Selama nyaris 65 tahun kita merdeka, nyaris hanya pada periode orde baru kita benar-benar mencapai arah pembangunan yang lumayan meski banyak sekali pengorbanan yang dicapai, dari mulai kebebasan berbicara hingga pelanggaran HAM di mana-mana. Pada periode Orde Lama terlalu banyak pergolakan dan ketegangan di sana-sini sebagai ekses lumrah dari suatu negara yang baru merdeka.
Namun pada masa sesudah orde baru, atau pada periode reformasi hingga ke konsolidasi demokrasi sekarang ini, nyaris ekonomi dan pembangunan kita seperti jalan di tempat. Kenaikan IHSG hanya semu jika dihitung memakai kurs USD, nyaris habis termakan inflasi (lihat di www.portalreksadana.com). Penerbitan SUN (Surat Utang Negara) dan ORI (Obligasi Republik Indonesia) semakin menambah buruk nilai rupiah, anda boleh percaya boleh tidak, bandingkan dengan Thai Baht yang relatif stabil anda akan shock melihat rupiah terus merosot terhadap mata uang negara gajah putih tersebut. Jika awalnya patokan kurs rupiah terhadap Thai Baht hanya sekitar 200an, sekarang rupiah semakin melorot hingga menyentuh level 280. Bohong jika para ekonom dan analis menyatakan rupiah paling kuat di Asia, apa buktinya? Secara persentase mungkin, tapi jika dibandingkan head to head dengan mata uang negara lain maka terlihat rupiah semakin lemah dan kehilangan daya tarik.
Hal ini karena sesudah periode kejatuhan bursa asia dan mata uang asia di tahun 1997-1998, Indonesia kehilangan arah pembangunan yang seharusnya dapat memberikan ketahanan devisa yang kuat. Faktor produksi domestik semakin melorot ketika terjadi pelarian modal dan tenaga kerja ahli secara besar-besaran. Nyaris 90% dari tenaga ahli asal Indonesia bekerja di luar negeri, entah diperusahaan asing kelas dunia, perusahaan lokal setempat, ataupun perusahaan asal Indonesia yang relokasi ke RRC dan Vietnam.
Banyak yang memilih lari karena sudah tidak tahan lagi dengan semakin kacau dan hancurnya arah pembangunan kita. Nyaris tidak ada lagi kebanggaan ekonomi dari negara kita selain daripada konsumerisme nya yang luar biasa tinggi, yang justru memicu inflasi gila-gilaan. Kenaikan harga minyak bumi yang seharusnya bisa dinikmati oleh bangsa kita justru menambah beban subsidi pembangunan karena minyak kita diekspor mentah ke kilang-kilang refinery di Singapore dan kita mengimport nya dalam bentuk minyak jadi dan turunannya.
Padahal kita bisa lebih maju daripada Singapore, Malaysia, bahkan Korea Selatan jika kita memiliki industri pengolahan dari hulu sampai ke hilir, dari mulai minyak bumi, hasil pertanian, hasil tambang lainnya serta berbagai macam industri pengolahan lainnya.
Bayangkan untuk sebuah urusan pabrik elektronik saja, kita sampai membiarkan pabrik-pabrik asing yang sempat berinvestasi jangka panjang melalui skema DFI (Direct Foreign Investment) melarikan diri karena tidak tahan dengan gonjang-ganjing urusan buruh akibat kacaunya peraturan perburuhan. Ini bukan saya membela kepentingan para pengusaha asing, namun pikirkan baik-baik jangka panjangnya, hanya karena urusan duduk dan berdiri saja kita sudah kehilangan kesempatan mempertahankan reputasi sebagai negara tujuan investasi.
Lebih parahnya lagi, penebangan hutan secara liar, penyalahgunaan ijin HPH dan lain sebagainya turut memicu kehancuran kita dengan menyumbang peningkatan pemanasan global dan musibah tanah longsor di mana-mana. Padahal jaman sudah beralih ke industri digital, yang seharusnya tidak perlu lagi ada penambahan ijin HPH dan penebangan hutan untuk jangka panjang.
Penggusuran lahan-lahan pertanian untuk permukiman dan industri juga menambah daftar panjang kekacauan ini, padahal negara kita masih sangat tergantung dari industri pangan dan pertanian. Kita biarkan orang asing menggarap hasil pertanian dan perikanan kita untuk diekspor ke luar negeri sementara negara kita justru kelaparan. Hal yang sungguh sangat ironis.
Lebih buruk lagi, arah jangkar perbankan kita semakin kacau balau, tidak lagi terspesialisasi sesuai dengan bidangnya. Hampir semua bank berlomba-lomba menjadi yang terbesar dan menjadi wholesale banking. Padahal, jauh sebelum Pakto 88, perbankan kita sudah jelas arahnya. Seharusnya tiap bank punya arah dan spesialisasi sendiri-sendiri, dan tidak melulu mengejar penambahan asset dan modal semata.
Dibidang pendidikan sendiri nyaris tidak ada terobosan yang berarti, sekolah gratis hanya jargon semata, tetap saja seseorang harus membayar uang lain-lain di luar iuran utama nya. Malah kurikulum kita semakin buruk saja, karena tidak ada orientasi arahan yang jelas. Dari mulai terbengkalainya cabang-cabang ilmu murni yang mengakibatkan tidak lahirnya terobosan-terobosan baru dalam penelitian, program link and match yang salah kaprah sehingga hanya melahirkan lulusan yang justru tidak siap kerja dan lain sebagainya.
Padahal pendidikan adalah salah satu kunci gerbang proses kemajuan suatu bangsa, namun sepertinya ada unsur kesengajaan secara sistematis untuk memelihara kebodohan dan melakukan pembodohan di negara ini, baik dalam bidang pendidikan umum maupun pendidikan politik. Jadi jangan menjerit atau mengeluh orang-orang memilih lari sekolah di luar negeri dan akhirnya malah tidak pulang-pulang, kita sendiri yang dengan secara sengaja dan sistematis merusak sistem pendidikan di dalam negeri. Pada level ini tidak rasional untuk berkata nasionalisme, kita bisa bicara nasionalisme kalau ada jaminan perut kenyang dan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Karena selama berabad-abad dalam penjajahan telah merubah budaya bangsa kita menjadi cenderung mencari selamat sendiri.
Sudah saatnya kita mulai berfikir jauh ke depan, memikirkan tatanan dan proses langkah-langkah pembangunan yang terarah dan berkesinambungan. Meskipun partai dan kepala negaranya berganti-ganti harus tetap ada garis biru dan cetak biru arah pembangunan yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar