Belakangan ini, nampaknya banyak orang yang terhipnotis oleh Euforia pasar saham yang semakin melambung hingga ke level 2900an lebih. Malah banyak analisis yang sesumbar indeks akan terbang hingga ke level 3500an.
Kejadian ini mirip seperti tahun 2007 silam, dimana semua orang optimis berlebihan dan mengatakan market akan menembus plafon 3000 di akhir tahun, padahal kenyataannya krisis Subprime di bulan Agustus benar-benar meledak secara beruntun sejak bulan November 2007 dan terus menukik tajam hingga terjerembab di awal 2009 ke level 1100. Jauh melampaui prediksi fundamental yang seharusnya jatuh hanya sebanyak maksimal 40% saja ke level 1740 dari titik tertinggi di 2840.
Saat itu orang memang terbuai oleh kenaikan harga minyak dan sektor tambang yang fantastis di mana sebenarnya hanya merupakan pengalihan penyelamatan asset para Hedge Fund dan Private Equity Fund serta Private Banking dari ancaman amblasnya sektor kredit Subprime.
Padahal jika diteliti lebih seksama, fundamental kebutuhan minyak dunia tidaklah setinggi yang dibuai atau ditiupkan para spekulan bursa komoditas. Harga minyak mentah 100an USD lebih per barrel, bukan cerminan kebutuhan konsumsi. Apalagi saat ledakan pertama krisis subprime terjadi di bulan Agustus.
Akan tetapi, orang memang lebih senang ditipu oleh grafik-grafik dan isu-isu panas yang ditiupkan para analis ketimbang memakai akal sehatnya. Sehingga terciptalah bubble harga komoditas yang sangat spektakuler sepanjang sejarah. Padahal bahkan sejumlah perusahaan minyak ternyata terlibat ikut bermain menggelembungkan harga minyak dunia itu dengan menyembunyikan kapal-kapal tanker mereka di sepanjang terusan dan kanal-kanal ataupun semenanjung yang aman dari pantauan publik.
Ketika akhirnya bubble itu meletus, dan terlihat permintaan (demand) riil dari harga minyak dunia, yang ternyata justru anjlok, maka semua orang panik dan berlomba menjual harga saham sektor komoditas yang mereka miliki, sebanyak yang mereka mampu. Bahkan terlihat beberapa perusahaan Asset Management Asing yang beroperasi di Indonesia, juga tidak mampu menutupi kepanikan mereka karena terlalu banyak berspekulasi secara masif pada emiten komoditas tambang tertentu.
Padahal pada tugas akhir mata kuliah Corporate Valuation yang saya kerjakan semasa masih belajar di program studi S2 dulu, saya pernah berargumentasi bahwa harga emiten itu tidak lebih dari 600 rupiah pada masa krisis dan 3000 rupiah pada masa bullish market. Namun lambungan harga pada titik 8000 memang menyilaukan mata banyak orang, bahkan termasuk perusahaan investasi kelas kakap.
Saat ini banyak orang, kembali berspekulasi bahwa indeks harga saham gabungan di bursa efek Indonesia akan kembali menembus angka keramat 3500, di akhir tahun. Namun sebenarnya ada hal-hal yang menjadi ancaman terjadinya kembali koreksi tersebut. Hal-hal itu mencakup:
- Kenaikan suku bunga di Semester ke 2 tahun 2010
- Turunnya kembali permintaan futures minyak dunia
- Kemungkinan gagalnya program penyelamatan Yunani
- Tingkat pertumbuhan kredit secara riil yang bisa saja tidak setinggi ekspetasi
- Kemungkinan gagalnya musim panen akibat perubahan cuaca
- Koreksi tehnikal atas beberapa harga saham yang telah melampaui fundamentalnya
Dalam wawancara beberapa malam yang lalu, antara seorang pengamat ekonomi dari salah satu Global Fund dengan stasiun televisi asing, dikatakan bahwa ada kemungkinan terjadi bubble kembali dan secara fundamental China yang menjadi patokan bursa Asia akan terkoreksi karena ekonomi di negara tersebut mulai memanas, di mana pemerintah RRC pastinya akan berusaha memperlambat akselerasi ekonominya dengan sejumlah kebijakan uang ketat.
Apa boleh buat, senada dengan itu, salah satu petinggi sekuritas di Jakarta, pada bulan Februari lalu juga telah mengeluarkan pernyataan bahwa ekonomi dunia memang telah terbebas dari krisis, namun belum melewati masa depresi. Dan krisis pada abad ini jauh lebih dahsyat daripada krisis pada masa depresi global tahun 1929/30an yang menyebabkan Amerika nyaris bangkrut total. Sehingga kehati-hatian para spekulan dan pemain pasar modal mutlak diperlukan agar tidak terjadi kehancuran ditahap berikutnya.
Sebagai catatan tambahan, berdasarkan info dari situs Bappepam LK, sepanjang tahun ini reksadana pasar uang menunjukan kinerja yang gemilang sebagai hasil ekspetasi pasar terhadap kemungkinan naiknya kembali suku bunga deposito di semester ke dua tahun ini (http://www.detikfinance.com/read/2010/04/26/080121/1345216/479/mencermati-kemilau-reksa-dana-pasar-uang) . Jadi bersiap-siap lah mulai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar