Senin, 29 Maret 2010

Investasi Ditengah Ketidak-efisien-an Pasar

Beberapa waktu yang lalu, pernah seseorang teman pemula pernah menanyakan, lebih baik memilih instrumen investasi jenis apa, reksadana saham, indeks saham, atau saham-nya secara langsung.

Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, terus terang tidak mudah, karena selain harus mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman yang bersangkutan mengenai dunia pasar modal, juga harus mengetahui tujuan investasinya dan juga bursa yang akan menjadi sasaran investasinya.

Sebagai contoh, Bursa Efek Indonesia, di mana, oleh sebagian besar pelaku pasar, secara de fakto diakui masih jauh dari efisien, sehingga menyebabkan orang lebih memilih berinvestasi pada instrumen reksadana saham berbasis portfolio saham baik secara agresif maupun defensif ataupun berinvestasi pada sejumlah saham tertentu yang memberikan tingkat pengembalian modal di atas rata-rata indeks.

Dan masalah ketidak-efisien-an pasar juga berimbas secara langsung kepada kinerja indeksnya secara signifikan. Ambil contoh reksadana saham jenis defensif milik salah satu Manajer Investasi Asing, yang berinvestasi di sejumlah saham “blue chip” secara hati-hati, pada tahun 2009, mampu mengalahkan kinerja IHSG sepanjang 2009 secara telak. Bahkan salah satu reksadana saham berbasis indeks LQ45 yang menjadi motor penggerak IHSG, mampu mengalahkan kinerja LQ45 yang menjadi indeks acuan-nya secara telak pada tingkat return sekitar 102% dalam tahun 2009.

Ini menjadi penyebab transaksi ETF berbasis indeks menjadi tidak menarik di bursa saham kita karena faktor inefisiensi yang cukup menganggu. Dari mulai tidak meratanya distribusi informasi, window dressing yang dibiarkan tanpa ada tindakan yang signifikan dan lain sebagainya. Selain daripada faktor ETF sendiri yang kurang dikembangkan dalam industri pasar modal tanah air.

Padahal jika dikembangkan secara lebih baik, ETF berbasis indeks dapat menjadi instrumen investasi yang menarik secara jangka panjang ketimbang berinvestasi pada saham tertentu, maupun reksadana saham konvensional, karena faktor biaya transaksi yang lebih rendah, biaya manajer investasi yang lebih rendah dan kinerjanya yang mengikuti pergerakan indeks secara signifikan.

Akan menjadi lebih baik lagi jika efisiensi bursa dapat ditingkatkan pada level mendekati sempurna, karena dapat mencegah spekulasi secara signifikan, dan maraknya penipuan publik oleh para emiten nakal yang cenderung bermain dengan angka-angka rekayasa pada laporan keuangan.

Kejadian di tahun 2008-awal 2009 di mana sejumlah orang menderita kerugian milyaran rupiah akibat “silau” oleh ekspektasi harga komoditas yang terlalu tinggi yang menyebabkan harga saham perusahaan berbasis komoditas naik secara tidak wajar, adalah contoh betapa rawan dan fatal nya industri pasar modal di tanah air jika tidak dikelola secara efisien dan prudent.

Dan celakanya, regulasi yang mengatur secara ketat penilaian harga saham secara wajar juga masih jauh dari harapan. Masih banyak manajer investasi baik lokal maupun asing yang teperdaya oleh ilusi laporan keuangan yang tidak wajar. Hal ini mengakibatkan bursa saham kita hanya akan menjadi bulan-bulanan sasaran spekulasi sesaat dan aliran dana panas (hot money) yang hanya bertujuan kepada keuntungan jangka pendek.

Padahal tujuan investasi di pasar modal adalah multak untuk jangka panjang, sebagai sarana lindung nilai terhadap laju inflasi di tanah air yang sangat tinggi. Jika memang tidak ada solusi dari pemerintah untuk meredam inflasi pada angka rata-rata 4% per tahun secara kontinyu bukan hanya karena faktor krisis global yang sifatnya hanya sesaat dalam meredam inflasi.

Akibat daripada ketidakefisienan pasar modal kita, masyarakat jadi cenderung melarikan investasi mereka kepada property, yang justru memicu terjadinya spekulasi pada pasar property, karena tingkat permintaan yang ada tidak pada batas wajar, melainkan karena ekspektasi berlebihan terhadap lindung nilai menghadapi inflasi yang tinggi, bukan kepada kebutuhan yang wajar akan property.

Lebih parah lagi, tidak efisien nya pasar modal kita, menyebabkan terjadinya banyak penipuan berkedok investasi, karena ketidaktahuan publik akan dunia pasar modal secara baik dan benar. Bahkan banyak tokoh dan kalangan terdidik menjadi sasaran korban penipuan jenis ini.

Oleh sebab itu masyarakat dalam berinvestasi di pasar modal diharapkan untuk selalu:

  1. Meluangkan waktu untuk belajar dan mengecek kebenaran informasi yang ada
  2. Memeriksa status hukum, dan perundangan-undangan suatu produk yang ditawarkan
  3. Selalu memakai akal sehat serta pertimbangan kewajaran dan bukan pertimbangan keuntungan semata
  4. Memilah-milah produk investasi berdasarkan profil risiko yang bersedia diterima dan tidak menempatkan asset investasi hanya pada satu jenis produk, melainkan melakukan diversifikasi alokasi asset secara proporsional sesuai dengan tingkat profil risikonya.

Selain itu juga diharapkan agar masyarakat pasar modal semakin tegas menyuarakan pentingnya transparansi informasi dan pemberian rambu-rambu peraturan yang lebih baik agar pasar modal kita semakin efisien dan terbebas dari sasaran spekulasi serta kejahatan penipuan.

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar