Sejak awal proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengarungi berbagai macam peristiwa dan pasang surut perekonomian. Kita pernah mengalami masa-masa terburuk di mana laju inflasi terbang hingga lebih dari 600%, pemotongan / pengguntingan mata uang rupiah atau lebih sering disebut sebagai sanering, kejatuhan mata uang rupiah akibat serangan spekulasi valas hingga terjun bebas ke level 16000/17000 ribu rupiah per US dollar.
Namun kita juga pernah mengalami masa-masa gembira di mana tercapai swasembada pangan, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kebangkitan industri manufaktur (otomotif-garment-alas kaki), dan juga kemajuan di bidang pendidikan yang ditandai banyaknya para pengajar dan mahasiswa negeri jiran yang belajar di kampus-kampus ternama di tanah air (pada masa lalu).
Suka atau tidak, kita harus akui kita pernah berhasil dalam pembangunan ekonomi, dan sempat dijuluki oleh berbagai media asing sebagai salah satu “Macan Asia” dalam kekuatan perekonomian di Asia Tenggara.
Namun seringkali keberhasilan dan kemajuan ekonomi yang dicapai membuat bangsa ini cepat berpuas diri dan mudah lupa diri serta terlena. Padahal dalam pembangunan itu tidak dikenal kata istirahat atau berhenti sejenak, karena semua negara saling berlomba-lomba untuk mencapai keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) dalam era perdagangan internasional.
Hari ini mungkin Indonesia, besok Singapore, lusa China dan seterusnya, saling berlomba untuk menjadi yang nomer satu dalam perang dagang sebagai pengganti bentuk perang militer dan perang fisik di masa purba.
Memang idealnya dalam perdagangan internasional, semua saling mengisi dan terjadi proses barter keunggulan masing-masing negara sehingga tercipta keseimbangan perdagangan. Namun pada praktek di alam nyata jarang sekali hal itu terjadi, apalagi di masa perdagangan bebas seperti sekarang, yang marak terjadi adalah produk dari suatu negara yang memiliki keunggulan kompetitif dari negara lainnya akan membanjiri pasar negara yang kurang kompetitif.
Di satu sisi, pemerintah dan juga bangsa kita seringkali lupa, bahwa para investor bukanlah orang bodoh yang mau menanamkan uangnya begitu saja di negara yang tidak memiliki keunggulan dalam menarik investasi asing. Padahal tanpa bantuan investasi asing, tentu sulit mengharapkan akselerasi pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Padahal permintaan para investor asing untuk menanamkan uangnya di Indonesia tidaklah banyak, mereka hanya mengharapkan adanya infrastruktur yang memadai bahkan kalau bisa kompetitif dari mulai dari:
- transportasi dan jalan raya,
- kelistrikan,
- kawasan industri terpadu yang baik dan aman,
- sumber daya alam yang mencukupi,
- biaya produksi yang bersaing (UMR dan lainnya),
- dan kestabilan politik
- serta birokrasi yang lancar, cepat, bersih dan efisien.
Dalam banyak hal, kita sering kalah bersaing dengan negara tetangga untuk poin pertama dan poin terakhir. Dibandingkan banyak negara tetangga, Indonesia memiliki rangking yang cukup jelek dalam hal biaya logistik, dan penyumbang terbesar untuk kekalahan itu adalah poin nomer satu dan poin nomer akhir.
Anda bisa bayangkan, jika harga sepotong roti burger di Thailand, bisa jauh lebih murah ketimbang harga sepotong roti burger di Jakarta dan dengan porsi yang lebih baik. Ini disumbangkan oleh biaya TDL yang murah dan bersaing, dan biaya logistik yang terjangkau. Meskipun UMR di sebagian provinsi di Thailand lebih mahal ketimbang UMR di sebagian provinsi di Indonesia. Sekedar contoh, gaji rata-rata staff di Bangkok mencapai range 10 ribu baht atau sekitar 2.7 juta rupiah (kurs 1 baht = 270 rupiah) padahal sekarang kurs Baht sudah mencapai 280 rupiah per satu baht nya.
Begitupula dengan tingkat kesejahteraan hidup kebanyakan orang di Jakarta, banyak yang sebenarnya masuk ke dalam kriteria miskin, namun karena “permainan statistik” maka kriteria miskin digeser ke angka pendapatan di bawah 200 ribu rupiah per bulan. Padahal secara nalar seseorang dikategorikan miskin jika tidak mampu membayar pajak, artinya seseorang yang memiliki penghasilan di bawah PTKP seharusnya masuk ke dalam kategori miskin atau setidaknya kurang mampu.
Apakah ini sekedar upaya untuk memanipulasi data-data ekonomi agar kita tetap dipercaya oleh negara asing untuk mendapatkan hutangan baru atau bantuan modal? Atau sekedar lip service agar orang percaya bahwa kita telah berhasil dalam program pengentasan kemiskinan?
Hal lain yang perlu menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini adalah masalah kualitas pendidikan. Karena hingga detik ini, masalah pendidikan masih menjadi masalah besar bagi pondasi pembangunan ekonomi di negara ini. Angka pengangguran terdidik yang semakin tahun semakin membengkak adalah bukti nyata bahwa pendidikan di negara ini masih jauh dari harapan dunia kerja. Kita terlalu banyak dicekoki oleh teori-teori non aplikasi yang seharusnya untuk porsi para peneliti dan pengajar, bukan porsi anak didik yang seharusnya dibekali oleh ketrampilan penguasaan bidang yang akan dimasuki di lapangan kerja.
Hasil pantauan pribadi penulis menunjukan bahwa hingga detik ini, banyak orang yang terpaksa “berselingkuh” dengan program pendidikan non formal agar bisa bertahan dalam persaingan di dunia kerja, karena jalur pendidikan formal sama sekali tidak siap untuk mempersiapkan para calon tenaga kerja untuk bersaing di dunia kerja.
Sebagai contoh, pendidikan ekspor-impor yang diambil oleh penulis, didapat melalui jalur pendidikan non formal di salah satu lembaga pelatihan swasta tahun 1999. Begitupula dengan keahlian perpajakan Brevet A dan Brevet B, penulis tidak mendapatkan itu semasa menempuh jalur pendidikan formal, padahal dunia kerja perbankan tempat penulis sempat bergelut di dalamnya, sangat membutuhkan dua ketrampilan tersebut (ekspor impor dan perpajakan). Meskipun pernah mendapatkan teori-teori perpajakan di bangku kuliah, namun hal tersebut jauh dari kebutuhan yang ada di lapangan kerja. Ini sebagai contoh saja bagaimana antara perguruan tinggi dan dunia kerja terjadi jurang lebar dalam hal pemenuhan kebutuhan akan tenaga profesional.
Begitupula mengenai tuntutan kelayakan hidup. Di Indonesia, sulit sekali mencari standar hidup yang layak sesuai dengan standar gaji para pegawai. Kebanyakan orang harus memiliki pekerjaan sampingan untuk bisa bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak mereka.
Sementara di satu sisi, segala subsidi perlahan namun pasti mulai dikurangi porsinya oleh pemerintah / negara kita. Bahkan sebagian besar subsidi mulai dicabut. Padahal segala subsidi itu datangnya juga sebagian besar dari pajak yang dipungut dari masyarakat dan badan usaha. Upaya-upaya pemenuhan subsidi silang dalam hal pembangunan seringkali tidak berhasil, dan malah menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, subsidi bensin premium yang ternyata juga dinikmati oleh para pemakai mobil mewah.
Padahal subsidi itu akan lebih baik jika digunakan untuk pembangunan sarana transportasi massal yang memadai seperti pembangunan MRT/Subway dan Monorail/Skytrain. Tentu akan melegakan bagi banyak orang. Tidak seperti sekarang di mana para pemakai jasa bus umum dan bus transjakarta seringkali berdesak-desakan mirip seperti ikan dendeng.
Lebih parahnya lagi, kebutuhan akan hidup sehat dan bergizi masih jauh dari angan-angan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Harga bahan pangan yang terus membumbung tinggi, menyebabkan banyak orang terpaksa mengkonsumsi daging kadaluarsa hasil import illegal dari luar negeri, dan juga makanan-makanan yang sudah lewat batas aman konsumsinya. Di sebagian daerah pinggiran Jakarta, di mana UMR nya sangat rendah, banyak dijumpai fenomena pasar yang menjual roti sisa penjualan roti dari kota besar seperti Jakarta. Dan hal itu telah dibuktikan oleh stasiun TV beberapa waktu yang lalu.
Di lain pihak pembrantasan korupsi sepertinya masih jalan di tempat, kalau tidak mau dikatakan mati sebelum waktunya. Berbagai temuan di media massa seringkali tidak serta merta ditindaklanjuti dalam bentuk yang nyata. Padahal seringkali tingginya biaya operasional di Indonesia karena masalah biaya siluman yang merupakan wujud dari korupsi di tanah air.
Banyak para pelaku bisnis yang mengeluh soal tingginya biaya siluman ini, dari mulai “oknum” di jalanan, “oknum” di pasar, hingga “oknum” di pelabuhan / bandara.
Itu sebabnya, mengapa para investor asing lebih suka menanamkan investasinya di Indonesia dalam bentuk “Hot Money” baik di SBI, ORI, maupun SUN dan juga saham. Sedikit sekali perbandingannya jika dibandingkan yang ingin berinvestasi dalam bentuk Direct Foreign Investment (DFI) dalam wujud pembangunan industri skala menengah-besar.
Hal ini karena tingkat risiko investasi di negeri ini sedemikian tingginya mencapai sekitar 40% yang merupakan sumbangan dari para pelaku politik, oknum-oknum di lapangan, buruknya infrastruktur dan lain sebagainya.
Jika hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin kita akan kembali mengalami kemunduran seperti pada masa Orde Lama di awal kemerdekaan. Oleh karena itu, sudah menjadi perhatian bagi kita semua untuk saling bahu-membahu menyelamatkan negeri ini dari pengaruh-pengaruh buruk yang sudah mengakar budaya dan membantu mengembangkan negeri ini ke arah yang lebih baik.