Dalam dua hari terakhir ini, bursa kita dilanda aksi tekanan jual yang cukup kuat, di tengah semakin menipisnya transaksi saham di pasar modal. Meskipun kemarin selamat, tapi hari ini tidak demikian, bursa kembali melemah ke bawah level 2900.
Sebenarnya apakah benar isyu-isyu bahwa bursa dan ekonomi kita tengah mengalami bubble seperti yang pernah dilontarkan beberapa pihak termasuk salah satu lembaga keuangan asing?
Mari kita pakai cara bodoh untuk menghitungnya:
Desember 2009 IHSG berada pada posisi sekitar 2500an, setelah rally cukup panjang dari angka 1300 di awal-awal tahun. Kenaikan mencapai 90% lebih pada tahun 2009. Namun sepanjang tahun 2010 sejak awal January hingga pertengahan tahun (Juni) Indeks hanya mampu menyentuh sebentar pada level 2996.42 pada tanggal 4 Mei 2010 sesaat saja. Padahal awal tahun di buka pada angka 2533.95 pada tanggal 4 Januari 2010. Atau hanya menguat tertinggi sebesar sekitar 18% saja.
Sementara, jika kita menengok ke floor limit dari Reksadana Campuran Fortis Equitra yang memakai metode best effort dan prinsip prudent dalam berinvestasi, maka limit floor nya ada pada angka 2554.19 sementara NAB terakhir pada website nya ada pada angka 2752.49 yang berarti selisih antara floor limit dengan pencapaian investasi hanya terpaut sekitar 7.76% saja. Sebuah angka yang sangat tipis untuk bisa dibilang rally kenaikan. Artinya sang manajer investasi mulai berhati-hati terhadap kemungkinan pembalikan arah bursa.
Sementara dari sisi ekonomi, kenaikan laju inflasi akibat kenaikan harga sayuran (termasuk bawang), kenaikan TDL, apresiasi Yuan, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi RRC, membuat tekanan terhadap perlambatan ekonomi semakin kuat.
Di sisi lain, spekulasi terhadap properti di dalam negeri semakin gila-gilaan, bahkan penjualan project apartement mewah dari salah satu developer terkemuka mencapai rekor angka pertumbuhan penjualan yang sangat fantastis (disertai kenaikan harga unit tentunya).
Meskipun dari sisi industri otomotif, kenaikan penjualan otomotif pada semester ini menunjukan tanda-tanda pertumbuhan yang signifikan, akan tetapi kondisi ekonomi global sendiri kurang kondusif untuk mendukung gelembung pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus.
Jepang sendiri sebagai negara yang secara ekonomi cukup kuat, dikejutkan oleh peningkatan angka pengangguran yang cukup signifikan. Padahal mereka telah mati-matian berusaha memperbaiki ekonomi negara mereka dengan berbagai paket stimulus dan kebijakan ekonomi.
Begitupun hal nya dengan berbagai sumber pemberitaan ekonomi di seluruh dunia, dari mulai Yahoo Finance (http://finance.yahoo.com/news/Stocks-skid-on-renewed-fears-apf-3481581188.html?x=0&sec=topStories&pos=main&asset=&ccode=) yang menyatakan ketakutan terhadap perlambatan ekonomi global dan jatuhnya indeks kepercayaan konsumen. Laporan dari Bloomberg yang menyatakan kekhawatiran terhadap ekonomi RRC dan meningkatnya spekulasi di pasar treasuri (http://www.bloomberg.com/news/2010-06-29/asian-stocks-fall-to-two-week-low-yen-strengthens-on-china-growth-concern.html). Sementara dari CNBC sendiri menyatakan indeks kepercayaan konsumen runtuh dilanda kekhawatiran akan kemungkinan naiknya angka pengangguran (http://www.cnbc.com/id/37994762)
Tulisan ini tidak dibuat untuk menakut-nakuti ataupun membuat cemas, namun sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam menetapkan langkah-langkah strategis yang harus di ambil baik dalam kebijakan strategis perusahaan maupun keputusan berinvestasi. Masalah apakah benar akan terjadi double dip recession atau justru economic recovery, itu bergantung kepada keputusan pemerintah baik pemerintah kita maupun para pemimpin ekonomi dunia lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar