Note: Tulisan ini tidak bermaksud untuk memojokan siapa-siapa, tapi sebagai telaah atas kebijakan publik yang kemungkinan berdampak buruk secara jangka panjang.
Merujuk kepada berita terbaru di Kompas Online Jum’at 16 April pukul 16.38 WIB mengenai jumlah utang luar negeri Indonesia yang nyaris mencapai 2000 Trilyun (tepatnya sekitar 1700an Trilyun rupiah), cukup mengagetkan. Karena sebelumnya masih bermain pada plafon 1500an Trilyun. Atau naik 17.55% dari periode yang sama di tahun lalu.
Terus terang banyak pihak merasa skeptis apakah kenaikan nominal hutang ini dapat dikelola dengan baik, mengingat pendapatan kita dari sektor perpajakan sendiri masih cukup lemah. Sementara dari sektor ekspor kita cukup kedodoran selain karena faktor penguatan rupiah, juga karena masalah ACFTA yang memukul daya saing industri dalam negeri.
Ada pemeo di kalangan investor pasar modal, bahwa tahun 2008 adalah tahun membeli / masuk pasar modal yang sedang sekarat, tahun 2009/2010 menikmati keuntungan / kenaikan saham dan yield SUN, tahun 2011/2012 panen atau profit taking, dan tahun 2014 kiamat nasional karena ledakan SUN yang jatuh tempo sangat besar.
Pemeo tersebut bisa jadi benar jika mengingat kemampuan finansial kita yang masih lemah, bukan cuman dalam hal pengelolaan utang luar negeri, namun juga masalah korupsi dan penggunaan anggaran negara secara optimal yang tidak kunjung usai, sehingga penerbitan utang luar negeri selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Menjadi pertanyaan mendasar adalah, apakah tolak ukur Debt to GDP Ratio dapat dijadikan sebagai acuan penerbitan SUN secara terus-menerus tanpa memandang kesanggupan negara melunasi hutang luar negeri? Karena meskipun GDP kita tinggi, tapi Tax Ratio nya sangat rendah. Dan lagi selama ini GDP kita yang tinggi itu hanya berfokus pada angka 10% piramida kekayaan. Sisanya sekitar 90% bukanlah berada pada batasan penghasilan rata-rata, namun kebanyakan berada di bawah rata-rata.
Saat ini saja masalah Kredit Tanpa Anggunan sudah mulai membebani sejumlah bank, karena ternyata lebih banyak yang kreditnya macet ketimbang lancar. Belum lagi masalah kartu kredit, kredit usaha kecil dan lain sebagainya. Jelas bukan pertanda yang bagus untuk terus menerbitkan utang luar negeri.
Pemerintah harus mulai memikirkan cara lain dalam mengatasi kekurangan dana anggaran selain daripada hanya sekedar terus-menerus menerbitkan utang luar negeri.
Optimalisasi pemakaian anggaran negara secara bijak, efisien, dan tepat sasaran perlu dikaji ulang, karena kenyataannya di lapangan, penerbitan utang luar negeri belum benar-benar menggerakan perekonomian rakyat kecil utamanya industri skala kecil sampai menengah.
Dukungan infrastruktur dan birokrasi yang bersih serta efisien dan cepat adalah dambaan banyak pihak guna mengakselerasikan gerak roda pembangunan. Kerjasama BOT (Build Operate Transfer) dapat diusahakan guna menekan cost pembangunan agar tidak membebani anggaran. Sehingga anggaran dapat dipakai untuk mensubsidi perekonomian rakyat kecil utamanya dari segi permodalan usaha dan berbagai kemudahan lainnya.
Namun yang paling terpenting, adalah pemerintah harus memikirkan bagaimana mengatasi masalah kekurangan dana pembangunan secara lebih baik, bukan dengan cara terus-menerus menerbitkan utang luar negeri secara masif yang dapat membuat negara kita kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar