Senin, 29 Maret 2010

Implikasi ACFTA Bagi Kelas Pekerja (ACFTA part 2)

Menyambung tulisan terdahulu (ACFTA tantangan peluang dan menuju Global Class Player), kali ini penulis akan memaparkan detail implikasinya bagi para pekerja dan industri kecil-menengah / SME (Small Medium Enterprise)

Banjirnya barang-barang murah di Mangga Dua dan Tanah Abang, membawa dampak yang tidak menyenangkan bagi para pelaku bisnis kelas kecil – menengah yang lebih banyak bermain di pasar dalam negeri. Memang hal ini tidak terelakan namun bisa dicegah, terutamanya jika diberlakukan pengawasan ketat di jalur-jalur perizinan importir yang telah lama mati / vakum sehingga tidak dilakukan penyalahgunaan izin. Hal ini harus disertai pengawasan sewa-menyewa kios di dalam negeri yang nampaknya mulai marak dilakukan oleh para imigran gelap asal RRC yang ingin membuka bisnis import barang bekas dan barang murah di kawasan sentra bisnis retail.

Karena jika hal ini tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah matinya industri kecil dan menengah secara nasional yang berbasiskan kepada pasar dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal ketahanan ekonomi kita dari badai krisis global sedikit banyak ditopang oleh kekuatan industri kecil-menengah ini terutama industri-industri kerajinan rumah tangga yang banyak berada di pedesaan.

Pemberlakuan ACFTA sendiri membawa dua sisi yakni peluang dan ancaman bagi para pekerja baik blue collar alias kelas buruh pabrikan dalam jangka pendek maupun white collar alias pekerja kantoran dalam jangka panjang.

Ancaman tersebut utamanya berasal dari:

  1. Kalahnya industri nasional kelas kecil dan menengah dari badai serbuan barang murah asal RRC karena faktor mass production dan subsidi habis-habisan dari pemerintah RRC
  2. Beralihnya para importir barang RRC menggunakan bank-bank asal RRC dalam transaksi finansial karena tentu lebih banyak kemudahan baik dalam L/C maupun T/T
  3. Ketidaksiapan faktor tehnologi, pengetahuan, dan ketrampilan yang berimbas kepada banjirnya penggunaan barang dan tehnologi dari mereka yang sedikit banyak akan mendatangkan tenaga ahli dari sana untuk pengoperasiannya.

Peluang yang dapat ditimbulkan:

  1. Ketersediaan lapangan kerja yang lebih luas jika kita dapat menarik lebih banyak Direct Foreign Investment (DFI) yang bergerak pada industri mass production yang berorientasi pada ekspor produk OEM (Original Equipment Manufacture) merek terkenal.
  2. Transfer tehnologi dalam DFI yang berorientasi industri otomotif jika banyak tenaga ahli kita yang mau belajar dan bekerja di pabrikan otomotif asal RRC yang berinvestasi di Indonesia, tentu saja tenaga ahli kita tidak boleh malas dan lupa diri serta hanya mengejar gaji saja, tapi harus bisa membawa ide-ide dan peluang bisnis baru yang dapat diterapkan bagi industri otomotif nasional.
  3. Kesempatan mengembangkan industri elektronik dalam negeri yang lebih punya daya saing jika bisa meniru dan menerapkan apa yang dilakukan oleh pihak RRC. Asal tahu saja, RRC sudah bermain di bisnis pemutar optic Bluray dan monitor PC high end.
  4. Akan lebih banyak pemain industri asal RRC dan Taiwan yang berinvestasi di Indonesia karena market yang besar dan tenaga kerja yang jauh lebih murah dari RRC (sekarang UMR di China sudah sangat mahal pendapatan perkapitanya saja sudah mencapai USD 5000 saat kita baru 1000 dollar).

Mengapa perlu mengundang investasi langsung pabrikan besar asal China yang berorientasi ekspor dan OEM Industry:

  1. Membuka kesempatan lowongan kerja yang lebih luas, salah satu raksasa sepatu asal RRC yang telah lama berinvestasi di Indonesia, memiliki ukuran pabrik hampir sebesar kawasan kelapa gading, dan menyerap tenaga kerja di atas 8000 orang (mungkin sudah 20 ribu orang), setiap harinya memasak nasi untuk jatah makan siang karyawannya lebih dari 100 kg beras yang tentu saja menguntungkan para petani beras di sekitar sana.
  2. Umumnya industri OEM skala raksasa seperti di atas, tidak hanya melakukan proses perakitan namun juga proses sourching dari hulu sampai hilir, bayangkan kalau mereka mengembangkan industri kapas dan pemintalan benang di Indonesia sebagai bagian dari strategi raksasanya mengingat di RRC, UMR sudah semakin mahal.
  3. Kita diuntungkan dari devisa untuk industri kategori OEM eksport, karena, investasi pabrikan umumnya untuk jangka panjang dan modal tidak boleh ditarik sewaktu-waktu, terikat perjanjian investasi. Sehingga mata uang rupiah terjaga stabilitasnya. Berbeda dengan kebanyakan pelaku bisnis lokal yang bisa seenaknya memarkir dana di Singapore.

Yang perlu diperhatikan dalam ACFTA ini:

  1. Kita harus lebih banyak mengeluarkan regulasi yang membatasi import barang asal RRC yang tidak memenuhi syarat SNI (Standar Nasional Indonesia)
  2. Mencabut izin-izin importir yang mencurigakan, terutama mereka yang hanya mengimport barang dan melakukan stamping/packaging di dalam negeri.
  3. Dan mewajibkan penggunaan material / bahan baku dalam negeri dalam porsi yang lebih banyak. Misalnya Toyota Avanza adalah contoh sukses Industri Nasional karena banyak menggunakan komponen dalam negeri.
  4. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengawasan pelabuhan-pelabuhan tidak resmi maupun pelabuhan di daerah yang bukan termasuk zona lalu lintas import, karena seringkali banyak kapal penyelundup yang masuk melalui jalur illegal.

Jakarta, 12 February 2010

Protected by Copyscape Online Plagiarism Checker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar