Baru-baru ini sebuah tabloid ekonomi mingguan merilis artikel utama mereka dengan headline “bom waktu kredit mikro”, mengupas mengenai ancaman macetnya kredit mikro khususnya yang bergerak di sektor pengusaha kecil.
Namun sebenarnya ada ancaman lain yang tidak kalah dahsyatnya, yakni ancaman lonjakan kredit macet konsumsi yang meliputi KTA (Kredit Tanpa Anggunan) dan juga Kartu Kredit. Dalam hal ini perlu saya perjelas bahwa mengapa saya masukan KTA ke dalam kredit konsumsi karena pada kenyataannya KTA lebih banyak dipergunakan untuk sektor konsumsi oleh masyarakat kita bukan untuk keperluan usaha sebagaimana seharusnya. Sedangkan KTA Bisnis saya masukan ke dalam sektor kredit mikro sejenis KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Mengenai ancaman kredit macet itu, jelas sudah terlihat jauh di depan mata, semenjak awal tahun ini sudah banyak bank yang mengeluhkan sulitnya menagih pembayaran rutin kredit mikro maupun kredit konsumsi mereka. Bahkan disinyalir banyak jaringan mafia kredit macet yang bergentayangan di masyarakat kita.
Adapun bahaya kredit konsumsi sudah terlihat dari stagnannya pertumbuhan kredit konsumsi tahun 2009 hingga awal tahun 2010 serta macetnya pembayaran cicilan kredit tersebut. Bahkan disinyalir daftar hitam kredit macet kartu kredit di otoritas keuangan semakin bertambah dari bulan ke bulan, menandakan adanya kesulitan pembayaran akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sehingga tidaklah tepat jika seorang petinggi negara berkata negara kita lolos dari krisis global, karena pada kenyataan di lapangan, justru rakyat kecil yang menderita akibat lesunya perekonomian global.
Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan maraknya usaha dari perbankan kita dari mulai bank lokal hingga bank asing berlomba-lomba meraih peningkatan dana pihak ketiga baik dalam bentuk deposan hingga nasabah tabungan. Padahal awalnya perbankan asing tidak pernah ikut-ikutan terjun jor-joran memberikan hadiah langsung ataupun undian berhadiah sebagaimana perbankan lokal dengan alasan tidak mendidik, namun nampaknya “menjilat ludah sendiri” sudah dilakukan oleh bank-bank asing tersebut.
Hal ini menimbulkan tanda tanya, apakah krisis likuditas perbankan telah terjadi lagi sebagaimana dulu terjadi di tahun 2008 saat awal terjadinya ledakan krisis global (meskipun krisis subprime mortgage telah terjadi sejak pertengahan 2007)?
Bagi masyarakat awam, sulit bagi mereka untuk memahami mengenai lonjakan kredit macet dan ancaman yang melanda ini, karena pada prakteknya mereka hanya tahu jika mendadak otoritas keuangan menaikan tingkat suku bunga simpanan dan pinjaman sebagaimana hal klasik yang selalu dilakukan oleh mayoritas otoritas keuangan di hampir seluruh dunia.
Apakah dugaan ini akan benar terjadi atau tidak, kita lihat saja, hanya saja bagi kita masyarakat umum mengharapkan agar ada usaha-usaha stimulus dari pemerintah untuk mengatasi bahaya lonjakan kredit macet dikalangan rakyat dan pengusaha kecil, karena ekonomi Indonesia sangat bergantung kepada kekuatan pertumbuhan ekonomi kecil dan menengahnya. Tanpa itu, jumlah penduduk yang besar hanya akan menjadi masalah, bukan lagi kekuatan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar