Selasa, 04 Mei 2010

Krisis Global Tahap Kedua dan Badai Supercycle Ekonomi

Ketika pada awal Agustus 2009 Robert D. McHugh, Jr. Ph.D. menuliskan mengenai badai krisis mengikuti pola Supercycle dalam www.technicalindicatorindex.com, banyak para pengamat yang mengatakan tidak percaya.

Saya pun termasuk yang tidak percaya terhadap pendapat tersebut, terlebih pada tahun 2009, bursa kita rebound secara gila-gilaan. Dan memang fenomenanya, pada kondisi rebound dan bullish pasar modal orang cenderung lupa terhadap masa lalu yang kelam. Akan tetapi mendekati Oktober 2009, terlihat adanya gejala awan gelap dalam horison jangka panjang perekonomian, terutamanya karena paket penyelamatan ekonomi dunia hanya berpangku pada stimulus fiskal tanpa persiapan yang matang dalam perombakan sistem dan infrastruktur ekonomi.

Kejelasan mengenai Supercycle ini dipertegas oleh salah seorang analis ekonomi global dari salah satu Bank Asing yang secara rutin menyelenggarakan seminar outlook ekonomi tahunan di awal tahun 2010. Pandangan beliau menegaskan fenomena Supercycle yang akan segera terjadi, namun tidak terlalu besar efeknya terhadap perekonomian di Asia, meskipun ditengarai akan cukup signifikan menekan pasar saham.

Gagalnya Dubai World dalam pembayaran hutangnya secara tepat waktu sehingga meminta renegoisasi jangka waktu pembayaran hutang, dan terkuaknya satu demi satu borok ekonomi di negara-negara anggota mata uang Euro, semakin mempertegas pola-pola Supercycle yang terbentuk secara global.

Masuknya aliran hot money ke dalam pasar modal Indonesia dan sejumlah negara Emerging Market yang masih memiliki kinerja ekonomi yang baik, memang membawa dampak positif. Namun hot money tetap hanyalah hot money, tidak ada sumbangsih nyata dalam membangun ketahanan ekonomi secara jangka panjang. Berbeda dengan Direct Foreign Investment dalam wujud pembangunan infrastruktur maupun industri manufaktur.

Sejarah selalu berulang dan menyatakan bahwa ketika ekonomi memburuk dan krisis global terjadi, aliran hot money selalu keluar dari negara-negara emerging market, mencari mata uang ataupun komoditas safe heaven seperti Emas, Platinum dan mungkin juga Minyak, walau yang terakhir ini lebih ke arah spekulasi.

Melambatnya pertumbuhan industri manufaktur di China selama enam bulan terakhir, dan ambruknya satu demi satu negara-negara anggota zona ekonomi Eropa, mulai memukul rasa aman dan percaya diri para investor global yang bermodal raksasa.

Sejumlah Hedge Fund dan Lembaga Keuangan Internasional, mulai mengerem laju ekspansi aliran hot money-nya. Bahkan IMF sendiri tidak tanggung-tanggung mengeluarkan statement mengenai adanya indikasi terjadi bubble dalam ekonomi negara emerging market termasuk Indonesia.

Ambruknya pasar surat hutang secara global yang diawali oleh kejatuhan peringkat surat hutang Yunani oleh lembaga penilai S&P menjadi junk bond (obligasi sampah), semakin mempertegas fenomena ini.

Meski demikian, orang masih tidak percaya juga akan ancaman yang sudah jelas di depan mata, ibarat orang yang terpukau oleh surutnya air di pantai sebelum berubah menjadi serbuan Tsunami Raksasa yang siap menerkam siapa saja yang berada dalam jangkauannya. Padahal kejatuhan ekonomi Eropa akan memukul eksport dalam jumlah besar, karena jika Amerika sedang sakit dan daya serap pasar turun, lantas Eropa ikutan pingsan, ke negara mana lagi kita akan melempar hasil produksi kita? Sebab negara Timur Tengah sendiri sedang ikut-ikutan memperketat likuiditas karena khawatir efek krisis global yang menular dan pasar mereka sendiri sudah penuh dibanjiri produk dari berbagai negara lainnya.

Itu sebabnya, proteksi pasar dalam negeri harus dilakukan oleh setiap negara yang ingin selamat dalam krisis kali ini. Impor komoditas seperti beras dan gula adalah tidak perlu dan tidak berdasar. Begitu pula dengan sejumlah produk pertanian lainnya. Di sisi lain, pemerintah harus menyetop sejumlah peraturan dan kebiasaan memarginalkan para petani dan nelayan. Sejumlah subsidi pupuk, dan bahan bakar bagi para petani dan nelayan dapat sedikit banyak membuat nafas para petani dan nelayan lebih panjang. Bukan lantas malah menaikan harga pupuk karena alasan kenaikan harga gas. Karena Gas kita itu tidak perlu di ekspor, justru harus digunakan terlebih dahulu demi kebutuhan pasar dalam negeri terutama industri pupuk dalam negeri.

Di lain pihak, harus ada intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, peningkatan ketrampilan dan keahlian para petani kita agar siap bersaing dengan negara lain. Swastanisasi dan PMA dalam industri pertanian harus ditekan karena petani kita hanya akan menjadi budak industri pertanian modern jika pemerintah memberikan insentif justru pada pihak swasta modern ataupun investasi asing dalam pertanian. Justru pemerintah seharusnya memberikan subsidi modal kepada para petani dan nelayan miskin agar mereka dapat mengembangkan industri agraris dan perikanan kita ke arah yang lebih modern dan maju seperti halnya Amerika yang mati-matian memproteksi industri pertaniannya.

Di sisi lain, sektor UMKM juga harus mendapatkan prioritas kredit dan sejumlah subsidi baik dalam bentuk regulasi yang menunjang sektor UMKM dalam negeri maupun sejumlah paket bantuan modal dan keahlian. Hal ini perlu agar ketahanan ekonomi dalam negeri semakin kuat dan semakin banyak orang yang tertarik untuk berwiraswasta. Karena jika banyak orang yang bisa memperoleh kesempatan dan modal untuk berwiraswasta, maka dalam jangka panjang pendapatan domestik akan naik dan kita bisa lebih kuat secara fundamental menghadapi berbagai krisis di masa depan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar