama seorang Relationship Manager sebagai Problem Solver dan Solution Maker dan juga pentingnya peran pengawasan dalam industri tersebut. Seringkali kenyataan di lapangan menunjukan perusahaan terkadang tutup mata terhadap berbagai pelanggaran, yang penting target tercapai. Hal ini sebenarnya sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis perusahaan itu sendiri.

Semoga di masa depan, profesi Wealth Manager bukan lagi mengedepankan sales target tapi juga nilai-nilai etika bisnis dan juga sebagai konsultan yang baik dan netral terhadap berbagai produk investasi yang dijual.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

2 komentar:

  1. Pak Alex, bukankah yang namanya marketing itu memang ada unsur tidak jujur? Dalam hal ini bukan bohong menghadapi nasabah, tetapi juga tidak memberitahukan dengan gamblang akan resiko yang diambil nasabah jika menggunakan produk tertentu.

    BalasHapus
  2. Hehehe .... nggak, nggak seperti itu trik marketing yang "beretika", biasanya kalau marketer yang bagus, jualannya mengedepankan "harapan/keuntungan" dan "melembutkan unsur risiko" namun tetap jujur menyatakan risiko nya. Misalnya, seperti salah seorang Relationship Manager saya, dia nggak bohong, cuman memoleskan faktor keuntungan di atas nilai wajar, tapi risiko dia tetap bicara, namun dengan memberikan unsur confidence kepada nasabah supaya mereka percaya kerugian tetap bisa di manage :)

    BalasHapus