Senin, 29 Maret 2010

Bahaya De-Industrialisasi Mengancam Indonesia

Menyimak tulisan ekonom “Faisal Basri” di Kompas beberapa waktu lalu mengenai deindustrialisasi di negara kita. Nampaknya hal tersebut tidak diragukan lagi. Ancaman itu sebenarnya bukan datang setahun atau dua tahun belakangan ini, namun sudah berlangsung sejak awal mula pemulihan krisis finansial di Asia yang terjadi pada periode 1997-2000.

Pada saat itu, dikarenakan penurunan tingkat pendapatan penduduk, dan industri masih banyak yang kolaps, serta ketakutan akan masih terjadinya gonjang-ganjing politik plus kerusuhan, banyak diantara kita yang mulai memilih melakukan import barang murah melalui RRC ataupun Taiwan (khusus Taiwan lebih banyak piranti komputer).

Bersamaan dengan itu industri di RRC justru sedang mulai tumbuh berkembang. Tingginya biaya produksi di sejumlah negara barat termasuk Amerika, membuat banyak perusahaan Eropa dan juga Amerika melakukan outsourcing ke pabrikan-pabrikan OEM besar di RRC. Dari mulai Motorola, Nokia, Nike, Adidas, Reebok dan lain sebagainya.

Sementara di negara lain seperti di Korea dan Jepang justru melakukan relokasi usaha dan mengalihkan produksi mereka ke pabrik-pabrik relokasi mereka yang ada di RRC dan Vietnam. Padahal dibandingkan dengan RRC, biaya tenaga kerja kita tidak jauh berbeda dan lumayan bersaing. Namun faktor kestabilan politik, dan kurang bersaingnya infrastruktur membuat orang lebih memilih melakukan pemusatan industri di RRC.

Sebagai akibatnya, industri di RRC maju pesat, dan mulai bermunculan industri “low end” yang bersifat menarik secara harga sebagai dampak dari banyaknya tenaga trampil dan ahli yang bermunculan karena kemajuan industri di sana.

Hal ini tentu saja menimbulkan dampak pasar dalam negeri RRC penuh sesak oleh berbagai jenis barang produksi. Produk-produk yang tidak terserap oleh pasar dalam negeri ini yang akhirnya banyak sekali diekspor ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Karena pendapatan rakyat RRC perkapita tumbuh pesat, yang menyebabkan selera dan gaya hidup mereka bergeser dari barang murah menjadi barang lux, akhirnya produk-produk murah meriah itu tidak lagi laku di pasaran dalam negeri RRC dan diekspor ke Indonesia serta berbagai negara asia lainnya.

Celakanya lagi pemerintah kita cenderung tidak tegas melarang ekspor produk hasil bumi dan tambang kita ke luar negeri. Semestinya segala investasi asing menyangkut pertambangan dan produk hasil bumi lainnya haruslah untuk pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri, dan harus pula dibangun industri pengolahan dari hulu sampai hilirnya.

Akibatnya sektor industri kita menjadi mati akibat kalah dalam persaingan perdagangan bebas, dan negara-negara luar sangat menikmati keuntungan dari perdagangan komoditas Indonesia yang murah meriah karena masih dalam bentuk murah bukan olahan jadi.

Lihat saja betapa Singapura begitu berjaya dan memiliki bargaining power yang sangat kuat karena kita hanya bisa mengekspor minyak mentah sementara turunan olahannya kita terima jadi dari mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan industri pupuk, di mana kita sibuk mengekspor gas ke China dan negara tetangga, tapi pabrik pupuk kita mati kekurangan pasokan gas.

Sampai sejauh mana kita mau bersikap seperti ini terus, membiarkan bangsa lain memperbudak negara kita dan mengeruk sebanyak-banyaknya hasil bumi dari dalam negeri. Ambil contoh lihat saja, industri telekomunikasi kita sudah dikuasai oleh asing, belum lagi industri taktis lainnya. Begitu industri kita jatuh ke tangan asing, maka negara kita hanya dijadikan pasar saja, digenjot gaya hidup konsumtifnya. Perbankan asing pun dibiarkan merajalela dengan alasan profesionalisme pengelolaan, padahal bank lokal pun sebenarnya mampu bersaing secara profesional asalkan pengawasan perbankan benar-benar baik dan didukung oleh undang-undang yang baik pula serta adanya ketegasan dalam penindakan.

Semoga saja para menteri kita yang baru bisa bekerja lebih keras lagi dalam membenahi kekacauan yang telah terjadi sejak beberapa tahun silam, dan bisa membangkitkan kembali industri di tanah air, karena jika tidak maka kejatuhan Indonesia hanya tinggal menunggu waktu saja.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar