Senin, 26 April 2010

Gaji vs Korupsi dalam Perspektif Bisnis

Belakangan ini sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat, mengenai fenomena para pejabat yang bergaji besar namun masih melakukan korupsi. Kenapa, mengapa, dan bagaimana mungkin orang-orang yang bergaji besar dibandingkan rata-rata masyarakat umum tersebut masih bisa dan tega melakukan korupsi.

Namun jangan salah, ukuran dari korupsi itu tidak dan bukan dari besar atau kecilnya gaji, melainkan dari ada atau tidaknya kesempatan dan contoh dari lingkungan sekitarnya, termasuk dari contoh atasan yang lebih tinggi lagi.

Di bisnis yang yang memiliki omzet trilyunan rupiah perbulan pun, masih ada korupsi dikalangan jajaran dewan direksinya. Contohnya penyakit korupsi yang menimpa lembaga-lembaga keuangan terkemuka di Amerika di mana para direksinya dengan pongah datang menghadap Obama dan Kongres dengan Jet Pribadi, padahal perusahaannya sudah sekarat dan ditalangi oleh dana bailout.

Atau di sejumlah BUMN yang baru-baru ini para petingginya ditangkap oleh KPK, padahal penghasilan mereka lebih dari layak. Setidaknya jauh di atas gaji rata-rata manajer di Indonesia yang berada pada rentang 8 hingga 20 juta rupiah perbulan.

Korupsi dalam bisnis sangatlah menganggu pendapatan dan operasional perusahaan. Bayangkan jika anda mendapati salah seorang pejabat perusahaan anda melakukan praktek illegal seperti mendirikan “perusahaan dalam perusahaan”. Keuntungan yang seharusnya dinikmati para pemegang saham dan juga karyawan dan direksi dalam bentuk bonus akhir tahun, justru bocor digerogoti oleh sejumlah oknum.

Apakah anda menyangka dengan memberikan gaji istimewa dan bonus-bonus tidak resmi lainnya pada sejumlah orang kepercayaan bisa membuat mereka tidak korup? Itu adalah salah besar. Sejumlah bisnis kelas kakap terpaksa memberhentikan sejumlah CEO mereka karena kedapatan melakukan praktek illegal “perusahaan dalam perusahaan” atau melempar sejumlah order / outsourching ke dalam bisnis milik para oknum tersebut.

Gaji bukan satu-satunya faktor yang bisa meredam korupsi. Gaji mahal tidaklah cukup. Anda harus membangun sistem prosedur operasional yang mengacu kepada standar-standar tertentu dan juga sistem pengawasan berjenjang yang baik. Pemberian wewenang yang terlalu tinggi kepada seseorang, kebebasan mengambil keputusan di luar batasan jabatan yang seharusnya juga tidak baik. Hal lain yang perlu dilakukan adalah penghindaran terjadinya standar ganda dalam sistem perusahaan. Jika anda membedakan perlakukan gaji, tunjangan dan remunerasi secara terang-terangan di luar jenjang status kepegawaian, hal tersebut juga meningkatkan peluang terjadinya korupsi.

Permainan praktek mafia pajak di pengadilan pajak sehingga membuat para petinggi harus turun tangan membenahi, adalah contoh bagaimana suatu sistem dapat kebobolan jika tidak ada lembaga pengawas yang bertanggung jawab mengawasi secara penuh.

Itupun anda harus meyakinkan tidak hanya secara pribadi akan tetapi juga secara sistem dan obyektif bahwa pengawasan dan para petugas pengawas dan evaluasi memang bekerja secara benar dan obyektif. Jika tidak, maka sistem pengawasan yang anda bangun tidak akan berjalan dengan lancar. Bahkan justru bisa terlibat dalam skandal korupsi yang sistemik.

Umumnya, perusahaan-perusahaan yang mengacu kepada sistem operasional yang baku, selain terdapat lembaga pengawasan internal semacam internal auditor, juga secara rutin melakukan audit investigatif dan audit report secara berkala. Audit ini tidak hanya mencakup audit keuangan, namun juga audit dari sisi operasional dan audit dari sisi hukum, utamanya menyangkut sejumlah temuan dokumen perjanjian yang perlu diperdalam lebih lanjut seperti kontrak karya atau kontrak kerjasama, juga kontrak perjanjian jual beli ataupun outsourching.

Bahwa ekonomi biaya tinggi sebesar 30% seperti yang dikemukakan oleh seorang almarhum profesor ekonomi terkemuka di masa lalu, memang benar adanya. Jika suatu model bisnis dapat melakukan upaya perampingan birokrasi di dalam sistem bisnisnya dan memangkas jalur-jalur atau celah-celah yang memungkinkan terjadinya praktek korupsi, memang kebocoran itu bisa ditekan, dan perusahaan ataupun pemerintahan dapat menghemat biaya operasional secara signifikan.

Yang perlu diingat, praktek korupsi, berdasarkan pengalaman selama ini, lebih sering dilakukan oleh orang-orang yang telah lama ada di dalam suatu sistem. Praktis orang baru seperti para management trainee sulit melakukan korupsi karena belum terbiasa dengan pola dalam sistem dan masih harus belajar menyesuaikan diri. Sehingga jika anda mencurigai adanya praktek korupsi di suatu lingkungan departemen atau unit bisnis, anda perlu melakukan suspensi atau penonaktifan sementara, dan mengisi posisi jabatan itu dengan para freshgraduate baru ataupun pedatang baru yang berpengalaman dan memiliki intergritas dan rekam jejak yang profesional dan terpercaya.

Semoga berbagai kasus temuan korupsi baik di kalangan pemerintahan, swasta dan juga sektor lainnya dapat menjadi kasus pembelajaran yang baik agar di masa depan kita dapat membenahi dan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya korupsi.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

2 komentar:

  1. Pak Alex, sangat terinspirasi dengan tulisannya dimana menyadari bahwa kompleksitas fenomena korupsi suatu organisasi dan atau bangsa (terutama di Indonesia) sepertinya begitu rumit untuk diurai benang permasalahannya (root cause). Bukan sekedar moralitas, kesempatan, kultur, contoh perilaku, birokrasi dan tidak seimbangnya penghasilan DLL. Mungkin sudah saatnya kita memiliki satu jurusan khusus yang mengelola (secara keilmuan) dalam hal Pengelolan Anti korupsi (anti corruption management)setingkat Jurusan di bawah Economic Faculty.... karena kalo hanya dimasukan dalam ilmu budi pekerti sepertinya sekarang sudah tidak cukup karena korupsi sudah sangat tersistimatik dengan baik dan pula secara operation processes sudah sangat professional dalam pengelolaannya layaknya sebuah organisasi bisnis umumnya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Pak, memang korupsi sudah melibatkan lintas disiplin ilmu, tidak hanya kriminologi namun juga ekonomi dan sosial budaya dan sosial politik serta keagamaan. Menarik kalau Depdikbud merevisi pohon cabang penjurusan ilmu dan menempatkan jurusan Anti Korupsi sebagai suatu cabang keilmuan baru.

    BalasHapus